Di sebuah ruang kerja yang tampak biasa, seorang karyawan muda duduk diam. Matanya menatap layar, ekspresinya datar. Tak ada senyum, tak ada keluhan. Hanya keheningan yang menggantung. Manajernya mengira ia tak peduli. Rekannya menganggapnya pasif.Â
Tapi siapa sangka, di balik tatapan itu, ada dunia yang disembunyikan, identitas, kecemasan, keyakinan, bahkan cara kerja yang tak sesuai norma dominan.
Fenomena ini bukan sekadar keheningan. Ia punya nama: quiet covering.
Quiet covering bukan tentang menyerah. Ia tentang bertahan. Tentang menyembunyikan bagian dari diri sendiri, entah itu keyakinan, kondisi mental, atau kebiasaan kerja demi terlihat "profesional", "kompeten", atau "layak". Bukan karena ingin, tapi karena merasa harus. Karena sistem belum siap menerima keaslian.
Menurut laporan Forbes dan studi Betterworks (2025), lebih dari 56% Gen Z mengaku menyembunyikan identitas mereka di tempat kerja.Â
Hampir separuh menyembunyikan tantangan kesehatan mental. Banyak yang menggunakan AI secara diam-diam, takut dianggap tidak mampu.
Tatapan kosong yang sering disebut "Gen Z stare" bukan tanda apatis. Ia adalah bentuk perlindungan. Sebuah batas diam yang dibangun untuk bertahan.
Generasi yang Belajar Diam
Gen Z tumbuh di era digital yang serba cepat, penuh ekspektasi, dan minim ruang aman. Mereka diajarkan untuk "jadi diri sendiri", tapi dunia kerja sering kali menuntut penyesuaian yang melelahkan. Mereka belajar bahwa kejujuran bisa berisiko. Maka mereka memilih diam.
Generasi sebelumnya pun tak luput. Milenial terbiasa berkompromi. Gen X dan Boomer menyembunyikan usia, pandangan politik, atau kondisi kesehatan demi stabilitas.Â