Di titik ini, branding sudah menjadi bagian dari perjalanan bisnis. Mereka tidak sekadar menjual produk, tetapi mulai membangun identitas usaha.
Usaha Menengah: Dari Lokal ke Nasional
Di kelas menengah, pemandangan berubah drastis. Sebuah pabrik minuman kemasan yang memasarkan produknya lintas kota adalah contoh nyata.Â
Dengan omzet yang bisa mencapai Rp 50 miliar per tahun dan aset hingga Rp 10 miliar, usaha menengah sudah berbadan hukum, memiliki jaringan distribusi, dan bahkan bisa menembus pasar ekspor.
Strategi pemasaran mereka jauh lebih kompleks:
- Multi-channel marketing: distribusi ke minimarket, supermarket, hingga marketplace premium.
- Brand positioning yang jelas untuk memenangkan persaingan.
- Menggandeng influencer atau menggunakan jasa agensi iklan profesional.
- Riset pasar untuk memahami perilaku konsumen dan menyesuaikan strategi produk.
Di titik ini, pemasaran bukan lagi soal bertahan hidup, melainkan soal ekspansi dan diferensiasi.
Korporasi Besar dan Konglomerat: Dunia yang Berbeda
Di atas semua itu, ada korporasi besar dengan omzet triliunan rupiah dan aset yang nyaris tak terbatas.Â
Mereka bermain di liga global dengan strategi pemasaran yang menggunakan big data analytics, integrated marketing communication, hingga kampanye internasional.
Perbandingan ini jelas menunjukkan bahwa tidak adil jika strategi pemasaran UMKM (terutama mikro dan kecil) disamakan dengan menengah, apalagi disandingkan dengan korporasi besar.
Mengapa Penting untuk Memisahkan?
Pembedaan ini bukan sekadar akademis, melainkan nyata di lapangan. Usaha Mikro dan Kecil rata-rata masih menjadi gantungan hidup keluarga, sementara Usaha Menengah sudah masuk ke ranah ekspansi dan persaingan skala besar.
Sebagai seseorang yang pernah bekerja di bank, mulai dari Account Officer KUR, Kredit Koperasi Program, Consumer Loan, hingga pembiayaan korporasi, saya bisa merasakan betapa kelirunya jika semua segmen ini disatukan dalam satu keranjang kebijakan.