Setelah tiba di Desa Tanjung Belit, pintu masuk utama ke kawasan konservasi, perjalanan dilanjutkan dengan perahu menyusuri Sungai Subayang.Â
Di sinilah lanskap berubah: dari pemukiman ke rimba, dari suara kendaraan ke suara alam. Sungai menjadi satu-satunya akses menuju Camp WWF, yang terletak di tengah hutan lindung Bukit Rimbang Baling.
Di sepanjang perjalanan, saya menyaksikan bukit-bukit hijau yang menyimpan jejak satwa langka: beruang madu, tapir, rangkong gading, dan tentu saja harimau Sumatera. Di sinilah mereka bertahan, di antara ancaman dan harapan.
Bertemu Para Penjaga Sunyi
Camp WWF bukan tempat glamor. Ia adalah pos konservasi yang berdiri di tengah hutan, dikelilingi oleh pepohonan tinggi dan suara alam yang tak pernah berhenti.Â
Di sana, saya bertemu para ranger dan anggota Tiger Protection Unit. Mereka yang menjaga hutan bukan dengan senjata, tapi dengan komitmen dan cinta.
Saya menyaksikan bagaimana mereka memasang camera trap, memantau jejak harimau, dan mencatat setiap perlintasan satwa. Dalam momen langka, seekor harimau tertangkap kamera. Aumannya tak terdengar, tapi kehadirannya terasa. Ia masih ada. Ia masih bertahan.
WWF Indonesia bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau tak hanya menjaga, mereka juga memulihkan.Â
Di Desa Petai, saya ikut dalam kegiatan penanaman pohon-pohon endemik sebagai bagian dari restorasi habitat. Ini bukan sekadar aksi simbolik, melainkan penanaman masa depan.
Populasi yang Tak Pernah Pasti