Sore ini, suasana grup WhatsApp yang biasanya hangat dan santai berubah tegang.Â
Isu rencana pembatasan layanan panggilan video seperti WhatsApp, Zoom, dan Telegram oleh Kementerian Kominfo menyita perhatian. Banyak yang cemas, banyak yang geram. "Kenapa fasilitas komunikasi rakyat kecil malah mau diblokir?" kata seorang rekan.
Belum lama berselang, muncul kabar lain yang mengiris logika: pemerintah Indonesia membebaskan tarif impor produk-produk asal Amerika Serikat, hasil negosiasi penurunan tarif Trump.Â
Ya, produk dari negeri adidaya kini bisa melenggang masuk tanpa bea, sementara pelaku usaha lokal harus jungkir balik bersaing di pasar yang makin tak setara.
Apakah kita sedang menyaksikan dua wajah kebijakan dalam satu waktu: keras kepada rakyat sendiri, lunak terhadap kekuatan asing?
Pembatasan Inovasi dengan Alasan Regulasi
Seperti disorot oleh penulis Kompasiana, Jody Aryono, masalah ini bukan pada teknologinya. Teknologinya sudah ada, masyarakat sudah terbiasa. Tapi regulasinya belum siap.Â
Kita pernah mengalami hal serupa saat Netflix, Spotify, dan TikTok Shop muncul---bukan ditangani dengan adaptasi cerdas, tetapi malah dihambat dengan pendekatan kaku.
Negara semestinya hadir bukan hanya sebagai penjaga pintu, tapi sebagai arsitek ekosistem digital yang cerdas dan adil.
Produk Luar Masuk Bebas Hambatan
Di sisi lain, kebijakan pembebasan tarif impor untuk produk Amerika memunculkan pertanyaan besar. Bukankah ini justru membuat produk lokal makin terpinggirkan?Â
Sementara pengusaha mikro hingga menengah masih dibebani biaya logistik, akses kredit yang mahal, dan ketidakpastian pasar.
Prof. Mohammad Nur Rianto Al Arif dari UIN Jakarta menyebut:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!