Hidup memang tak ramah pada masa itu. Namun cinta di antara mereka, serta keyakinan pada kerja keras dan kejujuran, menjadi fondasi tak tergoyahkan. Mereka menanam benih keberanian dan memupuknya dengan pengorbanan.
Apak dan Mande tak pernah menjadikan masa lalu itu sebagai beban. Justru dari kepedihan itulah ia menempa tekad dan menjadikannya bara semangat yang tak pernah padam.
Bukan hanya sekali mereka jatuh. Dalam dunia bisnis, mereka berkali-kali merasakan kerasnya kegagalan. Namun, seperti yang Apak tulis dalam artikelnya di Kompasiana, kegagalan bukan akhir. Ia justru menjadi ruang belajar. Bukan untuk menyerah, tetapi untuk lebih tajam membaca arah.
Sebagaimana ia tuliskan dalam "Mengapa Perlu Belajar dari Kegagalan Orang Lain", Apak Tjipta  meyakini bahwa belajar dari orang lain itu penting, namun belajar dari kegagalan sendiri akan meninggalkan bekas lebih dalam.Â
Mereka tak malu pernah miskin, karena dari kemiskinan itulah mereka menemukan kekayaan sejati: keteguhan hati, solidaritas keluarga, dan keberanian untuk terus mencoba.
Menuai Bahagia di Ujung Jalan
Kini, setelah puluhan tahun berjuang, pasangan ini hidup tenang dan bahagia di Australia, dikelilingi oleh anak-cucu yang mencintai mereka yang ketiga anak mereka bisa mengenyam pendidikan hingga ke Amerika.
Rumah yang dulu dihuni tikus dan kecoa telah berganti dengan rumah hangat penuh tawa cucu. Dapur yang dulu sunyi dari nasi telah berubah menjadi tempat meracik cinta dan kenangan.
Mereka telah berkeliling dunia berkali-kali, bukan untuk pamer, tetapi sebagai pengingat bahwa siapapun bisa sampai ke ujung pelangi jika tidak menyerah saat badai datang.
Warisan Kisah untuk Generasi Muda