Di balik deretan rak buku yang rapi, ada sosok-sosok yang hampir tak pernah muncul di sorotan publik. Mereka bukan headline berita, bukan pula bintang utama di panggung pendidikan. Mereka adalah pustakawan---pekerja sunyi yang memastikan buku-buku bisa diakses, katalog rapi, dan literasi berjalan.
Namun, realitas hidup mereka sering kali lebih getir dari aroma buku tua yang menguning. Gaji rendah, minim perhatian, regulasi timpang, hingga stigma "hanya duduk-duduk" membuat profesi ini kerap dipandang sebelah mata.
Pertanyaannya: apakah kita bisa membayangkan sekolah tanpa pustakawan?
Potret Iwan: Menjaga Literasi dengan Gaji Tak Seberapa
Iwan (26), pustakawan di sebuah SMP swasta di Lampung, memulai rutinitas sejak pukul 06.45 hingga 15.30. Dari merapikan rak, mendata inventaris, hingga melayani siswa yang butuh referensi. Semua ia lakukan dengan telaten.
Namun, gaji bulanannya tak sampai Rp1 juta. Ya, benar: kurang dari harga ponsel entry-level terbaru. Untuk bertahan hidup, ia menambal kekurangan dengan bekerja sampingan, dari jasa ketik hingga menjadi moderator acara lingkungan rumah.
Ironisnya, meski sudah enam tahun mengabdi, perpustakaan tempatnya bekerja tak pernah mendapat bantuan buku. Bahkan, kesempatan mengikuti pelatihan dari Perpustakaan Nasional pun selalu kandas karena kuota habis.
Bukankah ini potret paradoks? Seorang yang setiap hari berhadapan dengan buku, justru kesulitan mendapatkan akses pengembangan diri.
Nanda: Bertahan dengan UMR, Tapi Tanpa Jenjang Karier
Sedikit lebih beruntung, Nanda Dwi Pratama (29) di Palembang mendapat gaji Rp3,9 juta sesuai UMR. Tapi pekerjaannya nyaris tak berhenti seharian. Dari pagi hingga sore ia mendata buku, melayani murid, dan menjaga suasana nyaman di perpustakaan.
Meski begitu, ada ironi lain: tidak ada jenjang karier bagi pustakawan sekolah. Tak ada jalur kepangkatan jelas. Beberapa rekannya akhirnya banting setir menjadi guru karena peluang penghasilan dan karier lebih pasti.