Suatu sore di tahun 2018, saya pernah duduk berdiskusi dengan tiga pelaku usaha dalam sebuah pelatihan ekspor produk halal. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda: seorang pengusaha rendang kemasan dari Padang, seorang produsen batik dari Pekalongan, dan seorang eksportir keripik pisang dari Lampung.Â
Di acara itu, mereka semua disebut sebagai pelaku UMKM---sebuah singkatan yang sering kita dengar dan seolah menyatukan begitu banyak ragam usaha ke dalam satu istilah payung.
Namun dalam obrolan santai di sela pelatihan itu, saya mulai merasa ada yang janggal.
"Mas, saya belum pernah mengajukan ke bank," ujar produsen rendang sambil tersenyum. "Modal ya dari keluarga. Pekerjanya ya tetangga-tetangga sekitar. Saya masak sendiri di dapur rumah, dibantu istri dan adik."
Sementara itu, pelaku batik dari Pekalongan menceritakan bahwa ia sudah punya sistem gaji bulanan, menyusun laporan keuangan rutin, dan bahkan pernah ikut pameran dagang di luar negeri. Ia punya showroom kecil dan tim pemasaran digital yang membantunya menjangkau pelanggan mancanegara.
Belum sempat saya mencerna perbedaan mencolok antara keduanya, giliran bapak berkemeja rapi dari Lampung angkat bicara. Ia adalah eksportir keripik pisang yang sejak tadi lebih banyak mendengarkan.
"Kalau saya, alhamdulillah sudah ekspor ke Jepang dan Uni Emirat Arab," katanya tenang. "Kami sudah punya pabrik pengolahan dengan mesin otomatis, dan bulan depan akan pasang alat pengering berstandar ekspor. Karyawan tetap kami ada lebih dari 70 orang."
Saya dan dua rekan lainnya spontan mengangguk, kagum.
"Tapi tetap saja disebut UMKM," lanjutnya sambil terkekeh. "Padahal kami sudah punya divisi ekspor sendiri, dan semua dokumen sudah sistematis. Kadang bingung juga, kok kebijakan atau pendampingan buat saya disamakan dengan usaha rumahan."
Kami bertiga terdiam sejenak, lalu tertawa. Di balik tawa itu, saya menyimpan satu pertanyaan serius:
"Apakah adil mereka disebut dalam satu kategori yang sama?"
UMKM: Satu Istilah, Tiga Dunia yang Berbeda
Selama ini, istilah UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) digunakan sebagai satu kesatuan dalam pidato pejabat, laporan media, hingga program pemerintah. Padahal, menurut definisi resmi Kementerian Koperasi dan UKM:
- Usaha Mikro: omzet maksimal Rp 300 juta per tahun, aset maksimal Rp 50 juta.
- Usaha Kecil: omzet antara Rp 300 juta -- Rp 2,5 miliar.
- Usaha Menengah: omzet Rp 2,5 -- Rp 50 miliar.
Jika melihat data, dari total sekitar 65 juta pelaku UMKM di Indonesia (2023), lebih dari 90% adalah usaha mikro.Â
Mereka adalah pedagang kaki lima, warung kelontong, atau ibu-ibu rumah tangga yang jualan dari rumah. Sementara usaha menengah hanya 0,01% dari jumlah tersebut.
Artinya, ketika kita bicara UMKM, kita sebenarnya lebih banyak bicara tentang usaha mikro. Namun ironisnya, program yang dirancang seringkali bertumpu pada kapasitas dan kesiapan usaha menengah.
Bank pun Memperlakukan Mereka Berbeda
Di dunia perbankan dan pembiayaan, pengelompokan UMKM sebetulnya sudah dibedakan secara teknis, karena karakteristiknya sangat jauh berbeda:
- Usaha Mikro dan Kecil lebih cocok mendapat Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan agunan ringan, bunga subsidi, dan pendampingan.
- Usaha Menengah biasanya mengakses pembiayaan komersial, masuk ke ranah SME banking, dan bahkan bisa memperoleh kredit investasi.
Namun, dalam narasi kebijakan, ketiganya tetap disatukan, seolah-olah mereka memiliki kebutuhan yang sama.
Padahal tidak. Yang satu butuh booth di bazar, yang satu butuh ekspor container penuh ke Eropa.
Sistem Gaji? Jelas Beda Dunia
Saya pernah mendampingi pelaku usaha makanan ringan di Kampar-Riau. Saat ditanya berapa gaji karyawannya, dia menjawab, "Lihat hasil harian saja, Pak."
Beda sekali dengan rekan saya yang punya usaha ekspor cokelat di Bandung. Ia sudah punya struktur organisasi, HRD, sistem penggajian, THR, bahkan BPJS Ketenagakerjaan.
Maka ketika kita membahas kesejahteraan pekerja UMKM, mari kita jangan pukul rata.Â
Usaha Mikro belum tentu punya kapasitas untuk menggaji layaknya Usaha Menengah. Maka, pendekatan pembinaan, pelatihan, dan insentif harus dirancang dengan bertingkat dan terfokus.
Implikasi Terhadap Ekosistem Halal
Saya pernah aktif mendorong ekspor produk halal 2015-2019. Salah satu tantangan yang saya hadapi adalah buyer internasional tidak percaya pada label halal dari Indonesia.Â
Mereka lebih percaya pada sertifikasi halal Malaysia, bahkan meminta produk dibranding Made in Malaysia agar bisa masuk ke jaringan distribusi halal global.
Namun hal itu mengajarkan bahwa kepercayaan global tak cukup dibangun dengan label, tetapi dengan integritas sistemik---termasuk sumber modal, proses produksi, hingga akuntabilitas usaha.
Dan ini tidak bisa dicapai bila kita terus menyamakan semua pelaku usaha dalamusah satu kategori: UMKM. Sebab yang mikro tidak punya kapasitas ekspor, sementara yang menengah punya kebutuhan dukungan berbeda.
Solusi: Saatnya Segmentasi dan Perlakuan Tepat Sasaran
Untuk benar-benar mendorong Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia, dan menjadikan pelaku usaha kita naik kelas, berikut beberapa saran strategis:
- Segmentasikan kebijakan dan pembinaan secara tegas: Mikro -- Kecil -- Menengah.
Tidak ada lagi kebijakan generik atas nama "UMKM". - Bangun sistem gaji dan ketenagakerjaan bertahap sesuai skala usaha.
Dorong Usaha Kecil menuju sistem formal, tanpa memaksa yang Mikro terbebani regulasi. - Kembangkan pembiayaan syariah dengan skema bertingkat.
Dari pembiayaan ultra mikro (UMi) hingga dana ventura halal untuk usaha menengah. - Tumbuhkan ekosistem ekspor halal untuk Usaha Menengah.
Karena mereka yang paling siap bersaing di pasar global, dengan sistem dan kualitas produk.
Penutup: Jangan Disamaratakan, Agar Tak Ada yang Tertinggal
Menyamakan semua pelaku usaha sebagai UMKM justru bisa membuat kebijakan kehilangan presisi, dan yang paling lemah akan semakin tertinggal.Â
Jika kita serius ingin membawa produk halal Indonesia ke pentas dunia, mari mulai dari kejujuran mengakui perbedaan, dan kebijakan yang menghormati tahap pertumbuhan tiap pelaku usaha.
Sebagai bangsa besar dengan populasi Muslim terbanyak di dunia, jangan hanya mimpi jadi Pusat Halal Dunia.Â
Mari buktikan dengan sistem, integritas, dan kebijakan yang tajam dan adil.
Penulis:
Merza Gamal -- Pensiunan Gaul Banyak Acara, Pemerhati UMKM, Ekosistem Halal, dan Ekspor Produk LokalÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI