Di sebuah pagi yang mendung di sebuah warung kopi pinggiran Jakarta, suara obrolan dua anak muda terdengar lirih tapi getir.
"Gue lulus S1 tiga tahun lalu, tapi kerja cuma jadi admin freelance. Nggak ada BPJS, gaji juga di bawah UMP. Katanya ini era bonus demografi? Kok malah rasanya kayak kutukan, ya?"
Temannya mengangguk. Ia seorang ojek online yang setiap minggu mencatatkan lebih dari 54 jam kerja, jauh di atas rata-rata nasional 41,5 jam per minggu. "Bonus? Kayaknya sih bos yang dapet bonus, bukan kita."
Percakapan seperti ini bukan cerita fiksi. Ini potret nyata yang hari ini menyelimuti wajah Indonesia. Negara dengan populasi usia produktif yang mendominasi lebih dari 70% penduduknya, tengah berada di tengah apa yang disebut para ekonom sebagai jendela peluang demografis.Â
Namun pertanyaannya: apakah jendela ini benar-benar terbuka lebar? Atau justru tertutup oleh kaca buram ketimpangan dan kebijakan yang tak berpihak?
Data Bicara: Potensi yang Tak Tersalurkan
Menurut laporan Celios dan data BPS 2025:
- 109 juta pekerja di Indonesia dibayar di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).
- 25 juta pekerja bekerja lebih dari 48 jam per minggu, mayoritas tanpa perlindungan ketenagakerjaan.
- Proporsi pekerja berupah di bawah UMP naik dari 63% (2021) menjadi 84% pada 2024.
- Pertumbuhan lapangan kerja didominasi sektor informal: perdagangan kecil, pertanian subsisten, pengemudi ojol, dan kerja lepas tak pasti.
Sementara itu, jumlah pekerja di sektor formal dengan upah dan perlindungan layak malah stagnan atau bahkan menurun.
Bonus yang Jadi Beban?
Secara teori, bonus demografi adalah masa keemasan. Ketika mayoritas penduduk berada dalam usia kerja produktif, negara punya peluang emas untuk meningkatkan produktivitas, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan nasional.
Namun, bonus tidak terjadi otomatis. Ia butuh prasyarat:
- Lapangan kerja layak dan melimpah,
- Akses pendidikan dan pelatihan vokasi yang relevan,
- Sistem sosial yang melindungi pekerja informal,
- Kepemimpinan yang berpihak pada pemerataan.
Tanpa itu, yang terjadi justru sebaliknya: frustrasi kolektif generasi muda, meningkatnya underemployment, dan meledaknya angka pekerja miskin.
#IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu: Jeritan atau Ancaman?
Di media sosial, dua tagar ini menjadi tren: #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu. Banyak pejabat menganggapnya berlebihan, bahkan ada yang mencemooh.Â
Namun, ini bukan soal pesimisme, tapi ekspresi keputusasaan yang sangat nyata.
Fakta menunjukkan semakin banyak generasi muda yang memilih migrasi ke luar negeri, bukan hanya karena gaji yang lebih tinggi, tapi karena mereka merasa tak ada harapan di negeri sendiri.
Apakah kita akan terus menyangkal atau mulai mendengarkan?
Refleksi dan Harapan
Kita masih punya waktu. Bonus demografi memang tidak abadi---ia akan berakhir pada 2045.Â
Jika tak dimanfaatkan sekarang, kita akan menghadapi generasi tua dalam jumlah besar tanpa cukup produktivitas untuk menopang mereka.
Sudah saatnya:
- Pemerintah fokus menciptakan lapangan kerja berkualitas, bukan sekadar menyerap angka.
- Investasi besar-besaran di pendidikan vokasi, teknologi, dan industri hijau.
- Memberikan insentif dan perlindungan sosial yang kuat bagi sektor informal.
- Menjadikan suara anak muda bukan sebagai cemoohan, tapi sebagai petunjuk arah.
Penutup
Apakah bonus demografi kita benar-benar bonus?Jawabannya: belum tentu. Tanpa perubahan serius dan keberpihakan pada rakyat pekerja, bonus bisa berubah menjadi beban demografi yang menyakitkan.
Tapi dengan keberanian untuk berubah, mendengar, dan membenahi, kita masih bisa membalik keadaan.Â
Sebab masa depan Indonesia bukan hanya soal statistik. Ia adalah soal harapan, harga diri, dan kesempatan yang adil untuk semua.
Merza Gamal
Pensiunan Gaul Banyak Acara
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI