Hari ini, 20 Mei, bangsa Indonesia kembali memperingati Hari Kebangkitan Nasional---sebuah tanggal yang dulu menggugah semangat perjuangan, kini terasa seperti gema yang perlahan memudar di antara hiruk-pikuk zaman.Â
Di tengah maraknya fenomena #KaburAjaDulu dan narasi pesimis bertajuk #IndonesiaGelap, saya tertegun. Apa sebenarnya makna "bangkit" di masa kini?Â
Apakah Hari Kebangkitan Nasional masih relevan, ataukah ia sudah menjadi seremoni kosong tanpa ruh?
Sebagai anak bangsa, saya merasa terpanggil untuk merenung. Dahulu, Kebangkitan Nasional adalah tonggak sejarah yang menandai kesadaran kolektif---bahwa kita tidak bisa terus terpecah, terjajah, dan tertinggal.Â
Boedi Oetomo menjadi simbol kebangkitan intelektual, persatuan, dan cita-cita bersama untuk Indonesia yang lebih bermartabat. Tapi hari ini, kebangkitan itu seperti tersesat di tengah belantara keluhan, sinisme, dan keputusasaan.
Saya tidak menutup mata. Banyak anak muda yang merasa kecewa dan akhirnya memilih "kabur" mencari harapan di negeri orang. Tagar #KaburAjaDulu bukan sekadar lelucon atau candaan media sosial, tetapi mencerminkan krisis harapan dan kepercayaan terhadap tanah airnya sendiri.Â
Mereka bukan tidak cinta Indonesia, tapi mereka lelah berharap pada sistem yang sering tak berpihak. Mereka cerdas, berani, dan punya mimpi besar---sayangnya, bukan lagi di tanah kelahirannya. Bukankah ini menjadi tamparan bagi kita semua?
Begitu pula dengan tagar #IndonesiaGelap---sebuah refleksi kegetiran masyarakat terhadap carut-marut situasi politik, ekonomi, hingga ketidakpastian masa depan.Â
Kegelapan ini bukan karena Indonesia tak punya cahaya, tapi karena terlalu banyak tangan yang menutupi sinarnya.Â
Saat rasa lelah menjadi dominan, saat suara kritis dibungkam, dan ketika keadilan terasa semu, maka kebangkitan pun menjadi terasa jauh dari jangkauan.
Lalu apa gunanya memperingati Hari Kebangkitan Nasional, jika kita sendiri enggan untuk bangkit dari kemalasan, keapatisan, atau bahkan ketakutan untuk bersuara?Â
Bukankah ironis jika kita mengenang semangat masa lalu tanpa berusaha menyalakannya kembali dalam kehidupan sehari-hari?
Bangkit itu bukan hanya berdiri dari keterpurukan, tapi juga melangkah---meski perlahan---menuju perubahan. Bangkit itu ketika seorang guru di pelosok tetap mengajar meski bergaji kecil.Â