Namun, bonus tidak terjadi otomatis. Ia butuh prasyarat:
- Lapangan kerja layak dan melimpah,
- Akses pendidikan dan pelatihan vokasi yang relevan,
- Sistem sosial yang melindungi pekerja informal,
- Kepemimpinan yang berpihak pada pemerataan.
Tanpa itu, yang terjadi justru sebaliknya: frustrasi kolektif generasi muda, meningkatnya underemployment, dan meledaknya angka pekerja miskin.
#IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu: Jeritan atau Ancaman?
Di media sosial, dua tagar ini menjadi tren: #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu. Banyak pejabat menganggapnya berlebihan, bahkan ada yang mencemooh.Â
Namun, ini bukan soal pesimisme, tapi ekspresi keputusasaan yang sangat nyata.
Fakta menunjukkan semakin banyak generasi muda yang memilih migrasi ke luar negeri, bukan hanya karena gaji yang lebih tinggi, tapi karena mereka merasa tak ada harapan di negeri sendiri.
Apakah kita akan terus menyangkal atau mulai mendengarkan?
Refleksi dan Harapan
Kita masih punya waktu. Bonus demografi memang tidak abadi---ia akan berakhir pada 2045.Â
Jika tak dimanfaatkan sekarang, kita akan menghadapi generasi tua dalam jumlah besar tanpa cukup produktivitas untuk menopang mereka.
Sudah saatnya:
- Pemerintah fokus menciptakan lapangan kerja berkualitas, bukan sekadar menyerap angka.
- Investasi besar-besaran di pendidikan vokasi, teknologi, dan industri hijau.
- Memberikan insentif dan perlindungan sosial yang kuat bagi sektor informal.
- Menjadikan suara anak muda bukan sebagai cemoohan, tapi sebagai petunjuk arah.
Penutup
Apakah bonus demografi kita benar-benar bonus?Jawabannya: belum tentu. Tanpa perubahan serius dan keberpihakan pada rakyat pekerja, bonus bisa berubah menjadi beban demografi yang menyakitkan.
Tapi dengan keberanian untuk berubah, mendengar, dan membenahi, kita masih bisa membalik keadaan.Â
Sebab masa depan Indonesia bukan hanya soal statistik. Ia adalah soal harapan, harga diri, dan kesempatan yang adil untuk semua.