Pagi ini saya membuka dashboard Kompasiana dan menemukan infografik statistik terbaru yang cukup menyentak. Jumlah Kompasianer sudah menembus angka 5,3 juta! Artikel yang tayang sepanjang waktu (2008-2025) hanya mencapai 3,3 juta lebih.Â
Tapi saat saya tarik napas dalam-dalam dan melihat lebih jeli, ada sesuatu yang menggelitik dan mengusik perasaan saya: benarkah Kompasiana seramai itu?
Sekilas memang terlihat meriah. Namun jika kita telaah lebih dalam, angka-angka itu justru menunjukkan sebaliknya. Kompasiana seperti rumah besar yang ramai penghuninya, tetapi sunyi interaksinya.Â
Sebuah rumah besar yang penuh kamar, tapi banyak pintu yang selalu tertutup. Banyak tulisan muncul setiap hari, tapi tak banyak yang menyapa.
Mari kita bicara data. Sepanjang 2024 saja, artikel yang tayang mencapai 435.425. Tapi jumlah komentar hanya 635.109 dan rating 1,27 juta. Artinya, setiap artikel rata-rata hanya mendapat sekitar 1,5 komentar dan kurang dari 3 rating. Sebuah angka yang menunjukkan interaksi sangat minim di tengah derasnya produksi konten.
Padahal, jika hanya 10% dari lebih dari 5 juta Kompasianer aktif menulis, membaca, dan berinteraksi, betapa meriahnya rumah besar ini.Â
Tak perlu menunggu viral di luar atau dibantu algoritma mesin pencari. Kompasiana cukup dengan kekuatan komunitasnya sendiri untuk membuat artikel-artikel bernas jadi bahan diskusi hangat.
Namun, kenyataannya tidak demikian. Banyak artikel yang bahkan tidak mendapatkan satu pun komentar atau rating. Sebagian besar hilang begitu saja di beranda yang cepat terganti oleh tulisan-tulisan baru.Â
Ironisnya, saya juga mengamati bahwa banyak artikel Headline yang ditayangkan Admin justru sepi pembaca. Sementara itu, tidak sedikit artikel yang terbidik Google Trend dan dibaca ribuan hingga ratusan ribu kali, namun tak pernah disentuh oleh kurasi Headline Kompasiana.
Di sinilah letak paradoks Kompasiana: Artikel yang ditampilkan di Headline sering kali kurang mendapatkan perhatian, sementara artikel yang bersahaja dan menyentuh banyak orang justru luput dari sorotan utama.Â
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang mekanisme kurasi yang digunakan. Apakah semata karena kualitas tulisan, ataukah karena nama penulis yang sudah dikenal?
Potensi Iklan yang Tak Tergarap Optimal
Di era digital ini, konten dan komunitas adalah dua komoditas utama yang dapat dikonversi menjadi keuntungan melalui skema monetisasi --- terutama melalui periklanan digital.Â
Namun ironisnya, Kompasiana justru tampak stagnan dalam memanfaatkan potensi ini.Â
Padahal, dengan lebih dari 5 juta pengguna terdaftar dan jutaan artikel tayang sejak 2008, Kompasiana punya cukup traffic, niche targeting, dan kedalaman konten untuk menarik pengiklan dengan strategi native advertising, content marketing, hingga programmatic ads.
Sayangnya, iklan di Kompasiana terlihat sporadis dan tidak terintegrasi dalam skema yang strategis. Banyak artikel bahkan tampil tanpa satu pun iklan yang relevan. Tidak ada paid section, tidak ada content sponsorship, bahkan tidak terlihat ada ekosistem monetisasi untuk para penulis yang kontennya viral atau trending secara organik.
Jika Kompasiana memiliki dashboard analytics terbuka bagi pengiklan --- yang bisa melihat performa artikel, demografi pembaca, serta tren kategori tulisan --- bukan tak mungkin brand-brand lokal maupun nasional akan tertarik memasang iklan kontekstual atau bahkan menjalin kolaborasi jangka panjang.Â
Sayangnya, sejauh ini Kompasiana belum bergerak ke arah itu, seolah belum memiliki visi menjadikan dirinya sebagai ekosistem ekonomi kreatif digital yang mandiri.
Kompasiana sebagai Resource yang Terabaikan
Bagi Kompas Gramedia, ini merupakan sebuah resource yang tersia-siakan. Mungkin karena memang Adminnya tidak cukup capable, atau mungkin ini hanya sekadar unit yang sekadar ada dan menjadi tempat para human resource yang tidak terpakai pada unit KG lainnya.Â
Andaikan 5 juta Kompasianer itu diberdayakan dengan benar, tentu akan menjadi sumber pendapatan yang tidak sedikit bagi KG. Bayangkan, jika hanya 1% dari Kompasianer rutin memproduksi konten bermutu yang dikembangkan ke platform lain --- buku, podcast, kanal YouTube --- potensi ekonomi kreatifnya bisa luar biasa.
Kompasiana sejatinya bisa menjadi content hub terbesar di Indonesia, rumah aspirasi yang bukan sekadar menjadi tempat menulis, tapi juga ruang diskusi, edukasi, bahkan inkubasi ide-ide sosial dan kebudayaan.Â
Tapi potensi itu bisa lenyap begitu saja jika interaksi komunitas dibiarkan sepi, jika semangat berbagi tergantikan oleh kekecewaan karena diabaikan.
Ini bukan keluhan, tapi sebuah catatan. Bahwa ada resource besar yang terbuang. Kompasiana memiliki aset luar biasa dalam bentuk komunitas dan user-generated content, tapi belum sepenuhnya dioptimalkan.Â
Pemilihan Headline yang lebih didominasi oleh nama-nama tertentu dibanding performa aktual konten bisa menjadi bumerang jangka panjang: mematikan gairah menulis dari banyak Kompasianer lainnya.
Saya menulis ini bukan sebagai pengamat luar. Saya bagian dari rumah besar ini. Saya menulis karena saya peduli.Â
Karena saya ingin berbagi pengetahuan dan pengalaman yang pernah saya jalani, bukan hanya untuk disimpan lalu hilang ditelan waktu. Saya berharap, tulisan-tulisan saya bisa menjadi jejak yang berarti --- legacy --- saat kehadiran saya di dunia ini tiada lagi.
Kompasiana bisa menjadi ruang terbaik bagi itu semua, asal kita sama-sama menyadari potensi yang selama ini tersembunyi di balik angka-angka yang seolah megah.Â
Mari jadikan rumah besar ini bukan hanya tempat berkumpul, tapi juga tempat berbicara, mendengarkan, dan saling menghidupkan.
Penulis: Merza Gamal (Kompasianer sejak Kompasiana untuk umum)
Ditulis dengan semangat berbagi, oleh seorang Kompasianer yang tak ingin rumah ini hanya penuh nama tapi kosong makna.
@merzagamal
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI