Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kesepian di Tengah Keramaian dan Pelarian dalam Media Sosial

22 Mei 2025   20:33 Diperbarui: 22 Mei 2025   20:33 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak dari kita menjadikan media sosial sebagai pelarian emosional. Ketika hidup terasa berat, ketika tak ada tempat mengadu, kita membuka Instagram, menonton TikTok, scrolling tanpa henti---bukan untuk mencari informasi, tapi untuk mengalihkan diri dari rasa sepi yang diam-diam menyergap.

Namun seperti air laut yang hanya membasahi kaki, pelarian ini tak benar-benar menyentuh kedalaman hati. 

Malah, saat layar dimatikan, sunyi kembali datang, seringkali lebih menusuk dari sebelumnya.

Komparasi Sosial dan Tekanan Emosional

Satu hal lain yang memperparah situasi adalah budaya komparasi sosial. Di media sosial, kita nyaris selalu melihat yang indah, yang berhasil, yang bahagia. 

Jarang ada yang membagikan kesedihan secara jujur, karena takut dinilai lemah atau tidak menarik. Akibatnya, kita terjebak dalam tekanan untuk selalu terlihat "baik-baik saja".

Sementara itu, kita sendiri mulai merasa kecil, tidak cukup, dan... sendirian. Padahal, yang kita lihat hanyalah fragmen kehidupan orang lain yang telah dipoles dan disunting sedemikian rupa.

Koneksi Digital, Tapi Kehilangan Kedekatan Nyata

Hubungan digital seringkali kehilangan kedalaman emosional. Dalam pertemuan fisik, kita bisa merasakan gestur, nada suara, bahkan kehangatan sentuhan. Semua itu adalah bahasa hati yang tak bisa tergantikan oleh emoji atau sticker.

Ketika terlalu lama hidup dalam dunia virtual, kita mulai kehilangan sensitivitas terhadap kehadiran nyata. 

Kita duduk bersama teman, tapi sibuk dengan ponsel. Kita tertawa di grup WhatsApp, tapi lupa bertanya kabar dengan sungguh-sungguh.

Mengembalikan Makna dalam Hubungan

Kesepian tak selalu berarti kita butuh lebih banyak teman. Kadang, kita hanya butuh satu atau dua orang yang benar-benar peduli dan mau mendengar tanpa menghakimi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun