Banyak dari kita menjadikan media sosial sebagai pelarian emosional. Ketika hidup terasa berat, ketika tak ada tempat mengadu, kita membuka Instagram, menonton TikTok, scrolling tanpa henti---bukan untuk mencari informasi, tapi untuk mengalihkan diri dari rasa sepi yang diam-diam menyergap.
Namun seperti air laut yang hanya membasahi kaki, pelarian ini tak benar-benar menyentuh kedalaman hati.Â
Malah, saat layar dimatikan, sunyi kembali datang, seringkali lebih menusuk dari sebelumnya.
Komparasi Sosial dan Tekanan Emosional
Satu hal lain yang memperparah situasi adalah budaya komparasi sosial. Di media sosial, kita nyaris selalu melihat yang indah, yang berhasil, yang bahagia.Â
Jarang ada yang membagikan kesedihan secara jujur, karena takut dinilai lemah atau tidak menarik. Akibatnya, kita terjebak dalam tekanan untuk selalu terlihat "baik-baik saja".
Sementara itu, kita sendiri mulai merasa kecil, tidak cukup, dan... sendirian. Padahal, yang kita lihat hanyalah fragmen kehidupan orang lain yang telah dipoles dan disunting sedemikian rupa.
Koneksi Digital, Tapi Kehilangan Kedekatan Nyata
Hubungan digital seringkali kehilangan kedalaman emosional. Dalam pertemuan fisik, kita bisa merasakan gestur, nada suara, bahkan kehangatan sentuhan. Semua itu adalah bahasa hati yang tak bisa tergantikan oleh emoji atau sticker.
Ketika terlalu lama hidup dalam dunia virtual, kita mulai kehilangan sensitivitas terhadap kehadiran nyata.Â
Kita duduk bersama teman, tapi sibuk dengan ponsel. Kita tertawa di grup WhatsApp, tapi lupa bertanya kabar dengan sungguh-sungguh.
Mengembalikan Makna dalam Hubungan
Kesepian tak selalu berarti kita butuh lebih banyak teman. Kadang, kita hanya butuh satu atau dua orang yang benar-benar peduli dan mau mendengar tanpa menghakimi.Â