Saat Ketimpangan Jadi Kenormalan Baru:
Dunia kini menyaksikan sebuah pertunjukan besar dalam panggung ekonomi global---ironis, karena ini bukan pertunjukan komedi, bukan pula drama menyentuh, melainkan tragedi dalam senyap: para miliarder dunia mendulang kekayaan dalam hitungan jam, sementara jutaan orang di belahan bumi lainnya memikirkan bagaimana caranya bisa makan besok pagi.
Ketimpangan ekonomi bukan lagi gejala, tapi telah menjadi kenormalan baru. Realitas pahit ini menyisakan banyak pertanyaan: Apakah sistem ini memang dirancang untuk mempertahankan ketidakadilan?Â
Dan bagaimana kita, yang berada di tengah atau di bawah piramida sosial ini, bisa tetap waras menyikapinya?
Bagian 1: Ketimpangan yang Dipoles oleh Data
Menurut laporan Oxfam dan Credit Suisse, 1% orang terkaya dunia kini menguasai lebih dari 45% kekayaan global. Bahkan selama pandemi dan masa krisis ekonomi, kekayaan para miliarder justru melonjak drastis.Â
Bloomberg menyebut periode itu sebagai "minggu-minggu menyegarkan" bagi para elite finansial dunia.
Elon Musk, Jeff Bezos, Charles Schwab, dan sederet nama lainnya menikmati lonjakan kekayaan dari volatilitas pasar. Sementara masyarakat luas berjibaku dengan pemutusan hubungan kerja, naiknya harga kebutuhan pokok, dan beban hidup harian yang semakin menekan.
Bagian 2: Trik Klasik dalam Dunia Baru -- Dari Trump untuk Para Temannya
Naikkan tarif. Buat dunia panik. Biarkan indeks saham jatuh. Lalu para elite membeli saham saat murah. Setelah itu, umumkan penundaan tarif. Saham melonjak. Cuan pun mengalir deras.
Inilah trik klasik yang dimainkan dalam pentas modern. Para pelaku utamanya? Miliarder seperti Charles Schwab (12,6 miliar dolar), Roger Penske (5,6 miliar dolar), hingga Elon Musk (36 miliar dolar). Semua terjadi dalam waktu yang seakan tak masuk akal bagi orang kebanyakan.
Ekonomi riil? Tetap stagnan. Yang bergerak hanya angka-angka di layar bursa dan saldo rekening para elite keuangan dunia.
Bagian 3: Kelas Menengah, Si Anak Tiri Globalisasi
Dulu, kelas menengah adalah harapan dan penyangga demokrasi. Kini, mereka seperti pesakitan yang terjepit. Penghasilan tak sebanding dengan biaya hidup. Harga rumah, pendidikan, dan kesehatan melonjak. Peluang naik kelas makin sempit.