Beberapa waktu lalu, saya sempat berbincang dengan seorang sahabat lama yang kini memilih pensiun dini dan mencoba bertahan hidup dari hasil usaha kecil-kecilan. Ia menghela napas panjang saat bercerita soal penghasilannya yang tak lagi sebanding dengan pengeluaran.Â
"Kalau dulu bisa sisihkan sepertiga gaji buat nabung, sekarang? Nambah utang buat bayar sekolah anak aja sudah untung," katanya lirih.
Cerita sahabat saya itu ternyata bukan pengalaman pribadi semata. Apa yang ia alami adalah potret kecil dari kenyataan besar yang sedang melanda banyak warga Indonesia saat ini.
Laporan terbaru Survei Konsumen Bank Indonesia untuk bulan Maret 2025 menyebutkan bahwa keyakinan konsumen Indonesia turun ke titik terendah dalam enam bulan terakhir.Â
Bukan hanya itu, ekspektasi masyarakat terhadap masa depan ekonomi juga ikut merosot---ke level terendah sejak September 2024. Artinya, makin banyak orang merasa kondisi ekonomi ke depan justru akan lebih buruk daripada hari ini.
Saat Tabungan Menyusut, Utang Meningkat
Yang lebih mengkhawatirkan, rasio tabungan masyarakat kini hanya 13,8% dari pendapatan, angka terendah dalam lima tahun terakhir. Bahkan lebih rendah dibanding masa pandemi Covid-19 yang membuat ekonomi Indonesia sempat masuk ke jurang resesi. Pada masa itu, meski dunia kacau, tabungan masyarakat masih berada di kisaran 14--20%.
Sementara itu, rasio utang konsumen naik menyentuh level tertinggi dalam tiga bulan. Artinya, ketika penghasilan stagnan dan harga kebutuhan terus naik, banyak orang akhirnya mengambil jalan pintas: utang. Mungkin lewat paylater, pinjaman daring, atau kartu kredit---semuanya menjadi cara agar dapur tetap mengepul.
Biasanya, bulan Ramadan dan Idulfitri menjadi waktu puncak konsumsi masyarakat. Ada THR, ada tradisi belanja, dan tentu saja ada momen kumpul keluarga yang turut menggairahkan roda ekonomi. Tapi tahun ini berbeda. Konsumsi masyarakat di bulan Maret---yang mestinya melonjak---justru hanya naik sedikit. Masyarakat tampaknya menahan diri. Bukan karena belajar hidup hemat, tapi karena memang terpaksa.
Inilah yang disebut para ekonom sebagai sinyal krisis psikologis. Bukan hanya barang-barang mahal yang dikurangi, tapi juga kebutuhan pokok mulai dihitung-hitung. Beli daging pun hanya saat benar-benar perlu. Warung nasi padang langganan pun mulai sepi. Masyarakat kini berbelanja dengan rasa was-was.