Di Indonesia, kelas menengah berhadapan dengan kenyataan bahwa setiap krisis bisa mendorong mereka kembali ke jurang kemiskinan.Â
Gaya hidup tak sebanding dengan kemampuan dompet. Kredit konsumtif meningkat, tabungan menipis, dan tekanan hidup bertambah.
Bagian 4: Indonesia dalam Arus Ketimpangan Global
Sebagai negara berkembang, Indonesia sangat rentan terhadap turbulensi global. Ketika Amerika menaikkan suku bunga atau tarif dagang global berubah, dampaknya langsung terasa: rupiah tertekan, ekspor terganggu, dan modal asing pergi.
Sementara itu, masyarakat bawah makin tercekik oleh inflasi bahan pokok, kenaikan harga energi, dan stagnasi upah. Subsidi makin tipis. Jaring pengaman sosial tak menjangkau semua.
Ketimpangan di Indonesia tak hanya antarkelompok ekonomi, tapi juga antarwilayah dan antargenerasi. Ini bukan hanya soal angka statistik, tapi soal masa depan bangsa.
Bagian 5: Si Miskin Makin Miskin --- Ketika Kesempatan Tak Lagi Setara
Ketika harga kebutuhan naik, dan pemerintah memangkas subsidi demi menjaga defisit, kaum miskin terpaksa memilih: makan atau bayar listrik, beli obat atau bayar sewa.
Mereka tidak punya saham. Tidak punya kripto. Tidak punya "aset aman". Mereka hidup dari hari ke hari, tanpa kepastian dan tanpa perlindungan.
Data Bank Dunia menyebut lebih dari 40% populasi dunia bisa jatuh kembali ke jurang kemiskinan ekstrem jika krisis berlanjut. Di Indonesia, jumlah penduduk miskin meningkat saat harga BBM naik.
Kemiskinan bukan lagi hasil dari kegagalan sistem---tapi bagian dari desain sistem. Ketika para elite bisa mengatur pasar dengan algoritma, si miskin bahkan tak punya kuota untuk membuka aplikasi mobile banking.
Bagian 6: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Tentu, kita tidak bisa mengubah sistem global dalam semalam. Tapi kita bisa memperkuat daya tahan dan kesadaran:
- Menguatkan ekonomi lokal dan koperasi
- Meningkatkan literasi keuangan rakyat kecil
- Mendorong transparansi dan keadilan dalam kebijakan publik
- Mengawasi dan menekan dominasi korporasi dan oligarki keuangan
Kesadaran kolektif adalah kunci. Dan harapan tak boleh mati, meski harapan kini terasa sebagai satu-satunya yang tersisa.