Di balik layar meja interview, saya duduk sebagai interviewer, mencoba memahami tiap kandidat yang datang. Saya sudah bertahun-tahun melakukan seleksi pegawai, dari generasi X, Y (Millennial), hingga kini masuk ke era Gen Z.Â
Dan saya harus jujur---ada hal yang berubah. Bukan pada kualitas, tapi pada cara komunikasi.
Saat kandidat dari generasi sebelumnya saya tanya, "Ceritakan sedikit tentang dirimu," mereka bisa berbicara lancar, lengkap, bahkan kadang terlalu panjang.Â
Tapi ketika giliran Gen Z masuk, suasananya mendadak berbeda. Saya bertanya A, mereka menjawab A. Saya bertanya Z, mereka menjawab Z. Tidak lebih. Tidak kurang. Saya tunggu ekspansi cerita, tapi yang keluar hanya senyuman canggung. Atau kadang---diam.
Sebagai interviewer, tentu saya penasaran: Mengapa generasi yang dikenal kreatif, pintar, dan tech-savvy ini justru kesulitan saat interview?
Sekilas Perbandingan: Gen X, Millennial, dan Gen Z
Saya masih ingat ketika pertama kali menjadi pewawancara di era Gen X. Para kandidat dari generasi ini tampil serius, formal, dan penuh kehati-hatian. Mereka datang dengan baju formal berdasi, membawa map berisi berkas rapi, dan menjawab dengan penuh pertimbangan. Kadang terlalu kaku, tapi bisa dirasakan kematangan sikapnya. Mereka sangat menghargai proses wawancara, bahkan menganggapnya sebagai ajang pembuktian dedikasi.
Lalu masuk generasi Y, para Millennial. Saya mulai melihat perubahan gaya: mereka lebih santai, lebih ekspresif, tapi tetap menjaga sopan santun. Mereka bisa menjawab panjang lebar, kadang agak terlalu percaya diri, tapi justru di situlah muncul kekuatan naratif mereka. Mereka pandai membungkus pengalaman dengan cerita. Bagi Millennial, wawancara adalah panggung untuk menjual diri.
Kini giliran Gen Z. Mereka datang dengan penuh potensi, tapi banyak yang terlihat lebih pendiam, lebih ringkas, dan kadang tampak bingung. Saat ditanya tentang pengalaman atau motivasi, jawaban mereka sering pendek dan tanpa konteks. Terasa seperti percakapan di media sosial---cepat, langsung ke poin, dan tanpa basa-basi.
Lebih Dekat dengan AI daripada Manusia?
Sebuah fenomena menarik saya temukan dari penelitian di Amerika Serikat: 1 dari 4 Gen Z membawa orangtua mereka saat wawancara kerja. Ini bukan fiksi, ini kenyataan. Mungkin terdengar konyol, tapi juga mencerminkan satu hal: ada jarak antara dunia kerja yang menuntut kedewasaan formal, dengan dunia Gen Z yang sangat terbiasa hidup dalam ekosistem digital.
Generasi ini lahir saat internet sudah berjalan, dan tumbuh saat teknologi meledak ke segala arah. Mereka akrab dengan Siri, Google, dan kini ChatGPT. Saat mereka ingin tahu sesuatu, mereka cukup mengetik dan klik. Jawaban datang dalam hitungan detik.
Akibatnya, banyak di antara mereka yang lebih terbiasa menerima jawaban daripada menyusun sendiri. Lebih nyaman bicara lewat teks daripada verbal. Lebih percaya pada AI daripada bertanya langsung ke manusia.
Jangan heran kalau saat ditanya, "Kenapa kamu ingin bekerja di sini?" mereka butuh jeda lama, seperti buffering. Bukan karena tak tahu jawabannya, tapi karena tak terbiasa mengungkapkan isi kepala dalam bentuk narasi spontan.
Interview = Basa-basi?
Saya pernah bertanya pada beberapa anak muda: "Menurut kalian, bagaimana rasanya interview kerja?"
Jawaban mereka cukup mengejutkan. "Kaku, Pak. Banyak basa-basinya."
Ada yang bilang, "Kita harus berpura-pura percaya diri, padahal dalam hati gemetar."
Ada juga yang merasa, "Pertanyaannya template semua, jawabannya juga bisa disiapin dari YouTube."
Saya pun mulai mengerti. Mungkin bukan mereka yang salah. Mungkin memang cara wawancara yang sekarang sudah usang bagi dunia mereka yang cepat dan lugas.
Mereka ingin straight to the point. Sementara pewawancara, seperti saya, justru mencari narasi yang utuh. Jadilah dua dunia yang bertabrakan.
Gen Z Bukan Tak Mampu, Hanya Butuh Ruang yang Berbeda
Dalam banyak kesempatan, saya menyaksikan sendiri kemampuan Gen Z yang luar biasa. Mereka cepat belajar, kreatif dalam menyelesaikan masalah, dan punya inisiatif yang segar. Tapi begitu di ruang interview yang formal, sebagian dari mereka justru tampak "gagap"---bukan secara literal, tapi secara sosial.
Saya jadi bertanya-tanya:
Apakah wawancara kerja tradisional masih relevan? Atau sudah waktunya kita pikirkan ulang?
Mungkin sudah saatnya dunia kerja mempertimbangkan metode baru seperti:
- Simulasi pekerjaan langsung,
- Tes berbasis video pendek,
- Kolaborasi dalam kelompok kecil,
- Atau bahkan asesmen berbasis gamifikasi.
Bukan sekadar untuk mempermudah, tapi agar proses seleksi bisa mengenali potensi nyata, bukan hanya kecakapan berbicara formal.
Mengubah Cara Kita Memahami Generasi Baru
Saya pribadi percaya, Gen Z bukan generasi manja atau lemah komunikasi. Mereka hanya dibentuk oleh ekosistem yang berbeda dari generasi sebelumnya. Dan kita tidak bisa memaksakan cara lama untuk menilai mereka.
Sebagai interviewer dari generasi yang lebih dulu, saya pun belajar---bahwa memahami bukan berarti menyeragamkan. Kadang, untuk bisa benar-benar melihat potensi seseorang, kita perlu mengubah cara kita memandang dan bertanya.
Jangan-jangan, justru di balik jawaban pendek dan ekspresi canggung itu, tersimpan kreativitas yang belum sempat diberi panggung.
Penutup
Interview bukan sekadar tes bicara, tapi seharusnya menjadi ruang mengenal lebih dalam. Maka, kalau kita benar-benar ingin melihat Gen Z bersinar, mungkin sudah saatnya kita sebagai interviewer juga belajar untuk upgrade mindset. Bukan hanya menilai, tapi menggali dan memahami.
Bagaimana menurut Anda? Apakah interview kerja saat ini masih efektif? Atau memang sudah waktunya kita mencoba cara baru agar lebih sesuai dengan generasi masa depan?
Yuk, bagikan pengalaman dan pandanganmu di kolom komentar! Bisa jadi, cerita kalian jadi jembatan penghubung antar-generasi.
Penulis: Merza Gamal (Advisor & Konsultan Transformasi Corporate Culture)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI