Keheningan yang pecah setelah penemuan itu lebih menakutkan daripada teriakan mana pun. Suara gemuruh sungai seakan menjauh, digantikan oleh suara napas kami yang tersengal-sengal dan detak jantungku yang berdebar liar di telinga. Dua kerangka. Terikat bersama. Logika runtuh di hadapan pemandangan itu.
Tarigan, pemuda yang pertama kali menemukannya, terduduk lemas di atas batu, wajahnya pucat seperti kapur. Yang lain hanya bisa menatap, mulut mereka ternganga. Pak Ginting, Kepala Desa kami, adalah yang pertama kali memecah kebisuan.
"Ya Tuhan..." desisnya, sambil melepas topinya sebagai tanda hormat. "Anak-anak ini..."
Rasa ngeri perlahan tergantikan oleh gelombang kesedihan yang dahsyat. Itu Tima. Sahabatku. Dan itu Loma. Abangnya yang pendiam, yang selalu menjaganya. Gambaran terakhirku tentang Loma adalah sosoknya yang berjalan gontai menjauh dari jembatan, kosong dan hancur. Aku salah. Dia tidak pernah benar-benar pergi. Dia kembali. Dia kembali untuk adiknya.
"Kita harus membawa mereka pulang," kata Pak Ginting dengan suara tegas, mencoba mengambil alih kendali atas situasi yang kacau.
Proses pengangkatan jenazah adalah pekerjaan yang memilukan. Kami melakukannya dengan sangat hati-hati, seolah takut membangunkan mereka dari tidur panjang. Bagian yang paling menyayat hati adalah saat kami harus mengangkat kedua tangan mereka yang masih terikat oleh sisa-sisa uis nipes itu. Ikatan itu rapuh, namun terasa begitu kuat, sebuah sumpah bisu yang melampaui kematian. Kain tenun kebanggaan Suku Karo itu telah menjadi saksi terakhir dari tragedi mereka.
Perjalanan kembali ke atas terasa seratus kali lebih berat. Bukan hanya karena kami kini membawa beban fisik, tapi juga beban kebenaran yang baru terungkap. Saat kami akhirnya tiba di jalan setapak, seluruh warga kampung yang menunggu langsung terdiam. Wajah mereka yang tadinya dipenuhi rasa penasaran, kini berubah menjadi horor saat melihat kami membawa dua kantung jenazah, bukan satu.
Berita menyebar lebih cepat dari angin. Dua anak Bibi Suri telah ditemukan. Bersama.
Aku dan Ibu yang mendapat tugas terberat: memberitahu Bibi Suri. Kami menemukannya masih di teras, sengaja tidak diajak. Ia menatap kami dengan pandangan kosongnya yang biasa.
Ibu berlutut di depannya, menggenggam tangannya yang dingin.
"Suri, nggo reh anakta ndai!"