Mohon tunggu...
Merkyana Nancy Sitorus
Merkyana Nancy Sitorus Mohon Tunggu... Administrasi - Pejalan Pemerhati

Pejalan dan pemerhati apapun yang menarik mata dan telinga. Menyalurkan hobby jalan melalui www.fb.com/gerakpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Harinya Hati

17 Januari 2020   10:56 Diperbarui: 1 Agustus 2020   16:18 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi ini aku bangun dengan rasa sakit di dadaku. Sepertinya hatiku masih belum sembuh. Telephone dan pesan text ku belum dibalas olehnya. Air mataku pun masih membekas jelas di pipiku. 

Ah, ternyata aku masih bisa sepatah ini dengan dia, di usia yang sudah tidak muda lagi. Kecewa pada dirinya, lebih kecewa lagi pada diriku sendiri. Lusinan "Bagaimana mungkin?" menjadi pengantar tidurku yang singkat dan tak lelap subuh tadi.

Kulirik jam dinding, pukul 06.35 WIB. Belum 2 jam aku tidur. Tapi mataku sudah tak mengantuk lagi, seolah menolak untuk berharap ini mimpi. Ku hela nafasku, ku hela badanku. 

Berangkat sajalah! Menjalani rutinitas saja, entah apapun yang terjadi kemarin. Hari ini aku masih harus ke kantor. Smartphone yang biasa menjadi favoritku, sekarang sudah tak menarik lagi. Aku bergegas mandi, enggan sendiri lagi di kamarku. Sudah cukup semalam berkubang tangis.

Beres berpakaian, aku memesan ojek online menuju kantor. Tempat tidurku tak kubereskan, kubiarkan saja selimut bergelung dengan bantal tak beraturan. Tak ada yang perlu dirapikan, diriku saja masih kacau. 

Aplikasi ojek onlineku berdenting, notifikasi kalau pengemudi sudah sampai di lokasi penjemputan. Aku keluar dari kontrakan kecilku, melangkah tanpa senyum, mengabaikan abang tetangga sebelah yang menyapa sambil memandikan burung peliharaannya. Ah, aku sedang tak ingin ramah pada siapapun. Hidup sedang tak ramah padaku.

Dalam perjalanan menuju kantor aku tak ingin melamun. Mataku memandang berkeliling, mencari apa saja yang bisa mencuri perhatianku. Di belokan gang depan tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah tulisan iklan "TERIMA BONGKAR BANGUNAN TUA, HUBUNGI 021-563548". 

Dahiku berkerut, sepertinya iklan itu belum lama ada disana, seingatku dinding itu baru dicat kemarin pagi oleh petugas berseragam oranye. Cepat sekali orang-orang memanfaatkan tempat kosong. Baru dirapikan, baru dipugar sudah langsung diisi iklan-iklan. Aku menghela nafas. Apakah hati juga demikian?

Aduuh! Tidak baik ini! Aku mengedarkan pandangan lagi. Sekarang aku sudah sampai di pengkolan depan masjid komplek. Tepat di pengkolan itu ada deretan kios. Berurutan kios laundry, kios pengepul gas, dan satu kios yang sekarang sedang dipugar kembali. Ya, kios paling sudut itu selalu berganti-ganti fungsi. 

Awal tahun ini kios itu difungsikan sebagai warung kelontong. Sebulan kemudian berubah menjadi grosir beras. Bagian dinding yang terbuka dibangun tembok dan bagian dinding yang menghadap ke masjid dirobohkan, digantikan dengan rolling door. 

Hari ini, tembok yang dibangun itu dihancurkan lagi, dibangun separuh, sisanya dibuatkan kaca sebagai pengganti tembok. Rolling door ditanggalkan, dibangun tembok separuh, di atasnya diletakkan etalase besar. 

Sepertinya kali ini akan difungsikan sebagai Rumah Makan Padang. Alih fungsi memang selalu membutuhkan renovasi. Sementara kios laundry dan pengepul gas itu tetap begitu-begitu saja bangunannya. Ah, aku harus kasihan kepada kios yang mana? Yang begitu-begitu saja tapi tetap fungsinya atau yang bolak-balik renovasi dan berubah-ubah fungsinya?

Tiba-tiba aku dikagetkan karena ojek online yang kutumpangi ngerem mendadak.

"Maaf ya, neng!" kata si abang ojek online segera sebelum kemudian berteriak ke angkot di depannya.

Aku tak membalas ucapan maaf itu. Dia tidak salah, kenapa harus minta maaf? Dia sudah berupaya untuk tetap awas, tapi mana dia bisa mengendalikan pengendara lain? Apalagi angkot-angkot yang memprioritaskan setoran dibanding tertib berlalu-lintas. Sudah dimarahi saja mereka masih ngeyel. 

Mungkin, permintaan maaf itu otomatis terucap karena si abang ojek online mengutamakan kenyamananku. Demi apa? Demi bintang lima mungkin, atau juga demi kemanusiaan. Karena kan dia membonceng manusia, bukan kambing. Ah, begitu hebatnya sebuah permintaan maaf, pikirku.

Di kantor, kusibukkan diri. Kutenggelamkan diriku pada lembar-lembar berkas di mejaku. Beberapa candaan kutimpali sesekali. Aku tak boleh terlihat sedang tidak baik-baik saja. 

Tetap saja, aku melewatkan jam makan siang, perutku tak lapar sama sekali. Bagus juga, lebih hemat jadinya, kekehku dalam hati. Patah hati yang bermanfaat, candaku pada diriku sendiri.

Aku memutuskan untuk keluar dari ruangan dan duduk di dekat meja resepsionis. Sekedar menikmati sinar matahari menghangatkan kulitku yang menggigil oleh udara AC. Siapa tahu suasana hati semakin baik. 

Dari luar terlihat beberapa orang rekan kerjaku berjalan sambil berlari. Katanya di luar panasnya menyengat sekali, membuat kepala pusing. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Padaku, panas menyengat itu yang malah kucari. Segala alasan untuk merubah suasana hati pula. What a life!

Sepeninggal rekan-rekan kerjaku tersebut, aku merenung. Patah hati memang tidak pernah membahagiakan. Kenapa harus kututupi? Hatiku cuma ada satu. Dan hanya aku yang bisa merawat dan menjaganya. 

Jika aku menaruh hati pada seseorang dan dia mengecewakanku maka seharusnya akulah yang menjadi penyebabnya. Kan aku yang menaruh hati, bukan orang lain. Pun jika orang itu melakukan sesuatu hal pasti ada sebabnya. 

Entah sebab itu karena keinginan dia sendiri, atau memang jalan takdir mengharuskan dia demikian. Jika aku anggap hatiku aman dalam penguasaan orang lain, dia akan ubah fungsi hatiku sesuai kepentingannya.

Aku menghela nafas. Aku harus bertanggungjawab atas patah hatiku ini. Ketidakrelaanku harus kusampaikan padanya. Biarlah dia saja yang menanggung ketidakrelaanku. Aku akan merawat hatiku yang patah sesuai dengan sikap dia terhadap ketidakrelaanku.

Sebentar saja aku bersamanya, setelahnya aku lanjutkan hidupku, dengan atau tanpa keberadaannya.

Baiklah, hati!

Ayo kita temui dia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun