Mohon tunggu...
Mena Oktariyana
Mena Oktariyana Mohon Tunggu... Penulis - a reader

nevermore

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat dari Martha

3 November 2019   22:55 Diperbarui: 4 November 2019   00:30 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari mulai gelap, segelap hati Martha yang masih duduk sambil melamun di kursi goyang dekat peti mati suaminya. Matanya sayu, terlihat jelas bagaimana terpukulnya dia atas kepergian Agustian. Perlahan, Yohan yang belum bisa tidur pun datang menghampiri. Menyapa Martha yang masih menatap kosong peti itu.

"Sudah malam, apa tidak sebaiknya kamu istirahat supaya besok pagi badan dan pikiran lebih segar untuk mengantarkan Agus ke peristirahatan terakhir," bujuk Yohan.

Martha hanya diam seribu bahasa, sedang badannya masih terus menggoyang-goyangkan kursi sambil menatap kosong ke arah peti mati. Yohan pun kembali ke kamar, saat ini membiarkannya sendirian adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Siapa saja akan merasa sangat terpukul kehilangan orang yang dikasihinya, terlebih sudah 25 tahun mereka membina kehidupan rumah tangga. Bukan hal mudah bagi Martha untuk merelakan Agus begitu saja. Bahkan sepuluh tahun pun, rasanya tidak akan cukup untuk menyembuhkan kedukaan di hatinya. Yohan merasa tahu betul bagaimana perjalanan cinta kedua sahabatnya tersebut. Dia adalah saksi hidup bagaimana Agus berjuang mati-matian untuk mendapatkan Martha. Berjuang melepasnya dari cengkraman kedua orangtuanya yang setengah mati tidak sudi merestui, karena perbedaan keyakinan. Demi mengukuhkan cinta mereka berdua, Martha rela untuk mengambil langkah yang paling berani, dia rela berpindah keyakinan dan menikah tanpa restu dari kedua orangtuanya. Diputuslah tali keluarga itu, orangtuanya tidak sudi lagi mengakui dirinya sebagai anak. Bagi Martha, semua itu adalah harga yang paling mahal yang harus dibayarkan demi bisa hidup bersama Agus. Sejauh yang Yohanes ketahui, tak terlihat sedikitpun penyesalan dan kedukaan Martha karena telah kehilangan keluarganya demi Agus.

***     

Mentari pagi mulai menyingsing, sinar-sinar keemasan dengan hangat menyapa pagi itu, menghangatkan hati yang berduka untuk bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Mengenang perjalanan cinta kedua sahabatnya dalam lamunan menjelang tidur, sedikit banyak membangkitkan lagi kerinduan Yohan akan masa lalu. Namun pagi itu, bagaimanapun juga dia harus siap lahir dan batin untuk menguburkan semua kenangan itu bersama jasad sahabatnya.

Upacara itu berjalan dengan khidmat, air mata tumpah ruah mengantar kedatangan Agus ke surga. Mungkin Yudistiralah yang paling banyak menumpahkan air mata diantara semua orang di gereja itu. Berbeda dengan Martha, barangkali dia adalah satu-satunya orang yang tidak meneteskan air mata. Yohan meyakini, air mata itu sedang membanjiri dada Martha, mengalir deras dan pasti jauh lebih menyakitkan.

****   

"Apa tak sebaiknya tinggal barang semalam atau dua malam lagi, paman?" tanya Yudis kepada Yohan yang sudah siap pergi bersama kopernya.

"Tidak nak Yudis, paman harus segera pulang. Ada beberapa urusan di kota yang harus segera paman rampungkan," kata Yohan. "Nanti kalau paman ada waktu kosong, paman janji bakal balik lagi kesini buat nengokin kamu sama Ibumu. Kan yang penting sekarang kita sudah lega, sudah mengantarkan Bapakmu dengan tenang," lanjutnya. "Paman pesan, kamu jaga ibumu baik-baik ya, paman bisa merasakan kalau ibumu sangat terpukul. Tolong diawasi terus, paman takut ibumu melakukan sesuatu yang tidak diinginkan."

Yudis mengangguk, dia mengerti betul maksud perkataannya.

Yohan pun pergi meninggalkan ibu dan anak tersebut sendirian. Sebelum pergi, Martha terus menatapnya seperti ingin menyampaikan sesuatu. Namun ketika Yohan mencoba mendekatinya, dia tidak juga mau membuka mulut. Yohan mengerti, barangkali beberapa hari ke depan keadaannya jauh membaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun