Mohon tunggu...
Mena Oktariyana
Mena Oktariyana Mohon Tunggu... Penulis - a reader

nevermore

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat dari Martha

3 November 2019   22:55 Diperbarui: 4 November 2019   00:30 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lama gagak itu bertengger di teras rumahnya. Kematian siapakah yang ingin dia kabarkan padaku? tanya Yohan dalam hati. Tidak bisa dia mengusir burung itu, lantas membiarkannya saja terus berada di teras rumahnya. Tidak perduli apa maksud dan tujuan gagak itu, Yohan hanya ingin merebahkan tubuhnya yang kelelahan. Sampai beberapa saat kemudian, dering telepon itu mengganggunya yang belum juga terlelap. Menyebalkan, batinnya. Ternyata, gagak itu benar-benar mengantar kabar duka untuknya. Martha, suara dibalik telepon itu memberitahu Yohan dengan isak tangis, kalau suaminya, Agustian meninggal dunia.

Seketika, gagak itu terbang mengepakkan sayapnya setelah kabar duka itu tersampaikan. Sebagai sahabat karib mereka berdua, sudah keharusan bagi Yohan untuk datang ke rumah mereka dan mengantarkan Agustian ke tempat peristirahatn terakhir. Tanpa pikir panjang, Yohanes langsung menyuruh asisten rumahtangganya memesan tiket kereta untuk besok pagi.

Kabar duka tersebut memberikan malam yang berat untuk Yohan. Alhasil dia melakukan perjalanan pagi itu dengan tampang lesu, mata sembab, dan tubuh yang lunglai seperti tanaman yang tidak mendapat asupan sinar matahari pagi. Sungguh tidak ada gairah sama sekali dalam diri lelaki paruh baya itu. Berulang kali dia menyesalkan dirinya yang jarang sekali menjenguk Agustian yang tiga bulan belakangan ini sakit keras. Namun dia tidak tahu sama sekali kalau sahabatnya mengidap tumor otak. Sungguh kasihan, pikirnya. Padahal, Agustian sering meminta dirinya untuk datang berkunjung, namun karena jadwal mengajarnya yang terlalu padat membuatnya tak punya waktu untuk menghabiskan delapan jam perjalanan ke rumah sahabatnya itu.  

Jam menunjukkan pukul lima sore ketika Yohan sampai di stasiun. Seorang laki-laki, berperawakan tinggi kurus memanggilnya dari kejauhan, "Paman!!" dia melambaikan tangan dengan senyum sumringah. Dia adalah Yudistira, putera Agustian dan Martha. Yohan selalu menyukai putera tunggal sahabatnya itu, wajahnya mirip sekali dengan almarhum.

"Apa kabarmu, nak?" tanya Yohan sambil memeluk Yudistira.

"Baik paman, tapi kehadiran paman memberi energi tersendiri padaku, seperti sinar mentari pagi, paman, selalu membawa harapan baru," jawabnya. "Lama tak jumpa paman, saya pikir paman sudah lupa dengan kami."

Yohan hanya tersenyum mendengar perkataan Yudistira. Terlihat jelas, pemuda 25 tahun itu mencoba menutupi kesedihannya sebisa mungkin.

Sesampainya di rumah mereka, Yohan disambut hangat oleh isteri dan kerabat terdekat. Rumah dengan ornamen jawa yang kental itu tidak juga berubah sampai sekarang. Hanya cat temboknya saja yang sedikit memudar, dari yang dulu berwarna merah, kini menjadi sedikit kecoklatan. Dia melihat sebuah peti mati berwarna hitam berada di sisi pojok ruang tengah. Yohan sangat berterimakasih telah diberi kesempatan untuk melihat wajah sahabatnya untuk yang terakhir kali. Dia meminta ijin untuk membuka peti mati tersebut. Dari raut wajahnya, Yohan yakin kalau sahabatnya meninggal dalam keadaan damai. Dapat dilihat dari senyum kecil yang tersemat di bibirnya, meskipun bibir itu sedikit berwarna kebiru-biruan. Pasti dia sangat menderita waktu sakit, pikirnya. Sebelum Yohan menutup kembali peti mati tersebut, dia melepaskan kalung salibnya dan meletakkannya di atas dada Agustian sebagai lambang perpisahan.

"Kita akan melakukan upacara pemakaman di gereja Santa Maria besok pagi," kata Martha dengan nada bicara yang sangat berat.

"Baik, Martha" kata Yohan. "Aku akan memberikan penghormatan terbaik untuknya besok, dan juga semoga Tuhan memberikan dia tempat terbaik disurganya."

Martha berlalu begitu saja tanpa memperdulikan perkataan Yohan.

Hari mulai gelap, segelap hati Martha yang masih duduk sambil melamun di kursi goyang dekat peti mati suaminya. Matanya sayu, terlihat jelas bagaimana terpukulnya dia atas kepergian Agustian. Perlahan, Yohan yang belum bisa tidur pun datang menghampiri. Menyapa Martha yang masih menatap kosong peti itu.

"Sudah malam, apa tidak sebaiknya kamu istirahat supaya besok pagi badan dan pikiran lebih segar untuk mengantarkan Agus ke peristirahatan terakhir," bujuk Yohan.

Martha hanya diam seribu bahasa, sedang badannya masih terus menggoyang-goyangkan kursi sambil menatap kosong ke arah peti mati. Yohan pun kembali ke kamar, saat ini membiarkannya sendirian adalah hal terbaik yang bisa dilakukan. Siapa saja akan merasa sangat terpukul kehilangan orang yang dikasihinya, terlebih sudah 25 tahun mereka membina kehidupan rumah tangga. Bukan hal mudah bagi Martha untuk merelakan Agus begitu saja. Bahkan sepuluh tahun pun, rasanya tidak akan cukup untuk menyembuhkan kedukaan di hatinya. Yohan merasa tahu betul bagaimana perjalanan cinta kedua sahabatnya tersebut. Dia adalah saksi hidup bagaimana Agus berjuang mati-matian untuk mendapatkan Martha. Berjuang melepasnya dari cengkraman kedua orangtuanya yang setengah mati tidak sudi merestui, karena perbedaan keyakinan. Demi mengukuhkan cinta mereka berdua, Martha rela untuk mengambil langkah yang paling berani, dia rela berpindah keyakinan dan menikah tanpa restu dari kedua orangtuanya. Diputuslah tali keluarga itu, orangtuanya tidak sudi lagi mengakui dirinya sebagai anak. Bagi Martha, semua itu adalah harga yang paling mahal yang harus dibayarkan demi bisa hidup bersama Agus. Sejauh yang Yohanes ketahui, tak terlihat sedikitpun penyesalan dan kedukaan Martha karena telah kehilangan keluarganya demi Agus.

***     

Mentari pagi mulai menyingsing, sinar-sinar keemasan dengan hangat menyapa pagi itu, menghangatkan hati yang berduka untuk bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Mengenang perjalanan cinta kedua sahabatnya dalam lamunan menjelang tidur, sedikit banyak membangkitkan lagi kerinduan Yohan akan masa lalu. Namun pagi itu, bagaimanapun juga dia harus siap lahir dan batin untuk menguburkan semua kenangan itu bersama jasad sahabatnya.

Upacara itu berjalan dengan khidmat, air mata tumpah ruah mengantar kedatangan Agus ke surga. Mungkin Yudistiralah yang paling banyak menumpahkan air mata diantara semua orang di gereja itu. Berbeda dengan Martha, barangkali dia adalah satu-satunya orang yang tidak meneteskan air mata. Yohan meyakini, air mata itu sedang membanjiri dada Martha, mengalir deras dan pasti jauh lebih menyakitkan.

****   

"Apa tak sebaiknya tinggal barang semalam atau dua malam lagi, paman?" tanya Yudis kepada Yohan yang sudah siap pergi bersama kopernya.

"Tidak nak Yudis, paman harus segera pulang. Ada beberapa urusan di kota yang harus segera paman rampungkan," kata Yohan. "Nanti kalau paman ada waktu kosong, paman janji bakal balik lagi kesini buat nengokin kamu sama Ibumu. Kan yang penting sekarang kita sudah lega, sudah mengantarkan Bapakmu dengan tenang," lanjutnya. "Paman pesan, kamu jaga ibumu baik-baik ya, paman bisa merasakan kalau ibumu sangat terpukul. Tolong diawasi terus, paman takut ibumu melakukan sesuatu yang tidak diinginkan."

Yudis mengangguk, dia mengerti betul maksud perkataannya.

Yohan pun pergi meninggalkan ibu dan anak tersebut sendirian. Sebelum pergi, Martha terus menatapnya seperti ingin menyampaikan sesuatu. Namun ketika Yohan mencoba mendekatinya, dia tidak juga mau membuka mulut. Yohan mengerti, barangkali beberapa hari ke depan keadaannya jauh membaik.

***

            Keesokan harinya, Yohan menemukan sepucuk surat yang terjatuh saat dia membereskan isi kopernya. Surat itu dari Martha.

"Agustian mati bukan karena tumor otak. Aku meracuninya. Aku sudah sangat sabar menghadapai binatang itu. Sampai akhirnya, aku tahu dia punya keluarga lain selain aku dan Yudistira. Itulah saat dimana aku menyerah. Kau boleh menganggapku iblis, atau setan. Tapi apa yang telah dia lakukan padaku, itu lebih kejam. Jangan berpikir kau tahu segalanya tentang perasaan kami, karena kau tidak tahu apapun."

                     Martha

Berkali-kali Yohan membaca barisan surat singkat itu, berharap semua hanya halusinasi, sampai dering telepon itu mengagetkannya.

Dengan terisak menahan tangis, Yudistira terbata-bata menyampaikan, kalau Martha mati gantung diri di kamarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun