Mohon tunggu...
MELSI ANGRAINI
MELSI ANGRAINI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Prodi Pendidikan IPS (Konsentrasi Ilmu Ekonomi), dan menyukai seputar Sejarah karena sejarah adalah gurunya kehidupan. 🤗❤️

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perang Kamang / Perang Belasting 15 Juni 1908

2 Juli 2022   18:44 Diperbarui: 2 Juli 2022   18:45 2254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamang, pada dahulunya merupakan sebuah Kelarasan yang mencakup Aua Parumahan, Surau Koto Samiak, Suayan, dan Sungai Balantiak. Pasca zaman kemerdekaan, Kamang  terbagi menjadi dua nagari yaitu Kamang Hilir dan Kamang Mudiak. Aua Parumahan menjadi Kamang Hilir dan Surau Koto Samiak menjadi Kamang Mudiak, Sementara Suayan dan Sungai Balantiak masuk ke wilayah Kabupaten 50 Kota, karena secara geografis letaknya memang dipisahkan oleh bukit barisan dari wilayah Aua Parumahan dan Surau Koto Samiak, yang sekarang masuk wilayah Kabupaten Agam. Kamang Hilir dan Kamang Mudiak selanjutnya merupakan wilayah Kecamatan Tilatang Kamang, dan akhir-akhir ini membentuk Kecamatan sendiri Kamang Magek (Nagari Kamang Hilir, Kamang Mudiak di tambah Nagari  Magek).  Pada masa dahulu (masa kolonial) Bukittinggi yang lebih dikenal dengan nama Fort De Kock menjadi pusat pemerintahan di Agam Tua (Belanda; Oud Agam). Wilayah kekuasaan Residen yang berkantor di Fort De Kock mencakup Bukittinggi sekarang dan daerah yang sekarang lebih dikenal dengan nama Agam Timur. Berbeda dengan masa dahulu dimana birokrasinya di satukan pada masa sekarang birokrasi antara Bukittinggi dan Kabupaten Agam dipisahkan, sehingga timbul sedikit jarak antara Bukittinggi dan Agam (terutama Agam Timur).

Perang Kamang adalah perang terbuka yang meletus  pada 15 Juni 1908 dan merupakan salah satu puncak dari kemelut suasana anti penjajahan rakyat Sumatera Barat dalam menentang penjajahan Belanda. Disini terlihat nyata bentuk semangat dan pengorbanan rakyat Kamang, baik kalangan adat, agama, cerdik pandai, pemuda/pemudi, bahkan kaum ibu dalam menulangpunggungi perlawanan mengusir Belanda, yang dari segi politis dapat dikatakan sebagai bukti sumbangan yang pernah mereka tunjukkan kepada Bangsa Indonesia. Kesadaran anti terhadap penjajahan Bung Hatta pun dipercaya berawal dari peristiwa ini, ketika sang proklamator melihat "urang rantai" yang digiring Belanda lewat di depan rumah beliau, dan neneknya  berkata: "Tu urang Kamang nan malawan Bulando" (Memori Muhammad Hatta, 1979). Sjech Muh Djamil Djambek ulama terkenal dari Bukittinggi pun selama bertahun-tahun datang secara rutin ke Kamang untuk membangkitkan motivasi dan memberi bimbingan rohani bagi masyarakat yang menanggung beban penderitaan dan trauma hebat akibat perang tersebut.

Gejolak bathin seorang bocah

Suatu ketika di pertengahan tahun 1908, seorang bocah yang sedang berada di depan rumah orang tuanya yang  terletak di sekitar kawasan pasar banto Fort de Kock (Bukittinggi) melihat beberapa orang yang di rantai dan dibawa serdadu Belanda, lalu dia bertanya kepada neneknya siapa orang-orang tersebut, neneknya pun menjawab bahwa orang-orang tersebut adalah orang-orang Kamang yang ditangkap karena terlibat perang menentang kebijakan Belanda di Kamang. Itulah peristiwa pertama dalam hidup seorang bocah dimana dengan mata kepalanya sendiri melihat tekanan yang diberikan Belanda kepada orang-orang sebangsa dengannya. Dan peristiwa ini pula lah menjadi awal tekadnya untuk berjuang demi bangsanya. Bocah itu adalah Muhammad Hatta,  yang mana kemudian akhirnya dikenal sebagai salah satu proklamator negara Republik Indonesia.

Awal penyebab terjadinya perang kamang

Pada tanggal 1 Maret 1908, pemerintah Kolonial mengumumkan akan diberlakukan kebijakan penetapan pajak untuk rakyat di wilayah jajahan. Untuk itu para pejabat pemerintahan diharapkan segera melakukan penerangan (sosialisasi) kepada rakyat jajahan. Hal ini juga berlaku bagi pejabat pemerintahan di Governement Sumatera Westkust (Sumatera Barat). Maka dari itulah pejabat pemerintahan kolonial di Luhak Agam atau mereka menyebutnya Oud Agam yang berpusat di Fort de Kock (Bukittinggi) mengambil kebijakan untuk mengumpulkan para Kepala Laras. Gunanya ialah untuk menyampaikan kebijakan baru pemerintah tersebut.

Kontroleur Agam ketika itu ialah seorang Belanda yang bernama J.Westennenk yang merupakan salah seorang tokoh utama dalam usaha memadamkan pemberontakan orang Kamang. Dialah yang memimpin penyerangan terhadap Nagari Kamang yang kabarnya akan melawan kepada pemerintah.

J.Westennenk lah yang memimpin rapat dengan para Kepala Laras dari Luhak Agam. Mereka melakukan rapat di Fort de Kock (Bukittinggi). Para Kepala Laras itu ialah Tuanku Laras Kamang, Tuanku Laras Magek, Tuanku Laras Salo, Tuanku Laras Baso, Tuanku Laras Tilatang, Tuanku Laras Kapau, Tuanku Laras Candung, Tuanku Laras Sungai Puar, Tuanku Laras IV Angkek, Tuanku Laras Banuhampu dan Tuanku Laras Ampek Koto Tuo.

 Dalam pertemuan itu J.Westennenk berkata kepada para Kepala Laras:

"Tuanku-tuanku Kepala Laras, Gubernemen (Pemerintah) Belanda tidak mau menyusahkan lagi anak nagari di sini. Tidak lagi disuruhnya menanam kopi dan menjualnya hanya kepada Gubernemen (Pemerintah),  anak nagari boleh menanam kopi sesuka hatinya saja. Kini Gubernemen (Pemerintah) bikin peraturan baru, anak nagari harus membayar beberapa rupiah kepada Gubernemen (Pemerintah) untuk segala macam kekayaannya, itu namanya belasting (pajak)"

Mendengar perkataan dari J.Westennenk tersebut, para Kepala Laras pun terkejut. Karena sebagai  para pemimpin yang telah memahami watak dan karakter dari masyarakat yang dipimpinnya dan pemahaman mereka, kebijakan ini belum pernah diberlakukan di Alam Minangkabau. Tidak pernah penguasa sebelum Belanda menempuh kebijakan semacam ini.

Maka perkataan dari J.Westennenk itu dijawab oleh Tuanku Laras Sungai Puar:

"Maaf Tuan. Maksud Tuan menyuruh anak nagari bayar belasting  (pajak)  terlalu sulit. Anak nagari kami banyak yang tidak ada di kampung dan pergi merantau"

 Jawaban dari Tuanku Laras Sungai Puar tersebut rupanya diterima oleh para Tuanku laras yang lain. Keadaan serupa namun tak sama rupanya juga didapati di nagari lain di Luhak Agam. Maka menyambunglah Tuanku Laras Kamang dari perkataan Tuanku Laras Sungai Puar tersebut:

"Benar Tuan, kami sangat sependapat dengan Tuanku Laras Sungai Puar. Angguak-anggak, geleng-amuah. Itulah diantaranya sifat anak nagari kami. Lebih suka dihukum dari pada disuruh jual hasil kopinya kepada Gubernemen  (Pemerintah) Belanda, itulah contoh di waktu yang lalu"

 Akhirnya pertemuan itu selesai tanpa ada hasil kesepakatan. J.Westennenk dibuat bingung atas sikap para Tuanku Laras, di satu sisi dia memahami watak dan karakter dari orang melayu ini. Namun di sisi lain sebagai aparat pemerintahan dia mendapat kewajiban untuk menjalankan kebijakan yang sama sekali baru, tidak lazim dikalangan rakyat, dan ini juga sangat ditentang oleh rakyat yang berada dibawah kepemimpinannya. Maka akhirnya J.Westennenk menempuh cara baru yaitu dengan mendatangi nagari-nagari di Luhak Agam. Tujuannya ialah sebagai sosialisasi, dengan harapan supaya rakyat nagari dapat diyakinkan dengan kebijakan baru ini. Namun kenyataan, hampir seluruh rakyat nagari yang didatangi oleh J.Westennenk menolak penetapan pajak ini.  

Tersebutlah kisah kedatangan J.Westennenk ke Nagari Kamang, dia berusaha menerangkan dengan baik dan sejelas-jelasnya perihal kebijakan baru dari pemerintah kolonial kepada rakyat. Namun apa hendak dikata, rakyat menolak kebijakan baru. Dimana sebelumnya rakyat  Kamang sendiri telah mengetahui hasil rapat yang dihadiri oleh Lareh Kamang Garang Dt. Palindih di Fort de Kock (Bukittinggi).

Pada saat pertemuan itu salah seorang pemimpin Nagari Kamang yakni Dt. Rajo Pangulu menjawab perkataan J.Westennenk:

"Tuan J.Westennenk yang kami hormati, penetapan belasting  (Pajak) tidaklah mungkin. Maaf dipinta kepada tuan sebelumnya, keadaannya ialah kami telah Tuan tipu dengan disuruh menanam kopi pada masa sebelumnya. Kemudian kopi itu Tuan beli dengan harga murah kepada kami. Tuanlah yang sebenarnya harus membayar kepada kami. Tapi kenapa kini Tuan yang meminta uang kepada kami. Bukankah Tuan pandai membuat uang. Maaf sekali lagi Tuan, sesen ( sedikit ) pun tidak akan kami berikan, musuh tidak dicari, kalau datang tidak dielakkan. Asa hilang kedua terbilang"

Foto:

Rumah kaum keluarga M.Saleh gelar Dt. Rajo Pangulu dari Suku Sikumbang

Apalagi  sebelum pertemuan dengan J.Westennenk ini terjadi,  Basa Nan Barampek yaitu para pemimpin Kamang telah terlebih dahulu memutuskan dan bermufakat dalam masalah ini. Dalam mufakat yang sekian lama, mengkaji baik buruknya perkara ini sepanjang syari'at dan adat (hukum) yang berlaku di Alam Minangkabau dan terlebih lagi di Nagari Kamang. Maka diputuskanlah untuk menolak keputusan penetapan Belasting (Pajak) ini.

Dalam pandangan para pemuka nagari ketika itu, Pemerintah Kolonial Belanda telah bertindak melampaui batas. Bertahun-tahun dahulu mereka telah membuat suatu perjanjian dengan masyarakat di Alam Minangkabau. Perjanjian itu ialah Plakat Panjang, salah satu isi perjanjian tersebut adalah tidak akan memungut cukai (pajak) dalam bentuk apapun kepada rakyat Minangkabau. Namun sekarang, sesuai dengan watak mereka sebagai orang kafir, orang-orang Belanda telah mengkhianati sendiri perjanjian yang mereka buat. 

Dan guna menindak lanjuti keputusan Basa Nan Barampek maka disepakatilah hasil mufakat para penghulu dengan mengangkat  M.Saleh gelar Dt. Rajo Pangulu dari Suku Sikumbang sebagai pimpinan orang Kamang dalam menghadapi perlawanan yang kemungkinan akan terjadi nantinya. Langkah ini diambil setelah melihat keadaan yang semakin jauh dari kebaikan. Akhirnya J.Westennenk kembali ke Fort de Kock (Bukittinggi) dengan tangan hampa.

Gejolak perlawanan masyarakat kamang

Pada hari Jumat bulan Maret 1908 diadakanlah rapat di rumah Abdul Wahid gelar Kari Mudo. Ikut hadir diantaranya Kepala Laras Kamang sendiri dan saudara-saudaranya Dt. Siri Marajo (Penghulu Kepala Tangah) dan Sutan Pamenan. Hasil rapat hari itu ialah kebulatan tekad untuk tidak membayar belasting ( Pajak ). Keputusan ini kemudian juga didukung oleh beberapa orang tokoh masyarakat di Nagari Kamang, diantaranya  Dt. Rajo Pangulu, Haji Muhamad Saleh, Labai Sampono, Abdullah Pakih, Malin Manangah, Datuk Makhudun, Pakih Bulaan, Pakih Marandah, Palito Hakim, Malin Mancayo, Bagindo Marah, Labai Imam Putih, Haji Samad, Labai Saidi dan Sidik.

 Keesokan harinya Kari Mudo bersama Dt. Rajo Pangulu, Haji Muhamad Saleh, Abu Malin Saidi dan Datuk Maruhun mengunjungi Kepala Laras Dt. Palindih dan Pangulu Kepala Dt. Siri Marajo di Tangah untuk menyampaikan penolakan masyarakat Kamang atas keputusan belasting  (Pajak)  tersebut. Dan akhirnya secara resmi jawaban dari kedua pemimpin tersebut ialah menolak rencana tersebut.

Di  bagian lain daerah Kamang, H. Abdul Manan, adalah seorang ulama asal Bansa Nagari Hilalang  juga bergabung dengan Dt. Rajo Pangulu dalam pergerakan dimana saat itu beliau sedang mengajar mengaji di kampung Bungo Tanjuang Kamang. Beliau lah yang akhirnya melakukan koordinasi dengan orang kampung beliau semua di Bansa. Mereka pun sepakat dengan perlawanan ini, masyarakat di Bansa pun merasa tak patut kiranya kita orang Minang ini yang membayar belasting (Pajak) kepada orang Belanda.

 

Rapat dengan J.Westennenk di Rumah Tuanku Laras 

 Tanggal 20 April 1908, ditetapkan bahwasanya akan ada rapat di rumah Kepala Laras Kamang. Yang akan memimpin rapat ialah kontrolir Out Agam sendiri yakni J.Westennenk. Tujuan dari rapat ini ialah membicarakan mengenai perkara belasting (Pajak) yang pada saat itu sedang hangat menjadi pembicaraan dikalangan rakyat Nagari Kamang. Rupanya niat dari pemerintah tersebut tidak mendapat sambutan yang baik di kalangan rakyat. Kari Mudo dan kawan-kawan berencana hendak menggunakan kesempatan tersebut untuk menyuarakan suara hati mereka. Maka pada hari yang telah ditentukan, tatkala sekalian anak nagari telah berkumpul di rumah Tuanku Laras maka tampillah Kari Mudo bersuara "barang siapa yang membayar pajak kafir".

 

Kesibukan Menanti Perang

Pada tanggal 2 Juni 1908, diadakan lah pertemuan yang dihadiri oleh para pemimpin dari Agam Tua, Padang Panjang, Manggopoh, dan Lubuk Basung. Dalam rapat tersebut diputuskan akan mengadakan aksi menentang Belanda. Didalam pertemuan itu juga di tetapkanlah Dt. Rajo Pangulu sebagai pemimpin gerakan dan memesan senjata ke Salo sekaligus berusaha memobilisasi rakyat guna menghadapi tantangan dari pihak Belanda. H. Abdul Manan membawa kata sepakat ke Bansa Nagari Hilalang kampung halamannya dan berusaha mengumpulkan pendukung guna menambah kekuatan yang telah ada di Kamang.  A. Wahid Kari Mudo bertugas memotivasi kaum muda dan menggalang kekuatan dengan daerah lain. Ketiga tokoh inilah yang menjadi motor penggerak perlawanan rakyat di Kamang.

 

Pecahnya Perang Kamang

Pada hari Senin  tanggal 15 Juni 1908,  sebagai hari perlawanan paling hebat di Sumatera Barat dalam menentang  sistem belasting (Pajak) telah diawali. Provokasi mulainya perang dilakukan oleh salah-seorang penduduk  Magek yang datang ke kantor Laras Warido untuk membayar belasting (Pajak), orang ini dihadang oleh rakyat setempat, di ancam akan dibunuh jika niat ini diteruskan, karena hal ini telah melanggar tekad bersama untuk menentang Belanda. Mengetahui kejadian ini Warido yang menjabat sebagai Laras Magek dan juga sebagai mantri kopi langsung berangkat ke Fort de Kock (Bukittinggi) untuk melaporkan kejadian ini kepada J. Westennenk dan meminta supaya para pembangkang segera di tangkap.

 J.Westennenk yang mendapat kabar dari Warido segera paham bahwa ini adalah pertanda perang. Sebelumnya dia telah mendapat kabar dari Jaar Dt. Batuah Kepala Laras Tilatang (sekitar 8 Km dari Kamang) mengenai situasi di Bansa Nagari Hilalang Kelarasan Kamang mengenai pergerakan H. Abdul Manan. Hal ini kemudian dilaporkan J. Westennenk kepada Hecler sebagai Gubernur Sumatera Westkust sekaligus meminta petunjuk tindakan apa yang harus di ambil. Hanya satu kata yang dicetuskan Hecler sesuai dengan kebijakan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Heutez, yaitu serbu.

 J.Westennenk kemudian meninggalkan posnya di Fort de Kock (Bukittinggi) dengan membawa 160 orang pasukan yang dibagi menjadi tiga kelompok untuk segera bergerak ke Kamang:

  1. Pasukan pertama terdiri atas 30 tentara serta Penghulu Kepala Pauh dan dipimpin dua orang letnan  yaitu Heine dan Cheriek, mereka akan berjalan melalui Mandiangin, Gaduik, dan Koto Malintang menuju Pauh.
  2. Pasukan kedua dipimpin langsung oleh J.Westennenk bersama Kapten Lutsz, Letnan Leroux, Letnan Dua Van Keulen, Dahler dan inspiran kontroleur Beeuwkess dengan 80 orang tentara. Mereka berjalan melalui Manggis, Pakan Kamis, Ambacang, dan Tapi, menuju Ilalang dan Tangah.
  3. Pasukan ketiga, dipimpin oleh Letnan Boldingh dan Letnan Dua Schaap dengan 50 orang tentara. Mereka ini bergerak melalui Biaro dan terus ke Salo, Tigo Lurah (Magek), dan Tangah (Kamang). Dimana dalam pasukan ini ikut juga Warido, penghulu tigo lurah dan Laras Banuhampu.

Di sepanjang perjalanan terjadilah perlawanan rakyat yang cukup sengit, diantaranya yang dipimpin oleh Dt. Parpatiah di Magek. Dalam pertempuran ini lah Pejabat Kepala Laras Magek Warido tewas dibunuh oleh Dt. Parpatiah, sebelum Dt. Parpatiah sendiri tewas ditembus senjata lawan. Di lain tempat pasukan yang dipimpin Westennenk atas informasi dari Jaar Dt. Batuah, bergerak mengepung rumah H. Abdul Manan untuk menangkapnya, karena pada masa itu Belanda beranggapan bahwa yang menjadi dalang pergolakan adalah kaum ulama. Ternyata yang dicari tidak bersua, rumah ini hanya ditunggui oleh tiga orang wanita. Karena H. Abdul  Manan telah terlebih dahulu melarikan diri menemui Dt. Rajo Pangulu di Kamang guna mengabarkan pergerakan Belanda, dan menyusun kesiagaan seluruh rakyat guna mengorbankan perang sabil.

tugu-depan-makam-dt-parpatiah-nan-sabatang-62c02c51bd09461ace55dac2.jpg
tugu-depan-makam-dt-parpatiah-nan-sabatang-62c02c51bd09461ace55dac2.jpg
Foto:

Makam Dt. Parpatiah

Pada pukul 12.00 dini hari didapat kabar kalau Belanda telah berkumpul di Kampung Tangah[5] menunggu matahari terbit. Hal ini disadari oleh Dt. Rajo Pangulu, bersama pemimpin lainnya (kecuali H.Abdul Manan yang telah kembali ke kampungnya guna mengkoordinir gerakan) memutuskan untuk pergi menyongsong musuh. Pertimbangan dari Dt. Rajo Pangulu ialah karena Kampung Tangah merupakan daerah lengang dengan perumahan penduduk yang tidak seberapa.

 Pasukan yang dipimpin oleh Dt. Rajo Pangulu terlebih dahulu berkumpul di Masjid Taluak, masjid yang selama ini menjadi pusat gerakan (Mesjid Taluak adalah mesjid yang pertama kali dibangun di Kamang pada tahun 1800 atas prakarsa ulama termasyhur waktu itu yang bernama Tuangku Labai di Aceh. Pada awalnya mesjid ini digunakan oleh masyarakat Kamang untuk Shalat Jum'at dan sekaligus tempat pendidikan agama. Setelah bangkitnya kaum paderi, mesjid tersebut dijadikan tempat bermusyawarah pimpinan paderi. Di sinilah Tuangku Nan Renceh, H.Piobang dan H.Sumanik, pernah menggembleng beberapa orang perwira Paderi, diantaranya Peto Syarif yang kelak dikenal dengan nama Tuangku Imam Bonjol dan Tuangku Rao yang dalam perjuangannya kemudian berhasil meng-islamkan tanah Batak Selatan).

mda-dan-surau-taluak-62c02da9bd0946557450c452.jpg
mda-dan-surau-taluak-62c02da9bd0946557450c452.jpg
Foto:

Lokasi Masjid Taluak (surau Taluak), setelah adanya masjid yang lebih besar, saat ini beralih Fungsi menjadi mushalla Syuhada dan MDA dan bangunannya telah di renovasi mengikuti perkembangan zaman

Instruksi dan penjelasan mengenai pertempuran yang akan segera berlangsung diberikan di sini. Pasukan dibagi menjadi beberapa kelompok, kelompok terbesar dipimpin oleh Qhadi Abdul Gani. Setelah melaksanakan shalat berjama'ah dan pekik Allahu Akbar juga kalimat Laailahaillallah, pasukan ini berangkat dengan mengenakan pakaian putih-putih menuju Kampung Tangah dan kemudian bersembunyi di rumpun padi yang sedang menguning sambil merayap mendekati pasukan Belanda. J.Westennenk yang melihat pergerakan segerombolan orang yang berpakaian putih-putih mendekati pasukannya dan juga telah mengenal bayangan Dt. Rajo Pangulu bersama pimpinan lainnya, belum mau bertindak tapi masih berusaha untuk membujuk kemarahan rakyat agar kembali pulang dan mengingatkan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Tetapi seruan itu dijawab oleh Dt. Rajo Pangulu bahwa pasukan rakyat tidak akan mundur dan siap untuk mati syahid.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan dan dimulailah gelombang serbuan pertama pasukan rakyat dengan berbagai senjata tajam dan beberapa senjata lainnya. Dalam beberapa jam, maka terjadilah perang dahsyat. Dalam sebuah laporan resmi J.Westennenk kepada Gubernur Jendral Ven Heutsz di Batavia melalui surat kawat tanggal 17 Juni 1908, disusul pada Gubernur Sumatera Westkust Heckler No. 1012 tanggal 25 Juni 1908, dia menjelaskan suasana malam itu, dimana saat itu jurang ras manusia dengan segala kekuasaannya sudah tidak ada lagi. Yang ada cuma sekelompok manusia yang saling berhadapan dengan tatapan buas untuk saling bunuh. Dari  pasukan rakyat yang berada di jalanan terdengar kalimat-kalimat tauhid, dimana jumlah mereka tidak kurang dari 500 orang, ditambah dengan yang sedang merayap diantara rumpun padi yang jumlahnya juga ratusan orang. Dalam laporan itu, J. Westenennenk juga menjelaskan saat itu terjadi 8 kali gelombang serangan dalam waktu yang tidak berapa lama. 

Demikianlah pada pertempuran yang berlangsung sampai pukul 2 pagi, Dt. Rajo Pangulu beserta pasukan rakyat memperoleh kemenangan, tentara Belanda di buat kocar kacir, dan sebagian berhasil meloloskan diri ke Fort de Kock (Bukittinggi)  termasuk J.Westennenk untuk meminta bantuan. Maka dikirimlah pasukan dari Fort de Kock (Bukittinggi) dan diperkuat lagi dengan pasukan-pasukan dari tangsinya di Padang Panjang, semuanya menuju Kamang.  

Pasukan bantuan ini lah yang menimbulkan malapetaka bagi pasukan rakyat, karena mereka datang dalam jumlah besar serta dilengkapi persenjataan yang lebih modern. Dalam perang jilid kedua ini lah akhirnya Dt. Rajo Pangulu gugur bersama 70 pejuang lainnya, termasuk 2 orang srikandi yang ikut menjadi bagian dari pasukan rakyat, mereka adalah Siti Asiah yang juga merupakan istri Dt.Rajo Pangulu, dan seorang lagi bernama Siti Anisah, dimana pada tahun 1926  anak dari Siti Anisah yang bernama Ramaya ini lah yang nantinya tampil sebagai pemimpin pemberontakan terhadap Belanda yang lebih dikenal sebagai pemberontakan kamang 1926.

makam-datuak-rajo-panghulu-dan-siti-aisyah-62c02e212b6a466a3e340bd2.jpg
makam-datuak-rajo-panghulu-dan-siti-aisyah-62c02e212b6a466a3e340bd2.jpg
Foto:

Makam M.Saleh Dt. Rajo Pangulu dan istri beliau Siti Asiah 

Sedangkan dari pihak Belanda menurut buku "70 tahun Perang Kamang-Manggopoh" jumlah tentara Belanda yang tewas dalam penyerangan terhadap Kamang tidak kurang dari 425 orang, walaupun dalam laporan resmi J.Westennenk cuma disebut kalau di pihak mereka 11 orang tewas ditambah 13 orang luka-luka. Tetapi yang jelas dilapangan kenyataannya menurut pelaku sejarah itu sendiri, berpedati-pedati banyak mayat serdadu Belanda dari medan pertempuran yang dilarikan ke Fort De Kock (Bukittinggi) .

Akhirnya semua jenazah pahlawan perang Kamang, kembali di bawa ke Kamang (sekarang Kamang Hilia) dan di makamkan di komplek masjid taluak, tempat awal mereka berangkat, sesuai apa yang telah di tekankan oleh Dt. Rajo Pangulu sebagai pimpinan. Berangkat dari taluak maka harus kembali ke taluak. Dimana akhirnya komplek pemakaman ini diresmikan sebagai makam pahlawan oleh menteri koordinator keamanan dan pertahanan A.H. Nasution tanggal 15 Juni 1963 dalam kunjungannya ke Kamang. Sebelummya tanggal 15 Juni 1962, wakil perdana menteri pertama/ ketua MPRS juga pernah memberi sambutan saat peringatan perang kamang dan juga tanggal 15 Juni 1964 oleh menteri penerangan DR.H.Abdul Gani.

makam-pahlawan-taluak-62c02e71bb44865da237fa43.jpg
makam-pahlawan-taluak-62c02e71bb44865da237fa43.jpg
Foto:

Komplek Makam Pahlawan Perang Kamang 15 Juni 1908

Akan halnya H. Abdul Manan, menurut buku pemberontakan pajak karangan Rusli Amran, beliau ditangkap keesokan harinya tanggal 16 Juni 1908, kemudian ditembak mati di kampung kelahirannya dan di makamkan satu komplek bersama 21 pejuang lainnya di Kamang Mudiak yang lebih dahulu gugur di malam perang Kamang itu sendiri. Dan atas permintaan Jenderal AH Nasution didirikan sebuah Tugu Perjuangan Kamang untuk menghormati H.Abdul Manan beserta 21 pejuang lainnya. Tugu tersebut diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat Ir Azwar Anas pada tahun 1982 dan tugu itu berbentuk segi empat panjang dengan bola diatasnya. Tertulis, "Di sinilah terjadi terjadi Peristiwa Perang Kamang 15 -- 16 Juni 1908".

Adapun beberapa pejuang lainnya, seperti Wahid Kari Mudo, Garang Dt. Palindih, Dt.Siri Marajo, Pandeka Sumin, Dt. Mangkuhudun, Haji . M. Amin dan lain-lain, mulai ditangkapi Belanda keesokan harinya, gelombang penangkapan ini lah yang disaksikan oleh bocah yang bernama M.Hatta. Pejuang-pejuang ini ada yang dibuang ke Padang, Batavia, Magelang, Makasar dan sebagainya. Dan sebagian tidak pernah kembali ke Kamang sampai akhir hayat mereka.

Hubungan Perang Kamang dengan Perang Manggopoh

Antara perang kamang yang terjadi pada tanggal 15 Juni 1908 dengan Perang Manggopoh yang pecah keesokan harinya tanggal 16 Juni 1908 pada dasarnya mempunyai hubungan yang erat dan motif yang sama. Karena antara tokoh-tokoh pejuang Manggopoh dan pimpinan yang ada di Kamang sering bertukar pikiran dan informasi-informasi penting menyangkut strategi perlawanan.

Salah seorang putra Manggopoh yang bisa dianggap sebagai salah satu tokoh gerakan anti penjajahan pada waktu itu adalah Majo Ali, Majo Ali sendiri adalah suami dari Siti Manggopoh yang menjadi pemimpin saat perang Manggopoh terjadi. Saat meletusnya perang Kamang, sehari sebelumnya, Majo Ali datang ke Kamang dengan maksud menemui para pemimpin rakyat kamang untuk membicarakan kapan aksi perlawanan di kedua negeri ini akan dilancarkan.

Tetapi sebelum masalah itu di bahas, Belanda sudah lebih dahulu mengerahkan serdadunya untuk menaklukkan Kamang. Jadi dalam perang Kamang itu sendiri Majo Ali ikut ambil bagian, dan baru menjelang akhir pertempuran dia kembali ke Manggopoh untuk menyusun perlawananan bersama istrinya Siti Manggopoh.

 

Pasca Perang kamang

Perang Kamang telah membawa malapetaka bagi masyarakat Kamang. Rakyat Kamang kehilangan pimpinan. Sebagian mereka telah gugur di medan juang, tinggal di penjara, di hukum dan dibuang. Yang lolos dari penangkapan lari meninggalkan negeri.

Setelah mengalami penangkapan oleh Belanda  bersama dengan beberapa orang pemimpin Kamang lainnya, akhirnya mantan laras kamang Garang Dt.Palindih dibebaskan dari penjara Batavia dan di izin kan pulang. Kepulangan Garang Dt.Palindih telah memberikan angin segar bagi masyarakat Kamang. Walaupun telah di pecat sebagai laras, tetapi kharismanya sebagai tokoh sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat Kamang selanjutnya.

Beliau memahami benar bahwa disamping Belanda, masih ada lagi musuh yang lebih besar, yaitu kebodohan. Kebodohan inilah yang selama ini dimanfaatkan Belanda selama ini. Sepulang dari masa hukuman, di dapatinya Kamang di cekam oleh berbagai macam rasa ketakutan, sebagai ekses yang timbul dan sengaja di buat oleh kaki tangan Belanda.

Pemerintahan dipegang oleh Jaar Dt. Batuah Laras Tilatang yang kekuasaannya diperluas sampai Kamang karena sikapnya yang memihak Belanda. Garang Dt.Palindih bekas Laras Kamang tanpa ragu terjun ke medan juang baru yaitu untuk mencerdaskan anak negeri.

Beliau mengadakan kerjasama dengan Syekh Muhammad Djamil Djambek seorang ulama terkemuka di Fort de Kock (Bukittinggi) . Beliau meminta supaya Syekh Muhammad Djamil Djambek mengadakan pengajian di Kamang dengan mengambil tempat di rumah beliau di tepi Batang Agam Joho. Permintaan Garang Dt.Palindih ini di kabulkan oleh Syekh Muhammad Djamil Djambek. Awal mulanya murid beliau sedikit, tapi seiring berjalannya waktu akhirnya bertambah banyak. Sayangnya, pada tahun 1915 rumah tempat pengajian tersebut di bakar oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Tapi pada tahun itu juga berhasil kembali di bangun, kali ini berbentuk sebuah surau yang cukup besar sebagai pengganti dan dikenal dengan nama Surau Inyiak Djambek. Jadi Surau Inyiak Djambek ada dua, satu terletak di Bukittinggi, sedangkan yang satu lagi terletak di Kamang.

Selama kurang lebih 30 tahun Syekh Muhammad Djamil Djambek memberikan dakwah ajaran-ajaran kepada masyarakat kamang dan sekali-sekali juga bergantian dengan beberapa ulama terkenal, seperti Syekh Daud Al Rasyidi, Syekh Ibrahim Musa Parabek dan banyak lainnya. Usaha keras tak kenal lelah itu berhasil mengembalikan tauhid dan aqidah umat, sehingga terbebas dari syirik, sihir dan tarikat yang telah memasyarakatkan jimat-jimat tahan pukul, tahan benda tajam, tahan peluru dan segala hal yang menyesatkan.

Selain itu Syekh Muhammad Djamil Djambek juga memberantas buta huruf.  Murid yang ikut pengajian harus tahu dan pandai tulis baca huruf arab melayu dan latin apalagi membaca Al-Qur'an. Usaha Syekh Muhammad Djamil Djambek memberantas kebodohan ini bukannya tanpa rintanngan, sering terjadi dimana pengajian di hentikan oleh anggota VID, yaitu intelijen Belanda yang bertugas memata-matai gerak gerik orang yang dicurigai akan menghasut rakyat untuk memusuhi Belanda.

Pada tahun 1926, terjadi pemberontakan kamang yang di pimpin Ramaya. Peristiwa ini memaksa Syekh Muhammad Djamil Djambek meghentikan pengajiannya, Setelah suasana kembali membaik, baru Syekh Muhammad Djamil Djambek kembali meneruskan pengajiannya.  Malah belakangan beliau mendapat penghargaan dari pemerintah Belanda atas jasanya menghapus faham komunis yang mulai masuk dalam kehidupan rakyat.

Peranan Syekh Muhammad Djamil Djambek dan Garang Dt.Palindih dalam memberantas kebodohan ini mulai memberikan hasil, banyak kemudian pemuda-pemuda kamang yang mulai sekolah ke sekolah agama terkemuka lainnya seperti ke Padang Panjang, Padang Jopang Payakumbuh, dan Parabek Bukittinggi sehingga cara berpikir mereka pun mulai luas.

Sebagai langkah awal, pada tahun 1923 pemuda-pemuda Kamang yang sebagian besar murid dari Syekh Muhammad Djamil Djambek seperti Ismail Labai Isa, Kasasi Labai Mudo, H. Jamiak, H. Abdul Malik, H. Mahmud, H. Bustaman Umar, Talut St. Parpatiah, M. Nur Labai Batuah, Tuanku Bagindo dan lain-lain, berhasil mendirikan madrasah dengan nama Diniyah School ala Diniyah School Labai el Yunusi di Padang Panjang. Diniyah School inilah cikal bakal keberadaan Madrasah Tsnawiyah Negeri 2 Agam nantinya.

foto-mtsn-kamang-dahulu-62c02801bd094639c675cd93.jpg
foto-mtsn-kamang-dahulu-62c02801bd094639c675cd93.jpg
Foto: 

Bangunan lama MTsN 2 Agam sebelum direlokasi ketempat yang baru sebelumnya disini menjadi lokasi Diniyah School

Itulah sekelumit sejarah yang pernah terjadi di Kamang yang sedikit banyaknya telah memberi pengaruh dalam perjalanan bangsa ini meraih kemerdekaan. Untuk melengkapi sejarah perang kamang, dibuatkan tugu peringatan Perang Kamang di Pintu Koto. Sedangkan tokoh-tokoh yang  dijadikan dalam Tugu Peringatan Perang Kamang tersebut adalah  :  

  1. Patung pertama ialah seorang datuk yang menunjuk ke arah Joho dengan ekspresi menyeringai, tokoh tersebut adalah Datuak Rajo Pangulu sang Panglima Perang Kamang. Kampungnya di Gurun Jorong Joho.
  2. Patung kedua ialah seorang perempuan yang sedang berteriak sambil mengayunkan kalewang. Beliau adalah Siti Aisyah isteri Datuak Rajo Pangulu yang masih muda dan cantik. Perempuan muda nan cantik ini merupakan orang yang keras hati, karena kekerasan hatinyalah dia ikut pergi berperang sambil menyamar menjadi laki-laki. Walaupun sudah dilarang, namun beliau masih tetap bersikeras ikut berperang, akhirnya beliau mati dibunuh oleh tentara Belanda ketika sedang berisitirahat minum.
  3. Patung yang ketiga ialah Haji Abdul Manan, salah seorang ulama dari Bansa yang sekarang nagarinya bernama Kamang Mudiak. Pada masa 1908, beliau ini juga mengajar pada salah satu surau di Bungo Tanjuang. Beliau memiliki isteri di nagari  Kamang Hilir 
  4. Patung yang keempat  ialah Haji Abdul Manan beliau ini ialah kamanakan dari Angku Lareh Garang Datuak Palindih yang bernama Ahmad Wahid gelar Kari Mudo. Beliau ini merupakan tokoh pemuda, yang melakukan organisir terhadap para pemuda di Nagari Kamang.

 

Kemudian tidak di Kamang saja, di Bukittinggi juga didirikan Tugu Peringatan Perang Kamang. Tugu itu dibangun di depan RS Ahmad Muchtar, Bukittinggi. Gunanya adalah sebagai simbol untuk mengenang peristiwa sejarah yang terjadi di Kamang. Bentuknya persegi setinggi 10 meter itu didirikan oleh Baharuddin Datuk Bagindo pada 1963.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun