Dalam pandangan para pemuka nagari ketika itu, Pemerintah Kolonial Belanda telah bertindak melampaui batas. Bertahun-tahun dahulu mereka telah membuat suatu perjanjian dengan masyarakat di Alam Minangkabau. Perjanjian itu ialah Plakat Panjang, salah satu isi perjanjian tersebut adalah tidak akan memungut cukai (pajak) dalam bentuk apapun kepada rakyat Minangkabau. Namun sekarang, sesuai dengan watak mereka sebagai orang kafir, orang-orang Belanda telah mengkhianati sendiri perjanjian yang mereka buat.
Dan guna menindak lanjuti keputusan Basa Nan Barampek maka disepakatilah hasil mufakat para penghulu dengan mengangkat M.Saleh gelar Dt. Rajo Pangulu dari Suku Sikumbang sebagai pimpinan orang Kamang dalam menghadapi perlawanan yang kemungkinan akan terjadi nantinya. Langkah ini diambil setelah melihat keadaan yang semakin jauh dari kebaikan. Akhirnya J.Westennenk kembali ke Fort de Kock (Bukittinggi) dengan tangan hampa.
Gejolak perlawanan masyarakat kamang
Pada hari Jumat bulan Maret 1908 diadakanlah rapat di rumah Abdul Wahid gelar Kari Mudo. Ikut hadir diantaranya Kepala Laras Kamang sendiri dan saudara-saudaranya Dt. Siri Marajo (Penghulu Kepala Tangah) dan Sutan Pamenan. Hasil rapat hari itu ialah kebulatan tekad untuk tidak membayar belasting ( Pajak ). Keputusan ini kemudian juga didukung oleh beberapa orang tokoh masyarakat di Nagari Kamang, diantaranya Dt. Rajo Pangulu, Haji Muhamad Saleh, Labai Sampono, Abdullah Pakih, Malin Manangah, Datuk Makhudun, Pakih Bulaan, Pakih Marandah, Palito Hakim, Malin Mancayo, Bagindo Marah, Labai Imam Putih, Haji Samad, Labai Saidi dan Sidik.
Keesokan harinya Kari Mudo bersama Dt. Rajo Pangulu, Haji Muhamad Saleh, Abu Malin Saidi dan Datuk Maruhun mengunjungi Kepala Laras Dt. Palindih dan Pangulu Kepala Dt. Siri Marajo di Tangah untuk menyampaikan penolakan masyarakat Kamang atas keputusan belasting (Pajak) tersebut. Dan akhirnya secara resmi jawaban dari kedua pemimpin tersebut ialah menolak rencana tersebut.
Di bagian lain daerah Kamang, H. Abdul Manan, adalah seorang ulama asal Bansa Nagari Hilalang juga bergabung dengan Dt. Rajo Pangulu dalam pergerakan dimana saat itu beliau sedang mengajar mengaji di kampung Bungo Tanjuang Kamang. Beliau lah yang akhirnya melakukan koordinasi dengan orang kampung beliau semua di Bansa. Mereka pun sepakat dengan perlawanan ini, masyarakat di Bansa pun merasa tak patut kiranya kita orang Minang ini yang membayar belasting (Pajak) kepada orang Belanda.
Rapat dengan J.Westennenk di Rumah Tuanku Laras
Tanggal 20 April 1908, ditetapkan bahwasanya akan ada rapat di rumah Kepala Laras Kamang. Yang akan memimpin rapat ialah kontrolir Out Agam sendiri yakni J.Westennenk. Tujuan dari rapat ini ialah membicarakan mengenai perkara belasting (Pajak) yang pada saat itu sedang hangat menjadi pembicaraan dikalangan rakyat Nagari Kamang. Rupanya niat dari pemerintah tersebut tidak mendapat sambutan yang baik di kalangan rakyat. Kari Mudo dan kawan-kawan berencana hendak menggunakan kesempatan tersebut untuk menyuarakan suara hati mereka. Maka pada hari yang telah ditentukan, tatkala sekalian anak nagari telah berkumpul di rumah Tuanku Laras maka tampillah Kari Mudo bersuara "barang siapa yang membayar pajak kafir".
Kesibukan Menanti Perang