Mohon tunggu...
Melati Indah Lestari
Melati Indah Lestari Mohon Tunggu... Pengacara

Meninggalkan jejak kaki saya disini melalui tulisan, karena mereka membuat saya abadi. Temukan tulisan disini berkaitan dengan hukum, politik, filsafat, seni lukis, dan fenomena dunia yang menarik. Selamat membaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gondola Venesia dari Utara

14 September 2025   19:03 Diperbarui: 14 September 2025   19:03 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia merapihkan kembali topinya yang sepertinya sudah lama kusut sedari tadi. Tapak kakinya kembali sampai di pinggir sungai Amstel ketika matahari di barat menunjukkan warna jingganya. Angin membelai halus rambut pirangnya yang membulat batok kelapa. Mata birunya terbelalak melihat lalu lalang gondola yang cantik tersapu cahaya senja. Tangan kecilnya menggapai tangan keriput dan kusut dari pria tua di sampingnya.

"Kakekkk!" ujar bocah kecil itu sambil berlari kecil, "Nanti ketika aku sudah tinggi seperti Daniel, aku ingin membelikan kakek gondola untuk kita naiki di sore hari seperti ini. Oh! tapi aku tidak benar-benar ingin seperti Daniel, ia tinggi tapi tidak memiliki banyak uang. Gondola itu pasti sangat mahal, jadi aku ingin memiliki uang yang banyak!" Bocah polos itu sangat ceria.

"Wahh, kau sangat bijak, Matthew. Tentu saja kau akan bisa membelikan satu gondola yang punya lima tempat duduk untuk kita naiki bersama. Selain Daniel, mari ajak Marianne dan anjingnya Lyn. Kita akan selalu bersenang-senang bersama di sore hari."

"Tentu, kakek! Mari ajak mereka bersama. Aku juga akan berbagi Eierkoek kesukaanku untuk semua orang. Kakek berjanjilah kita akan melakukannya bersama, Janji?" ucap bocah itu berantusias.

"Iya, Matthew. Kita akan naik gondola bersama."

Butuh untuk menyisihkan sekitar 50 Euro untuk sekadar menyewa gondola di sungai Amstel. Bayangkan saja butuh berapa Euro untuk membeli sebuah gondola. Phillip mengiyakan perkataan cucunya begitu saja bukan hanya agar cucunya tidak kecewa. Ia memang benar-benar mempercayainya. Baginya, imajinasi dari anak-anak itu luar biasa. Ia mendorong cucunya untuk percaya bahwa imajinasinya itu nyata dan akan segera terwujud. Ia percaya akan betapa dahsyatnya kekuatan dari sebuah imajinasi anak-anak. Sekalipun perihal ketuhanan pun, ia menganggap anak-anak lebih dekat dengan-Nya. Dalam mencapai Tuhan, imajinasi itu berada diatas rasionalitas dan berada di bawah spiritualitas. Imajinasi adalah rasional yang terspiritualitaskan dan spiritual yang terrasionalitaskan.

Ilmuwan dunia sekelas Albert Einstein pun meyakini bahwa "imajinasi itu lebih penting daripada pengetahuan".

Kini cucunya sudah berumur 6 tahun. Phillip mengasuhnya, Matthew, sejak ia masih bayi. Ayahnya meninggal secara terhormat ketika bertugas di batas negara. Ibunya menikah lagi beberapa bulan setelah melahirkan dan tidak pernah mengunjungi anaknya setelah itu.

Kehidupan mereka tergolong miskin. Mereka hidup serumah dengan Daniel, anak Phillip yang berdedikasi untuk tetap melajang seumur hidup; yang sama miskinnya dengan mereka. Untung saja masih ada Marianne, wanita paruh baya pemilik toko kue kecil sebelah rumah yang kerap berbagi kue dan biskuit pada mereka atau sekadar membantu urus Matthew kecil.

Marianne hanya tinggal berdua dengan anjingnya, Lyn. Ia sangat menyukai surat-menyurat --- sepertinya untuk mengatasi kesepian. Ia sering mengirim dan mendapat surat dari anak-anaknya yang semuanya merantau ke kota-kota besar di negeri jauh, kerabat-kerabatnya juga sering berkirim surat padanya. Setiap pagi sambil menggendong Matthew, ia menaruh surat-surat di kotak pos, dan pada pagi-pagi berikutnya ia mengambil surat balasan. Kebiasaan kecilnya itu nampaknya diamati oleh Matthew hingga ia bertumbuh. Sepertinya ia juga menyukainya.

"Marianne! Aku akan ambil suratnya untukmu!" kaki kecilnya berlari menuju kotak pos depan rumah Marianne.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun