Mohon tunggu...
Lilin
Lilin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perempuan

Perempuan penyuka sepi ini mulai senang membaca dan menulis semenjak pertama kali mengenal A,I,u,e,o

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tertinggal di Jam Dinding Tua

8 April 2022   21:00 Diperbarui: 8 April 2022   21:02 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tak pernah ingin kembali, setelah pergi begitu jauh. Kota Tokyo dengan empat musim membuatku betah berlama-lama di sana. Jika ibu dan bapak tidak berpisah, mungkin saja saat ini aku sedang bermain-main dengan salju di bulan Desember. Di bawah pohon dengan hiasan lampu natal di tengah-tengah kota, tidak di sini.

Mereka berdua tidak pernah mengerti perasaanku. Dengan mudah putusan pisah mereka ambil, setelah hidup 15 tahun bersama. Sebagai anak tunggal di dalam kehidupan mereka tidak ada yang memikirkan perasaanku. Mau tinggal bersama siapa? bagaimana kehidupanku selanjutnya? sama sekali tidak ibu atau bapak pertimbangkan. Jadilah aku di sini, bersama Simbah di kota kecil Blitar. Kota tempat perjuangan tentara PETA di masa penjajahan sebelum kemerdekaan.

Awal ku jejakkan kaki di kota ini, tidak ada yang kuinginkan. Meskipun kata ibu, kota ini tidak kalah indahnya dengan Tokyo dengan penduduk kota yang lebih ramah. Namun tidak seperti yang kurasakan. Di kelas 9 SLTP Negeri 3 aku berada saat ini. Entah bagaimana proses kepindahanku semua sudah diatur oleh ibu.

**

Gerbang sekolah terbuka perlahan meskipun aku belum menyentuhnya.

Krieeetttt ....

Suara besi karatan dan suasana sepi membuat suara pagar terdengar sangat berat. Entah kenapa suasana di sekolah ini begitu sepi padahal jam di pergelangan tanganku sudah menunjukan pukul 06.30 sementara pelajaran dimulai pukul tujuh.

"Mungkin siswa di sini lebih suka hadir ke sekolah mendekati jam pelajaran dimulai," pikirku.

Kulewati lorong bangunan kelas dengan dinding bercat putih pucat, sebenarnya sekolahan ini lebih mirip dengan bangsal rumah sakit daripada ruang kelas. Bagaimana tidak warna cat yang digunakan terlalu pucat, tak tampak nuansa cerah seperti sekolah-sekolah pada umumnya.

"Ahhh apa peduliku."

Cepat kuarahkan kaki ke ruang kelas, seperti yang diberitahukan ibu dalam telepon kemarin bahwasanya aku duduk di kelas 9A. Seperti yang sudah-sudah ibu hanya mengabarkan tempat dan waktu sekolah melalui telepon. Kota besar Jakarta terlampau kuat menjerat langkahnya untuk mengantarkanku ke sekolah pertama kalinya. Sementara Nenek tidak mampu untuk berjalan beberapa kilometer melewati jalanan kecil di tengah pematang sawah di musim penghujan seperti saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun