"Anjing iblis!" Pa Punet memerah. Bisa-bisanya ia baru menyadari perempuan ini adalah Ma Ciwis, bini si kepala desa.  Ia berang pada dirinya yang tolol, memberikan seekor tuyul ajaib pada sepasang iblis. Oh, tentu saja perempuan ini begitu keras kepala. Ia bahkan lebih keras dari suaminya sendiri. Lebih keras daripada batang pohon yang ditebang suaminya sendiri. Lebih keras daripada hutan yang kemudian berganti batang sawit oleh suaminya sendiri. Lebih keras daripada suara jeritan rakyat yang diperuntukkan suaminya sendiri. Ia lebih keras daripada  burung suaminya sendiri. Itulah mengapa mereka tidak subur dan malah memelihara tuyul. Yang dibesarkan tuk mencuri duit rakyat!
Sebelum Ma Ciwis sempat mencerna apa yang tengah terjadi, Pa Punet memukul kepalanya sendiri dengan botol hitam itu.
Pecah. Pecah botolnya, pecah kepala Pa Punet, pecah pula ketuban yang melindungi tuyul.
Pa Punet teroyong-oyong. Darah mengucur deras dari kepala lonjongnya. Tak sengaja ia memijak kulit ketuban yang licin. Brak! Pecah kepala menghantam meja. Suara kriuk remah-remah kepala bersatu padu dengan tangisan bayi. Ma Ciwis mengangkat tubuh kecil itu dengan penuh kehati-hatian. Oh, bayi ini sama sekali tak tampak macam anjing iblis. Betapa teganya Pa Punet mengurung jiwa tak berdosa ini di dalam botol sempit yang berbeda dengan tuyul lain. Bahkan di dunia jin pun, diskriminasi tetap berlaku. Andai putingnya bisa mengeluarkan asi, ia akan menyusuinya saat itu juga.
"Salah. Selama ini aku keliru. Anjing iblis ini memang tidak akan pernah akur dengan manusia. Sebab anjing iblis, ya, hanya untuk iblis!"
Ma Ciwis sama sekali tidak mendengar ucapan si dukun yang sekarat, sebab dirinya terlanjur melambung ke masa lampau. Ia tengah berada di kamar mandi. Keguguran. Menampung janinnya yang tak lebih besar dari telapak tangan. Persis tuyul itu. Bedanya, Ma Ciwis bisa merasakan perut janin yang bernapas. Ia menangis haru. Teringat, ia pernah berbicara pada calon bayinya.
"Sujang. Namamu Sujang."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI