Mohon tunggu...
Dali Budaya
Dali Budaya Mohon Tunggu... Seranting ringkih tak benalu

Bocah ngawur dengan tulisan babak belur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sujang

10 April 2025   10:33 Diperbarui: 10 April 2025   10:33 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ilustrasi pribadi (inspirasi @prabowo.sa)

"Mak Lampir!" Sujang memekik pedas. Kakinya serasa lumpuh sebab kebas, sementara Ma Ciwis sibuk bersilat tangan dengan duit. Merasa tak didengarkan, Sujang mengamuk. Diaduknya semua barang di atas meja. Tetap saja Ma Ciwis tak menghiraukan. Jari-jarinya justru semakin lincah menyisir duit. 

Sebuah piring cantik jatuh pecah berderai. Secepat kilat, Sujang mengunyah beling itu dan menyemburkannya ke muka Ma Ciwis. Sssrrr... Luka menganga di wajah Ma Ciwis. Darah mengalir di wajahnya. Kali ini perempuan itu terpancing. Matanya menusuk mata Sujang, membuat tuyul itu sedikit bergidik ngeri. Hening. Ia was-was akan mata majikan barunya ini. Untuk pertama kalinya, Sujang mengenal rasa takut.

Tangan Ma Ciwis bergerak, membuat tuyul itu tersentak dan melangkah mundur. Ma Ciwis rupanya hanya mengelap darah di wajahnya dan lanjut menyisir duit. Tai, gumam Sujang.

"Kau ini bini pejabat, kenapa pelihara tuyul? Bukankah lakimu itu banyak duitnya."

Tampaknya perempuan ini hanya bisa mengerti bahasa duit, sebab telinganya pun tak berdenging menangkap suara si tuyul. Itu membuat Sujang semakin berhasrat untuk mengacak-ngacak meja, mengacak-ngacak rumah besar ini, atau sekalian saja mengacak-ngacak nyawa si majikan, tapi seperti tak ada gunanya. Ma Ciwis sama sekali tak menghiraukan dan itu membuat Sujang merajuk. Untuk pertama kalinya, Sujang berusaha bersikap tenang (selama dua menit).

Ma Ciwis selesai menghitung duit. Sujang meliriknya. Ma Ciwis membuka laci meja, mengambil kresek hitam yang ternyata berisi duit, dan mulai menghitung duit lagi. Sujang menghela napas. Dua menit berikutnya, Ma Ciwis kembali membuka laci meja, mengambil kresek hitam yang lain, dan menghitung duit lagi dan lagi. Untuk pertama kalinya, Sujang muak melihat duit.

Semalaman itu, Ma Ciwis hanya menghitung duit. Buka laci, ambil kresek, hitung duit. Buka laci lagi, ambil kresek lagi, hitung duit lagi. Dan itu dilakukan dengan mulut terkunci. Sujang merasa perangai majikannya ini beda sekali dengan di pasar tadi. "Enggak ceriwis."

"Hmm?" Ma Ciwis melirik. Sujang tersedak mendengar majikannya bersuara. Ia baru menyadari semua kresek di laci telah diikat. Melihat kesempatan itu, Sujang kembali bertanya. 

"Kau ini bini pejabat, kenapa pelihara tuyul? Bukankah lakimu itu banyak duitnya."

"Sujang pikir, kami memeliharamu karena duit?" 

Kening Sujang berkerut keras. Ia bahkan terlalu bingung untuk bertanya, "Terus apa gunanya kau menghitung duit yang kucuri? Apa gunanya aku mencuri?" Maka, disimpannya saja pertanyaan itu di kepala. Ma Ciwis tersenyum, tahu betul isi dari awan yang mengambang di atas kepala si tuyul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun