Mohon tunggu...
Dali Budaya
Dali Budaya Mohon Tunggu... Seranting ringkih tak benalu

Bocah ngawur dengan tulisan babak belur.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sujang

10 April 2025   10:33 Diperbarui: 10 April 2025   10:33 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: ilustrasi pribadi (inspirasi @prabowo.sa)

"Lambat laun Sujang akan mengerti."

***

Pa Punet, si dukun penjual jin telah mengingatkan perempuan itu sembilan puluh delapan kali.

"Ee mama, ada sebab kenapa ini tuyul kujual murah. Aku cuma boleh jual buat sesama dukun saja. Itu pun sudah habis nyawa mereka dia buat. Ngerilah. Dia punya perangai macam anjing iblis. Tak ngerikah engkau, Ma? Janganlah, Ma," keluhnya setelah sembilan puluh sembilan kali menasihati si pembeli. Kocak. Seharusnya Pa Punet tahu bahwa tiada barang di muka bumi ini yang lebih keras daripada kepala perempuan ini.

"Dua puluh juta," tawar si perempuan tanpa pikir. Pa Punet menepuk jidat. Ia tak akan sanggup bila harus menasihatinya untuk ke seratus kali. Maka, ia hanya bisa bertanya untuk terakhir kali.

"Sebetulnya ada apa, Ma? Kenapa harus sekali tuyul ini? Aku punya seribu, semua bisa kasih jamin Mama kaya. Tapi anjing iblis ini? Cuma bisa kasih Mama perkara hidup!"

Perempuan itu tersenyum, "Itu dia. Aku memang mau mencari beban hidup."

Pa Punet menghela napas. Tangannya meraba botol-botol di rak, meraih sebuah botol hitam di antara botol-botol jin yang bening. 

"Noh," ia menyerahkan tuyul itu pada si pembeli. Ia menyerah. Tak peduli seberapa keras Pa Punet memperingatkannya, nyatanya perempuan itu lebih keras.

Perempuan itu mengeluarkan sekantong kresek hitam besar. Benar-benar dua puluh juta.  Ketika menerima plastik itu, Pa Punet menyadari gelang emas yang bergelung di tangan si perempuan, sebuah perhiasan yang tentunya tak seorang pun di Talambani mampu membeli. Pa Punet baru menanyakan hal yang seharusnya ia tanyakan sejak awal. "Kau ini siapa?"

Tak perlu dijawab, Pa Punet segera tersadar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun