Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebar Kembang

19 Desember 2018   14:56 Diperbarui: 19 Desember 2018   15:19 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit terlihat keemasan, senja telah menyapu awan. Bergantilah rembulan menampakkan pesonanya dari balik gunung. Sapuan angin sore itu terdengar sayup-sayup. Solihin berada di belakang rumah untuk memberikan makan ayamnya sebelum hari benar-benar gelap. Seusainya itu, ia masuk ke rumah dan tidak mendapati aroma Paitun. Setelah perdebatan kecil itu, Paitun keluar pekarangan, entah pergi kemana. Mungkin pergi ke toko, atau mungkin jalan-jalan keliling desa. Sebab , seperti yang dapat Solihin simpulkan bahwa Paitun sedang dilanda sebuah kekecewaan yang besar. Bibirnya maju lima sentimeter diikuti langkah kasar dan cepat. Seketika itu, Solihin hanya dapat mengelus dada pelan.

Hari-hari setelah perdebatan itu, Solihin kurang diperhatikan istrinya. Biasanya sarapan pagi tersedia di meja makan, kini kosong tak ada makanan yang tersedia. Ketika hari menjelang siang, istrinya juga tidak mengantarkan makanan ataupun minuman. Sekedar the atau kopi. Sampainya di rumah juga tidak ada makanan. Solihin berdiam diri, ia lebih baik diam dulu daripada terjadi kekeributan lagi dengan Paitun. 

Paitun yang tengah menyapu di halaman rumah pun hanya diam saja. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya hari itu. Keadaan seperti itu membuat Solihin berpikir berat kembali serambi mengepulkan asap rokok yang menurutnya dapat membantu merefreskan otaknya, tapi entahlah.

Konon, memang ada suatu keyakinan semacam itu, nenek moyang yang mengajarkan semuanya hingga menjadi suatu tradisi turun-temurun. Menurutnya, jika mereka melakukan akan ada suatu kebaikan atau keberuntungan di luar kepala. Dulu, semua masyarakat percaya dan menyakini adanya hal itu, sehingga mereka tidak lagi memperdulikan bahwa mereka hidup dalam lingkungan Islam. Ironis, sampai sekarang masih ada masyarakat yang percaya tradisi itu.

Dan biasanya sesaji ini dilakukan pada masa taman atau masa panen, tapi siapa sangka, mereka yang melakukan tradisi itu, memang mendapat suatu kebaikan hingga pernah suatu ketika mereka yang tidak melakukan karena alasan lupa atau mungkin Karena alasan lain mereka mendapat suatu keburukan. Mitos atau fakta, tidak dapat dimaknai sejarah. Namun, bagi masyarakat yang memiliki keyakinan kuat, baginya ini adalah fakta dan memang benar-benar terjadi dan telah dibuktikan secara terang-terangan.

Sengaja, Solihin tidak lagi melakukan tradisi tersebut. Pertemuannya dengan malaikat tanpa sayap beberapa pekan yang lalu telah membuka, dan meluruskan sesuatu yang batil. Setelah ia berfikir dengan tenang, ia menyadari bahwa ia melangkah dijalan yang salah. Dan seperti itu adalah musyrik. Kemudian ia dapat menyimpulkan kalau tradisi itu hanya merusak pandangan. Membuang-buang waktu bekerja. 

Namun di sisi lain, kita tidak boleh acuh tak acuh terhadap alam. Sayang, Solihin tidak dapat merubah mindset Paitun. Justru Paitun semakin dingin tidak mau menerima atau setuju dengan pemikiran suaminya. Pasalnya, lihat saja tahun ini mereka gagal panen. Dan Solihin pun menyadari, namun ia tetap pada konsistennya tidak lagi percaya akan semua itu. Lebih baik bahan makanan itu diberikan kepada fakir miskin atau orang-orang yang lebih pantas.

***

Hama wereng dan serangga memakan habis seperempat padinya. Dengan sabar ia tekuni merawat dan mengurus padinya. Meski terkadang sempat ia harus menghela nafas panjang karena ketidaksanggupannya memusnahkan hama tersebut. Suatu hari, di hari kelima Paitun mendiamkan suaminya, tepat ketika senja keemasan berubah menjadi kegelapan. Ia menghampiri suaminya yang tengah duduk di belakang rumah sembari menyeruput kopi hitam buatannya,

"Pak!" panggil Paitun.

"Iya Buk, ada apa? balas Solihin sambil mengasah celurit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun