Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebar Kembang

19 Desember 2018   14:56 Diperbarui: 19 Desember 2018   15:19 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lalu dipunguti satu persatu dengan wajah sumringah. Beda lagi dengan Solihin. Ia lebih banyak memakan habis hari-harinya berjemur diantara rerumputan yang meleak-leok terkena terpaan angin. Seperti halnya satu bulan ini, ia seperti pindah rumah. Pasalnya padi yang ia tanam di ladang sudah mulai menguning dan berisi. Itu suatu pertanda akan jatuh tempo panen. 

Sehari-hari Solihin bertempur habis-habisan dengan hama dan serangga yang menyerang tanaman padinya. Rasa kesal dan jengkel dan lelah berkecamuk menyelimuti dirinya.

***

Sorot mata sayu menampakkan diri dihadapan sang surya yang bersemedi dengan tenang. Hijauan tanaman pekarangan tersenyum renyah sembari menengadah menyambut tembakan sang surya yang akan memasak dedaunan dengan energi kalor yang akan menghasilkan makanan.

Solihin keluar dari persinggahannya selepas memberi makan ayam-ayamnya. Dipikul sebuah cangkul dengan tangan satu menenteng sebotol air mineral. Langkahnya lusuh terombang-ambing gelombang kehidupan menyusuri permadani hijau-kuning keemasan dari deretan pematang sawah sepanjang langkah tatihnya merambat. Hari itu, ia berangkat ke ladang berada seperempat matahari terbit. Ia berangkat seorang diri karena istrinya masih sibuk bersimpuh di dapur masak sayur.

"Pak Solihin!" teriak seseorang.

Solihin yang sedari tadi melangkah dengan penuh kegelisahan dan sederet lamunan. Tiba-tiba ia dikagetkan dengan teriakan yang memanggilnya bagaikan petir. Seketika itu pula wajah Solihin yang keriput menjadi memerah saking terkejutnya. Dicarinya asal suara itu bersembunyi. Ternyata suara itu berasal dari suara Pak Burhan, yang biasanya dipanggil Pak Dul dalam kesehariannya. Beliau tengah berdiri dibawah pohon pepaya sembari mengusap keringatnya yang bercucuran sejagung-jagung dikening, dan dibawah kelopak matanya. Ditatapnya lekat suara yang memanggilnya. Dan hatinya pun berkata,"Oh, Pak Dul rupanya".

Selepas itu, Solihin menghampiri Pak Dul dengan langkah seperti tadi: tak berdaya, lesu, dan nampak membawa beban berat yang menggantung pada kakinya. Tak lama dari itu, mereka berada di bawah gubuk reyot, beratapkan damen dengan empat tiang yang habis di makan rayap, serta dilengkapi tempat duduk yang terbuat dari bambu yang tertata rapi dan sejajar. Terpaan angin siang itu terasa garing. Pasalnya, hari sudah mulai panas dan matahari murahnya memancarkan cahayanya hingga menusuk tubuh lesu Solihin. Suasana hening lagi sunyi, tiba-tiba dipecahkan oleh suara pekikan Pak Dul yang sudah menjadi ciri khasnya.

"Hari ini nampaknya cerah ya, Pak."

"Seperti yang kita rasakan Pak."

Jawab Solihin datar-datar saja. Padahal dengan semangat Pak Dul membuka obrolan siang bolong itu. Tapi, apa yang terjadi pada gerangan laki-laki ini, tidak dapat membaca sejatinya, Pak Dul duduk terdiam, dan sekali-kali mencuri pandangan mata yang tak jelas titik pusatnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun