Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebar Kembang

19 Desember 2018   14:56 Diperbarui: 19 Desember 2018   15:19 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Pak Solihin, saya pergi dulu mau menengok padi yang disebelah sana."

Seru Pak Dul memecahkan halusinasi Solihin. Serentak Solihin kaget dan menganggukkan kepalanya. Tak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Pak Dul telah berlalu, dan Solihin kembali termenung dengan lamunannya. Pikirannya kacau bercabang-cabang, seperti akar pohon beringin. Hanya saja akar pohon ini terlihat jelas, namun pikiran Solihin... tidak ada yang bisa menebak maupun untuk mencari maknanya.  Dan, semuanya itu adalah tidak jelas dan semu.

***

Dari seberang pematangan sawah terlihat istri Solihin, Paitun berlari tergopoh-gopoh dengan kedua tangannya mengangkat roknya selutut hingga terlihat goresan hitam bekas luka di lututnya. Akibat terpersok di dalam hutan dua tahun yang lalu. Nafasnya terengah-engah dengan menghampiri Solihin yang sedang mengobak-abik tanaman padinya untuk memunguti dan membasmi serangga yang merusak padinya. Sekaligus yang membuatnya galau berhari-hari dan sampai tidak bisa membuatnya tidur. Dari kejauhan paitun memanggil suaminya. Namun Solihin hanya diam. Ia sama sekali tidak berkutik ketika mendengarkan teriakan istrinya. Pikirannya pun mulai acuh tak acuh.

"Dasar, masa ia memanggil suaminya dengan sebutan yang seperti itu? Tidak sopan," gerutu batin Solihin.

Solihin sosok petani yang rajin dan telaten. Hidup, rumah, dan sahabatnya adalah segala kehidupan di lading yang baik hati, dan terkadang pula senantiasa menari-nari terbawa arus angin. Serta kadang juga menggelitik pandangan Solihin. 

Tapi sayang, Solihin yang dibilang petani sukses ini dari awal pernikahanya belum dikaruniai seorang anak yang nantinya akan menjadi ahli waris, sekaligus merawat dan mengurus di masa tuanya nanti. Keterbatasan Paitun yang tidak dapat memberikanya keturunan, bukan lagi menjadi satu persoalaan yang rumit. Solihin tetap mencintai dan menyayangi istrinya sebagaimana mestinya. 

Baginya, karunia terbesar adalah kesehatan, dan hadiah atau kado termahal adalah diberikan umur yang panjang.

"Pak sudah siang, tak sudikah engkau istirahat dan makan siang dulu?" seru Paitun di bawah gubug tua.

Matahari berada diatas peraduan kepala, sejengkal mungkin. Teriknya membakar kulit Solihin menjadi kegosongan. Berdiri diantara semaian padi menatap hamparan luas nan asri. Sepi sekali, sudah tidak ada lagi penghuni ladang yang menghempuskan nafas berat melawan terik matahari. Di alam yang luas dan tak terkira itu. Hanya saja terdapat dua pasang mata yaitu Paitun dan Solihin, yang sedang duduk beristirahat di bawah gubuk yang reyot. Paitun menemani suaminya yang sedang makan siang dengan masakan ala kadarnya. Nasi putih, sayur terong, ikan asin, ditambah kerupuk bandung yang berbaris rapi di hadapnnya. Dengan lahap dan syukur Solihin menyantap makanannya.

Belum usai Solihin makan, Paitun pamit pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar, karena persediaan kayu bakar di rumah sudah menipis. Begitupula dengan Solihin, seusainya ia makan kembalilah ia bertempur dengan padinya. Solihin seorang diri melepas bayangan Paitun bersama pohon-pohon besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun