Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

T.T.K (Edisi: Dalam Perjalanan)

12 Juni 2023   18:00 Diperbarui: 12 Juni 2023   18:05 605
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

T.T.K (EDISI : DALAM PERJALANAN)

Mbah Har - Wahyu

T.T.K (MELATI PUTIH - SUCI)

"Aku tahu sesungguhnya bilamana doaku dijawab, yaitu bilamana aku telah menerima segala ketetapanNya (Allah) dengan Ridho"

Aku ibaratkan mataku adalah langit biru. Namanya langit, nampak tinggi diantara awan putih dan mendung jingga. Namanya langit sejauh mata memandang, sejauh apa yang kita pikirkan dan kita rasakan dalam perasaan. Kecuali dalam mata terpejam, saat kita melepas keduniawian, maka akan banyak yang tak tampak di langit sana dapat kita sadari dan maknai artinya.

Dan hatiku laksana taman bunga. Namanya taman bunga, sejauh mata memandang adalah tumbuh bunga-bunga berwarna-warna. Namanya taman bunga, sejauh mata memandang  lepas mewangi di lubuk hati. Kecuali dalam mata terpejam, saat kita melepas keduniawian, maka akan banyak yang tak tampak di taman bunga sana dapat kita sadari dan maknai artinya.

Ketahuilah pula, kenapa aku tidak pernah menahan air hujan turun? Dulu aku suka berjalan-jalan diantara hujan. Tidak sebatas berjalan-jalan, kehidupanku kuhentikan dengan cara  berlari-lari kencang mengejar hujan dan mencari hujan. Memaksakan tanpa batas waktu agar hujan terus turun dengan lebatnya. Jangan pikirkan tentang pelangi atau sekedar menunggu embun menetes di pagi hari setelahnya, atau sekedar tanah menjadi basah, tetapi biar mereka semua tidak tahu ketika itu air mataku juga sedang jatuh menangis. Sekedar menunjukkan kesanggupannya.

Aku pernah berguman, aku ibarat karang tanpa lautan akan lumpuh diterjang panas terus menurus. Dan apa jadinya tanah tanpa tetes air hujan, tentu akan tandus dan gersang.

Dalam kumparan waktu, aku sekarang tersenyum. Sesungguhnya air hujan yang turun menumbuhan taman-taman bunga. Air mata yang luruh menyuburkan perasaanku kepadamu, untuk selalu ingat. Di manapun aku berada, aku membutuhkanmu "Hujan".

Hujan adalah peristiwa dan taman bunga adalah tempat. Dua kejadian waktu mengingatkan kenangan dan mengikat kenangan. Aku lanjutkan ceritaku, denting lonceng ini adalah pertanda waktuku untuk membunuh air mata yang aku sembunyikan. Denting lonceng di malam ini, mengelupas langit jiwaku yang mendung. Surya pulang, burung malam terbang terbang telanjang, gema derita berakhir dengan air mata bahagia yang turun. Basah selalu tanahku, subur selalu taman bungaku tanpa bayangan. Sirna sudah semak belukar.

Aku berjalan di antara taman bungaku. Kau berlari peluk erat tubuhku, sentuh jemari hari ini. Aku minta rebahan sayapmu, bawalah aku terbang bersamamu ke dalam damai. Akan kuhadirkan hujan doa bahagia untuk mewarnai tanah kita tetap basah selalu.

Saat sayapmu hadir bersamaku, terbang bersamamu, berhembuslah angin mengitari bumi hingga terjauh. Kan kubawa serta lagu bersama berpetuangan tanpa lelah. Seandainya aku ini sebuah biola, tentu kau dawai yang melengkapinya. Kita mainkan di taman bunga yang kita semai diantara bunga-bunga beraneka merindu sekuntum melati putih suci seorang, tentu  agar langit mendengar seruan kita sehingga hujan lebih sering turun membasahi.

Selamat malam menjelang tidurmu, terima kasih telah menjadi pengajar air mata di langit (hujan). Terima kasih telah mewangi sepanjang harimu tanpa peduli hanya memberi, tak peduli untuk maknai hadirmu.  Hadirmu menyapa dunia kan terselip melati putih dikala kau buka mata. Bersemilah sepanjang hari agar kau terus mewarnai hidupku, agar dapat kusadari artimu bagiku...melati pujaan hati.

 Ikuti saja, biarkan sayapku memelukmu. Tersenyumlah dan katakan "hai" selalu untuk selamanya.

T.T.K (Jogjakarta-Angin Tak Pernah Berhenti Bergerak)

"Aku tahu sesungguhnya bilamana doaku dijawab, yaitu bilamana aku telah menerima segala ketetapanNya (Allah) dengan Ridho"

"Katakanlah, apapun yang menjadikanmu tergetar, itulah bisa jadi yang terbaik". Terlalu banyak benih kutabur di jalanan, musnah terbang. Sebelumnya di tikungan jalanan, mataku terbentang dalam setiap balik jeruji. Keberanianku tersikut dalam tiap nyanyian rimbun daun. Sekali waktu (itu) dulu melihat jendela dari balik cermin. Merobek jantung sangat dalam. Kota ini membawaku harus pulang, seperti halnya angin meniup bersiul tajam.

"Bila tak kunyatakan dalam kehendak kata, maka akan kusimpan selamanya dalam doa di  dada".

Teringat aku pancaran mata bening cemerlang. Deras mengalir tanpa terbendung, mengalir sampai ujung jemari membawa aku terbang. Mengejar impian senyap di telan impian rimba maya. sementara aku rebah, terlalu kecil mengejar kesempurnaan. Dalam bayang-bayang terwujud impian dikala menjaring mentari terbangun, semburat tergambar jam pasir hilang disapu ombak pasang letih terpacu....ooohhh bunga cinta.

Aku ada bersamamu, selamat malam isi bumi. Aku tahu engkau mencium melati yang aku hembuskan, walau kau tak membalasnya tadi malam. kata hati jujur berkata.

Dan kini, izinkan aku bercerita perjalananku tadi malam. aku pejamkan mataku, samar mendengar suaramu. Semua langkah yang aku buat meninggalkan jejak di bumi, maka dari itu aku tidak perlu risau bila hari ini nanti seandainya engkau belum menjawab. Artinya masih tersimpan di surga, menunggu aku sendiri siap menerimanya karena saat ini aku dinilai oleh semesta belum siap menerimanya.

Nafas yang aku hembuskan meninggalkan kristal-kristas berserakan di kertas putih. Suara angin, dekatkan wajahmu di bawah sinar lampu tak perlu katakan rindu lewat nyayian karena dia sendiri telah bergerak tanpa harus terlihat mata dukaku. Hening menembus waktu, sukmaku melambung berharap gelora nyanyianku sendiri yang aku dengar dan itulah aku yang selalu berharap keceriannya. Berharap menunggu yang mungkin hanya bisa dengan rerumputan bergoyang dalam lemah langkah.

Betapa banyak aku meminta tentang cinta, betapa makin aku terjebak dalam dorongan jiwa. Seketika itu dia bilang tentang janji yang terbawa, belum waktunya aku miliki di hari kemarin dan di hari ini. Mungkin, sekali lagi mungkin esok di hari ketika atau bisa jadi di kehidupan ke tiga baru sampailah giliranku. Dan aku akan tetap menunggu dalam kisah lama ini.

kereta biru terhenti di stasiun Tugu jogja. Terbaca oleh suara angin menyiasati kesunyian. Katakanlah keseberang aku melangkahkah kaki. Terbang menembus waktu merisaukan luka dan kepedihan. Sekiranya dentingan kecapi sumbang menyeruak seperti kerikil tajam menyiram jiwa. Bersama hiruk pikuk hujan diantara cucuran peluh sepasang sepatu debu tergolek setia menunggu "itu janji".

Kacamata hitam tertuju pada kerudung putih. Putih bersandar aku saksikan getir pilu laku kereta biru berlalu berikutnya. Riuh rombongan langkah baru tawa menggapai tongkat kehidupan, seolah regangan jemari tangan meraup seisi malam.  Menatap siang kemarin bermaksud membela diri, katakanlah mereka tidak tahu isi tudung jerami yang aku gelar dalam senyum kaca ini. Aku makin muda.

Lalu, aku ke selatan berjalan sambil tersenyum mencari cakrawala melanjutkan asa jejak pengembaraan. Ini bukan jawaban untuk kereta terakhir, kata-kata mengalir masih ada berikutnya. Seperti halnya angin, mengantarkanku melangkah memberi nafas baru menuju jantung kota Jogja. Dingin menjanjikan, tetapi mengisyaratkan suasana batin lebih panas terasa dari sekitar sepuluh tahun lalu aku mengambil bayang-bayang.

"Jogja terlahir dari kata Rindu, aku kembali pulang karena rindu"

Benar aku menyeberangi danau, diantara keindahan terpencil. Ternyata sekian lama aku simpan dan saksikan, hanya seruling bersorak tiada lebih indah dari hembusan angin di kota ini ketika memegang "Tugu Jogja".

Pernah pula aku mendaki dari keindahan bukit hijau di tengahnya lingkaran air terjun, mengalir pula embun tiap pagi menempel di rerumputan, ternyata nyaliku hanya rebah terkapar. Menyerah sebatas terjerembab ke dalam ketidakpastian. Ladang kehidupanku datang ke Arah Marlboro oleh derap kaki kuda menyusuri tiap sudutnya menuju Taman Sari. Semua yang aku saksikan nyanyian mimpi tenggelam diantara musisi jalanan terasa rindu ikatkan jaring mendung dan langit tersenyum hari ini di Jogja milik kita.

Suara gamelan keraton tertabuh kertas suci. Senandang lagu lebur kembali mekar. Bangkitkan cerita kita agar semua kembali luruskan langkah diantara ketegaran beringin alun alun selatan. Tegap terasa tanganmu untuk tidak lepaskan rembulan purnama bersama. Di sini, aku sadar selama ini aku salah merancang sudutku. Sujudku hanya menatap gubuk-gubuk meja seolah benar mentanahkan diri. Menangkal pikiran dengan membenarkan mencuri ruang hampa di akal.

Wajah bersembunyi, bintang rembulan menikam suara ranting meronta-ronta merobek jaring mentari. Aku salah dalam menjaring mentari. Dari sudut mata ini kosong menerawang, melukiskanmu dalam darah terpenggal-penggal yang harusnya aku satukan. Seperti halnya angin, berkumpul dan tak pernah berhenti bergerak.

Laksana cahaya dalam cahaya, siramilah dalam cinta menampilkan titik titik yang hilang. Aku mohon, uraikanlah air mata. Wajahmu yang agung dan kasih, kini aku yakin menerawang tak mampu aku gambar, apalagi berlebih merebahkan kepala.

Ajari aku merunduk sejenak, kucari kamu di sini, kucari kamu pula di gunung, di laut kutemui kamu dalam genggamanku. Selama angin masih bergerak, selama itu harapan masih ada. Dan kehidupan masih hidup.

"Terima kasih Jogja, angin tak kan pernah berhenti bergerak"

Ikuti saja, biarkan sayapku memelukmu. Tersenyumlah dan katakan "hai" selalu untuk selamanya.

T.T.K (PANTAI TELUK AWUR JEPARA)

"Aku tahu sesungguhnya bilamana doaku dijawab, yaitu bilamana aku telah menerima segala ketetapanNya (Allah) dengan Ridho"

Berbagi cerita bertemu menjalani hidup. Bahagia senandung memiliki. Hidup jiwamu menjaga di setiap langkah-langkahku. Membumi menjemput langit.

Engkau bawa diriku ke dalam hidupmu. Engkau basuh diriku dengan rasa sayang. Engkau sentuh hatiku dengan cintamu. Engkau bawa cintaku dengan sejuta warna. Engkau warnai hariku dengan rasa senyum. Senyummu adalah hidupku. Engkau adalah nafas kehidupan.

Teluk Awur, Bumi Kartini Jepara

Petikan harpa tercipta nada harmonis. Mengalun merdu menyatukan deburan ombak lautan menuju pantai. Percikan sinar kemilau menggelembung biru membiru membius kesadaran mengakhiri penantian. Doa dalam Kalam Illahi mampu merubah takdir adalah benar adanya. Dan kita menyaksikannya

Sunset sore di terpa hujan tanpa mendung menambah indah suasana. Kacamata batinku ikut berbisik, angin berisik bersuara haru menetes air mata langit. Tanpa ragu kutatap semburat wajah kemerahan dengan air mata mengalir. Bening kelompak matamu kusibah dengan kesucian jiwa dan raga kauserahkan.

Kemarin  aku tidak berani menatap matamu, dan memilih menunduk. Aku takut melihat air mataku mengalir karena tatapanku nyaris tanpa cahaya. Kemarin, aku memaksa berjalan membelakangi arah, karena aku takut jika mendekat sesugguhnya engkau akan menjauh. Karena tatapanku sebatas tembok kamar, karena pendengarku sebatas jarak terjangkau, karena wangi bunga sebatas sejengkal kelopak jari tanganku. Tapi, tidak dengan hari ini.

Pohon Bakau hijau menahan kerasnya malam gelombang menghantam. Seperti hanya memberi tempat bersembunyi biota laut, ketika berbisik selaras memberikan tangan akar-akarnya menunduk ke bumi dan membumilah dengan dalam, semakin dalam, makan semakin cepat langit mendengar.

Tangga, beribu tangga aku tepis memalui makna. Berlari lambat tapi jelas walaupun pelan menyongsong ombak menangkap gemuruhnya di setiap bulan. Kerikil berbatu tinggal cerita. Lembut pasir menyisakan pena manis tinta pelangi aku gambarkan garis wajahmu memerah menerima uluran tanganku.

Diantara bulan purnama bulat utuh, kita berlari kecil menyusuri sepanjang pantai berpuisi. Seolah ringan terbang kecil di atas air kupegang pinggangmu. Sesekali kau lirik ke belakang dengan tatapan manja penuh kasih. Dan aku kan menjagamu dari sini, sekali untuk selamanya.

Selintas burung camar melintas rendah riuh membuka jendela. Lampu-lampu kamar hotel tampak menyala redup. Hatiku terdalam membiarkanmu berlari kecil mendahuluiku. Kukejar dan kutanggap serta kudekap dengan rasa sayang. Melukis cakrawala bersama bentang malam membujur hangat pantai tidak berujung tepi. Selamanya

Malam semakin jelang. Ketika kita selesai menyusuri pantai, berkelap-kelip kita menyaksikan dari atas balkon. Berjuta cahaya mata jeli mencuri pandangan. Bersandar di bahuku hangat cinta, kita saling bercerita tentang kenangan di hari kemarin, berbincang di detik ini dan berdoa untuk masa depan yang lebih dekat.

Tumbuhan batu buat menahan laju gelombang kita tatap jelas dari atas sini. Cinta kita akan akan bertahan segitu hebatnya, tidak siang, bukan pula malam, tiada jeritan kesakitan ataupun penyesalan. Sebaliknya, justru memancarkan aura keindahan bagi yang memandangnya, bagi yang menikmati duduk di sebelahnya, atau sekedar bercengkerama di atas batunya. Bisa jadi buat tempat perlindungan biota laut kecil dari hujan terkadang pasang.

Secangkir kopi tipis kita minum bersama. Satu cangkir, di bekas bibir yang sama. Pahit tidak terlalu manis. Satu tegukan lagi menggulirkan suasana. Terjawab sudah doa-doa.

Lihatlah, aku di sini tidak lagi melawan takdirku. Karena ini takdir harapanku. Takdir waktuku. Memandangmu, menatap bulat bola matamu nansayu, membuat diriku yang tidak sempurna menjadi bagamana aku semakin mencintaimu. Membuatku semakin tidak kenal siapa aku, kecuali bagaimana aku mencintaimu dengan benar.

Semakin malam, semakin hangat.

Kubiarkan rambut bergelombangmu hitam menutupi mataku. Berputar seiring dunia menjernihkan keindahannya. Membuktikan cinta mewarnai dunia, tanpa cinta dunia mungkin sudah berhenti bercerita. Kesan sesaat menutupi mataku, tersapu wangi angin malam makin larut membius. Permulaaan cinta kubiarkan cinta tetap menjadi dirinya sendiri.

Sepanjang permadani hijau aku bentangkan. Lurus berkemungkinan mengukir dari sisi utara. Berlari di sebelahnya menggenggam jari-jari erat tangan. Dan tunggulah di sana kita mengelilingi purnama menari, rona merah di pipimu. Cinta akan membawaku laksana ikan di laut.

Aku biarkan kamu berlari menikmati serunya. Kita pecahkan celengan waktu dalam segala bahasa alam andai menguasainya. Kita hayati dalam dalam keabadian, kita tilik melalui hati dan perasaan. Benar adanya cinta telah meniupkan kehidupan melalui kepingan rindu. Tak ada lagi pantulan cermin di air malam karena purnama, aku jamin tanpa perkara. Sepanjang pasir putih Pantai Teluk Awur semoga cinta membuatku lebih bijaksana dan bertakwa.

Ketika itu kita telanjang kaki. Merasakan sentukan gelombang pantai. Isu hati tertambat di dermaga sebelah. Di seberangnya kita bawa terang bunga yang terpetik. Layar berganti berayun diantara akar-akar bakau menahan pasang gelombang. Satu jiwa selamanya.

Tiada mimpi lagi yang terbeli. Bersama kita saksikan syair-syair tenggelam menyisir perahu nelayan mulai merapat. Pantun-pantun burung pipit berdzikir menggambarkan kebesaranNya.  Takkan lelah kudekap pinggangmu terasa hangat. Menahan waktu adalah penting untuk selamanya. Tersenyumlah dan kedipkan matamu akan tumbuh kesucian hati dan perangai yang terpuji.

Ikuti saja, biarkan sayapku memelukmu. Tersenyumlah dan katakan "hai" selalu untuk selamanya.

T.T.K (Pelabuhan Ratu -- Perjalanan Senja)

"Aku tahu sesungguhnya bilamana doaku dijawab, yaitu bilamana aku telah menerima segala ketetapanNya (Allah) dengan Ridho"

"Rindu bersabarlah, ketahuilah tempatmu ialah di ruang rindu"

Dan perjalananku hari ini adalah mencari ruang rindu. Tepat di tanggal 17 Romadhon, semoga membuka mata hati ini, semoga alam semesta bergembira setelah apa yang aku alami.

Sengaja aku memutar arah. Seperti hanya aku melawan angin, sebut saja demikian aku mencari damai. Biarpun sekarang malam hari (Jam 0 lebih sekian), aku lebih suka menyebutnya perjalanan senja. Terlalu dini belum, terlambat aku tidak mau mengatakannya demikian. Kembali sekedar bertanya saja waktu tak pernah memperlihatkan wujudnya, tapi tanpa ragu meninggalkan dalam kerugian. Sepertinya halnya pula angin menggerakkan pepohonan tanpa terkuasai tangan-tangan dan akupun tak layak membencinya. Bulan purnama ikhlas menyinari bumi hijau sepanjang masa.

"Jika aku terus di sini, maka sama artinya aku menjauh dari hujan"

Sungai aku bawa sampai ujung mata. Tanah merah puncak aku lalui. Hamparan panorama Gede Pangrango gagah berdiri menantang. Tak luput pesona Gunung Salak menasbihkan hawa dingin turun menusuk ke jiwa-jiwa yang panas. Dan kebun teh adalah dinamika sisi hijau tertutup selaput.

Saat ini aku tidak mencari arah, tetapi mencari makna. Nyala sepotong lilin terpancar mata (redup). Gandeng tanganmu, lepas penat.

Bisa saja lepas Tol Jagorawi tepatnya di exit Tol Ciawi aku ambil arah luruh menuju Sukabumi, atau lebih tepatnya Cibadak tanpa melewati kota Sukabumi untuk selanjutnya berbelok kanan menuju Pelabuhan Ratu. Tapi seperti aku bilang, aku memilih ambil kiri naik ke Puncak dan turun di Cianjur. Selanjutnya Kota Sukabumi dan lanjut Pelabuhan Ratu.

"Sebelum cahaya, aku ingin melihat angin membelaiku, cukup bagimu hadirku"

Selepas Sukabumi aku lebih prepare dengan jalur utama. Ada alternatif lewat Cikidang, tapi tidak aku tempuh. Teduhku di sini, menemani, bercerita duduk bersama tanpa mempertanyakan banyak hal. Cukup sudah melihat ilusi tembus cahaya. Aku dan langkahku menggenggam erat tangan putih untuk menuntaskan pencarianku dengan disaksikan pengantin tanah timur dan pengantin tanah barat.

Api tanpa asap, cukup sudah! Cukup kebohongan membeli mimpi. Dari sudut mata tersorot aku coba ingat semua. Sesak di sini tersulut sudut dunia. Mimpi terbangun hanya untuk sementara, hati menawarkan suasana tanpa batas rindu.

Tiba juga aku di Pelabuhan Ratu. Perjalanan panjang begitu melelahkan. Dan aku yakinkan diri, aku tak akan pernah berhenti. Semua tempat telah aku jelajahi, semua orang telah aku tanyakan demi mencari keberadaanmu berada. Dan tinggal tempat ini yang belum aku jelajahi, untuk menjelaskan tentang harapan, tentang keinginan dan tentang beda dengan dorongan nafsu. Atau hempasan kabut malam terhempas apa itu kepastian cinta atau sesuatu yang membuatmu cemburu. Dan aku yakin di tempatnya.

Pantai Citepus, di Jl.Raya  Pelabuhan Ratu-Cisolok Sukabumi. The Legend "Samudera Beach Hotel", sejenak aku berhenti sekedar menghilangkan gambaran lalu.

Ombak berkejaran menghempas, bercumbu berbisik dengan pasir. Langit berpelangi jingga hingga ungu sesaat angin menerbangkan air berpadu dengan awan. Di sini bisikan kecil tapi lugas seolah mendengar namamu memanggil, seketika sukmaku melambung. Benar adanya mengusir sepi menggubah dunia....senyummu.

Teringat kata seorang teman "Nikmati hidupmu dengan menghadirkan diri sendiri". Senyum sepertinya bisa pasrahkan keinginan hidup alami. Sekali lagi pohon kelapa di hadapanku bergerak karena angin cukup menunjukkan eksistensinya dengan gerak suara tanpa wujud (seperti hadirmu saat ini).

Kepada hati ini, senyummu lebih terasa teduh. Kerasnya batu karang mampu aku sentuh, betapa diriku tak berdaya melawan kelembutan. Aku adalah burung kecil dimana ragaku adalah sangkar, dan sekarang aku telah terbang meninggalkan sangkarku. Kepada hati bawalah aku dimanapun kau akan berada nanti.

Antara rindu, di jejeran utara aku melihat barisan bukit seperti bayangan. Garis pantai pantai panjang tidak memilih kepada siapa menilai. Tak menyapa, tapi menjaga hati bersih tanpa tersakiti. Hujan turunlah, karena mendengar namamu adalah kepastian.

Menerawangkan pikiran sudah tidak pada tempatnya lagi. Langkah setapak pasir pantai kian dekat dengan waktu. Seruling sunda "Si Kabayan" soneta ke arifan lokal pendengar diantara gelombang tinggi menggerus kecongkakan.

Kubayangkan dan kurasakan angin bertiup di sisiku. Matahari dan bukan beredar menurut perhitungan. Tetumbuhan dan pepohonan menundukkan ranting dan daunnya. Cerita siang pula malam dipermulaan waktu.

Aku berlari menyongsong ombak. Kulepas alas kaki di jalanan beraspal. Aku tanggalkan topiku, kubuang jauh-jauh kacamata hitam selama ini sebagai celah sembunyi melirik mata dari kenaifan.

Di sini, di atas karang aku berteriak lantang. Apa yang aku cari telah aku temukan. Tempat terakhir, tempat yang hampir terlewatkan karena panas dan gemerlapnya Jakarta. Tangan putih itu terbentang diantara langit yang telah ditinggikan dan bumi yang telah dibentangkan.

Mendongak ke langit, mengangkat tangan pagi yang indah sekali. Berteriak melepas isi kepala, membawa hati bernyanyi. Lelah, aku rebahkan di tanahmu biarkan ombak mengubur bersama pasir pantai nanlembut.

"Aku akan mengambil waktuku, niscaya aku akan menerima waktumu"

Aku tidak akan pernah takut menyelam ke laut luas, tetapi aku akan berkata takut jika harus menyelam ke laut ganas. Terima kasih telah memberi jawaban untuk melepaskan. Bawalah yang kalian butuhkan, bersiaplah untuk ke sana. Ketahuilah jangan anggap kematian adalah abadi. Katakanlah kematian adalah kehidupan lain yang sangat didambakan. Dan kematian sendiri hanyalah perpindahakan dari satu rumah ke rumah yang lain. Semoga itu yang aku rasakan.

"Kata-kata terakhirku adalah Assalamu Alaikum Wr. Wb."

Ikuti saja, biarkan sayapku memelukmu. Tersenyumlah dan katakan "hai" selalu untuk selamanya.

T.T.K (Taman Bunga Selecta Batu)

"Aku tahu sesungguhnya bilamana doaku dijawab, yaitu bilamana aku telah menerima segala ketetapanNya (Allah) dengan Ridho"

Aku duduk jongkok di depan pintu. Kukencangkan sepasang tali sepatu. Sisi sebelah kanan, selanjutnya kiri. Sepasang sudah. Sejurus kemudian beranjak berdiri dan melangkah. Semakin cepat, semakin lebih baik. Bayang-bayang berhembus izin menyapa. Mencoba menyapa semilir kehadiranku. Dan ketika kutanya, dijawab dengan jawaban aku harus tetapkan tujuan.

Berbicara tentang masa lalu, bukan aku merasa ingin kembali. Aku memanggil kenangan hanya sekedar untuk mengingat dan mengenangnya. Berjalan di atas rerumputan dengan tali sepatu terikat adalah pilihan terbaik memikul waktu yang sedari dulu tidak nampak, tetapi selalu berlalu lebih cepat dari awan yang terlihat di langit.

Lekas aku merangkul langkah pertama. Langkah pertama adalah kepastian. Mantap aku memuji terdengar syahdu ke angkasa. Dengan nyaman menatap sebuah tempat. Rintihan hatiku memanggil sehingga tercipta kegelisahan yang memaknai hadirnya perjalanan hari ini, kegelisahan menandai huruf pertama tersemat di bait ini.

Layaknya dihempas sang ombak, begitupula antara cinta dan takdir harus bisa aku maknai sebagai bagian matahari yang terurai sinarnya ke alam semesta ini. Memahami sinarnya, tanpa harus membendungnya karena hanya akan sia-sia. Tanpa Lelah membaca di atas cahayanya, tanpa pamrih memilih kepada siapa ditetapkan. Sadari, tugasku hanya menjalani. Dan itu jawaban pasti setelah sekian lama mencari dari satu tempat ke tempat lain tanpa pernah tersentuh tanahnya. Lama sekali baru aku sadari, tapi tak mengapa selama itu indah. Tak mengapa berproses dari luka, seperti nasehat bijak luka adalah dimana cahaya memasukimu.

Tak perlu waktu lama aku tiba di tempat legendaris. Warung kopi "Mbah Mo". Sekedar transit sementara saja "Mampir Ngombe", karena tujuan abadiku bukan di sini. Setelah dari sini, aku akan melanjutkan perjalanan ke Selecta di Batu Malang. Sekali lagi bukan perjalanan abadiku. Aku berencana singgah di Jalan Selecta No.1 Tulungrejo Bumiaji Batu atau kurang lebih 6.5km dari Alun-Alun Batu.

Selecta, dari kata Selective artinya pilihan. Terpilih sebagai taman bunga yang indah. Aku akan menunggu di sana sampai aku tak mampu menunggu lagi. Serpihan hati ini terpeluk erat di sana. Sendirian aku mampu, karena jalan pilihan.

Melekat bunga warna-warni mekar sepanjang waktu. Penyejuk hati yang kaku. Satu hal ingin aku katakan di sini, tidak ada niatan aku memetiknya, apalagi mencium kelopaknya. Cukup bagiku adalah perintahmu, karena perintahmu adalah anugerah bagiku. Dan senyummu adalah bahagiaku. Bahagiaku melihat tanganmu merangkul bahumu sendiri.

Nanti, aku hanya minta sisi sepimu wahai taman bunga. Izinkan aku berteriak tanpa harus kau dengar. Sesampainya di sana aku ingin berteriak " aku benci melihatmu datang, tapi aku lebih membenci melihatmu pergi. Aku benci mendengar bisikmu, tapi aku lebih membenci melihatmu diam membisu. Aku benci pula orang mengucapkan namamu, tapi aku lebih membenci tak mendengar kabarmu. Sesungguhnya cukup bagiku hadirmu, karena aku takkan pernah bisa membencimu."

Wahai lautan yang kecil, tunduklah pada lautan yang lebih besar. Wahai gunung yang tinggi, tundukkan pada pegunungan yang lebih tinggi. Wahai diriku yang lemah, dengarkan tundukkan pada lautan yang besar dan pegunungan yang lebih tinggi di hadapanmu.

Bila malam tiba, aku hanya bisa bisu bertanya pada bulan. Dan bila fajar tiba , bukanlah hal yang aku harapkan hadirnya. Ketika itu engkau akan pergi, dan entah kapan aku melihatmu lagi. Dingin menyerang di seluruh tubuh, sekujur tubuh mengubur cahaya. Aku benci...

Nanti, nanti yang aku lewatkan di Selecta, di mana aku berada sekarang ialah melepaskan diri. Menyusuri fata morgana. Dibagian lain aku akan bercerita tentang kemenangan hakiki. Di selecta tolong sampaikan, cerita perjalanan untuk sampai ke sini. Salam sunyi sepi tanpa hadirmu. Kisah tertinggal tak tampak lagi, aku ingin menggalinya selagi menjadi saksi kenangan yang terkubur.

Terakhir sebelum pulang nanti, aku di permukaan karat dosa, tidaklah dapat aku menembus cahayamu. Kupaksakan sekalipun tidak pernah akan bisa, semua tinggal tentang dalam kehendak genggaman takdir.

Aku akan sering-sering berkunjung ke Selecta. Taman bunga aku ibaratkan bayangan taman surga yang aku dambakan. Dari sini, dengan sering mengunjungi Selecta yang aku punya spritit seutuhnya untuk menuju jalan cahaya.

Demikian sedikit cerita dari warung kopi "Mbah Mo" di Cemoro Kandang Gunung Lawu Karanganyar Jawa Tengah. Terima kasih sudah membebaskanku berteriak dan menari di taman bungamu. Mandi di bawah cahaya bulan, semesta bertasbih.

Ikuti saja, biarkan sayapku memelukmu. Tersenyumlah dan katakan "hai" selalu untuk selamanya.

T.T.K (AMBARAWA-SI KUNIR DIENG PLATEU)

"Aku tahu sesungguhnya bilamana doaku dijawab, yaitu bilamana aku telah menerima segala ketetapanNya (Allah) dengan Ridho"

Untukku sebuah lagu. Alur simfoni menuju ke sana. Di tanah datar kubayangkan wajahmu. Kasih hidup di masa lalu, kini aku cari di masa kini.

Selalu mencoba mengerti, ternyata hatimu penuh dengan bahasa kasih. Dan ketahuilah harapan tetap sama. Bahasaku terungkap dengan pasti, suka dan atau sedih perpisahkan waktu hanyalah memisahkan untuk menyatukan (Jika kau percaya, meleburkan batas waktu itu sendiri).

Seekor katak melompat. Bebek tahu dia punya dua sayap. Aku baringkan lelah tubuhku diantara tumpukan suratan jerami. Punggung tanganku menerawang bersendawa. Yang aku ingat hanya hitam panjang menawarkan buih ke bentuk kesabaranku.

Terpejam aku menipu sekelilingku. Berbekal tawa bocah-bocah kecil aku bermimpi membeli perjalan ke "Negeri di Atas Awan". Kuikuti bocah-bocah tersebut bermain di tepian sawah, terus kuikuti dari atas kereta UAP di Stasiun Ambarawa. Hati nanlugu mencoba mengajari, tanpa kata, tanpa pula hawa, mereka mengejarku. Lama kusadari, toleransiku menjauh, menggambarkan jarak sawah semakin kecil menghilang di telan pandangan fatamorgana.

Asap menyertai kereta uap perlahan menunjukkan eksitensinya. Di usia yang tidak remaja, berharap terus melawan sepi. Mengubur sejuta kenangan tidak mungkin dapat terulang. Wajah putih pusat pasi membuka kisah berlawanan deru derap hitam tanpa mengenal arah. Dan aku sandarkan beban diri, perih kasih emosi pada dinding langit-langit kereta.

Merambah pelan diiringi suara peluit, disambut kepakan sayap burung pelikan terbang meninggalkan dalam Rawa Pening. Terbatas asa, seperti menyeberang ke tanah sebelah. Tinggalkan stasiun, dan tak bisa aku ingkari aku hidup dalam kematian.

Lembah di antara gunung terlihat. Mereka diam, tapi mereka tiada bertepi. Mereka pasti kesal padaku. Sesungguhnya semesta Bertasbih, itu yang tidak aku sadari saat itu.

Deretan air, perahu dan tanaman air membiru hidup lukisan bersama sabda alam. Danau Ambarawa menjauh seiring detik kedipan burung bersayap.

Stasiun Tuntang perjalan terakhirku. Dan aku kembali bertemu dengan anak kecil tadi. Segerombolan anak kecil kemari mengikuti rombong langkah kereta. Aku termenung menutup wajahku, memaksaku membuka sarung tubuh ini. Seolah tersisa seorang, seorang diantaranya menawarkan lagu tentang negeri di awan. Kedamaian yang di tawarkan di istananya. dan kau bawa aku menuju ke sana.

"Aku...kenapa aku harus berjalan merangkak, sedangkan aku punya kaki?"

Terpejam aku kembali mengingat. Bukan bermaksud ingin mengulangi masa lalu, tetapi sekedar bercermin mengingat yang telah lampau. Aku mulai dengan menutup mataku berbantal punggung tangan di atas tumpukan jerami (Gatal hanya untuk empuk). Bebek berjejer menunggu kereta uap yang aku lewati melintas. Tiada lembah terasa gunung melintas, kecuali nyanyian merdu sawah hijau menghijaukan langit biru.

Kulihat anak kecil berselimutkan sarung. Kau datang tawarkan hati nanlugu, selalu mencoba mengetuk hasrat dalam jiwa. Seolah memainkan lagu tentang Negeri di Awan, kedamaian menjadi istana dan kau bawa aku menuju ke sana.

Bahasa kasih terungkap dengan pasti, orkestra air kaki melangkah ringan tanpa terpeleset. Bebek mengepakkan sayap di air. Dan akhirnya dapat aku pahami "Aku dan kamu, dua sosok, dua raga dalam satu jiwa" selama tulus.

Dan saat itu juga aku menyadari makna jembatan kayu yang terlewatkan aku ceritakan, "Yang tertulis untukku adalah yang terindah untukmu". Serasa jejak meninggalkan 25menit atas seribu langkah tertinggal. Ternyata itu isapan berlalu. Anak kecil di Ambarawa sana membagi kisah atas nama cinta, setidaknya tetap melangkah mengejar kereta walaupun semisal hanya terhembus sepuluh langkah nafas tersela. Setidaknya aku telah berjuang, setidaknya telah berusaha meliput. Lebih daripada itu engkau membutakan mataku untuk membuka yang sejati, menjaring mentari dan segera mengakiri keterikatan dengan dunia.

Laksana cahaya di atas cahaya, begitupula waktu dengan caranya untuk menemukan. Sajak waktu berlabuh, waktu berlalu lebih cepat dari awan berjalan. Terlalu congkak menyuratkan puisi untukmu.

Bersamamu aku tidak ingin kembali pulang. Tentang cantik rambut panjangmu, meski tidak hitam lagi, akan kuhabiskan sisa hidupku di atas Puncak Si Kunir -- Dieng Plateu.

"Negeri Di Atas Awan...Semesta Bertasbih"

Awan gelisah, akhirnya jatuh bergugur. Yang bersinar menyinari jiwa. Sun rise menantikan bisikan tanpa angin "Selamat tinggal untuk mereka yang suka dengan mata, karena bagi mereka yang suka dengan hati dan jiwa tiada kata perpisahan".

Ikuti saja, biarkan sayapku memelukmu. Tersenyumlah dan katakan "hai" selalu untuk selamanya.

T.T.K (Beautiful In White)

Mbah Har

"Aku tahu sesungguhnya bilamana doaku dijawab, yaitu bilamana aku telah menerima segala ketetapanNya (Allah) dengan Ridho"

Izinkan aku rindu pada hitam rambutmu. Izinkan aku bernyanyi demi hati yang risau. Dan di tengah laut, di Selat Bali selamanya tersisa cinta dan butiran rindu. Izinkan aku membayangkanmu "Beautiful In White". Selat Bali aku pulang, seperti bermimpi di atas mimpi. Ini rumahku.

Aku tidak yakin jika kamu mengetahui saat itu. Tapi, saat pertama jumpa aku gugup. Aku tak sanggup berkata-kata. Aku, aku hanya bisa mengumpulkan batin. Tetapi, tapi saat itu hanya itu yang aku pikirkan, terpikirkan olehku, aku menemukan bagianku yang hilang.

Gaun putih, so look beautiful. Dan mulai saat itu dari nafas pertama hingga nafas terakhirku, hari ini hari yang aku syukuri. Kau wahai yang bergaun putih adalah semua alasanku. Akan kukatakan, kukatakan pada dunia inilah yang disebutkan tidak berbasis batas waktu.

Sebuah perjalanan di Selat Bali, tenang menampakkan biru air laut. Tubuhku digunjang, coba dengar jawabnya dimana lumba-lumba berkelompok menari silih berganti. Melompak ke udara menyemburkan air seolah berujar "Nikmat mana yang kau dustakan". Andai waktu itu aku menyadarinya.

"Ada orang yang jatuh cinta tapi tidak ditakdirkan Bersama. Ada pula yang Bersama tapi tidak jatuh cinta. Tetapi ada sebagian yang beruntung, jatuh cinta juga ditakdirkan Bersama" mengutip nasihat lama yang coba aku lemparkan pada rombongan lumba-lumba di saat ini, perjalanan yang sekarang.

Haa....perjalananku saat ini. Perjalanan sama dengan dulu kemarin, laut terpilih sama biru dan tenang, tapi menghanyutkan. Satu kalimat tanpa batas kata dari dirimu adalah "tutup pintu, kunci kamarmu dan tinggalkan dunia luar. Selanjutnya Bertasbihkah memujiNya".

Lebih lanjut "Lakukan bagianmu saja, dan biarlah Allah mengerjakan bagianNya. Lakukan saja apa yang bisa dilakukan, selebihnya tinggalkan. Jangan melakukan sesuatu yang semata kau inginkan, sedangkan engkau belum tentu, bahkan mungkin tidak bisa melakukannya". Sesaat sebelum berpisah yang pertama dulu, di hari pertama, di hari kemarin. Saat ini aku berada di fase hari ke dua atau hari ini di detik ini.

Kemarin, kemarin hari aku bingung dengan kata-kata tersebut. Terpaku aku menatap laut dengan gelisah. Dan sekarang aku mengerti, seperti katamu diampun akan kulakukan. Sekarang dalam perjalanan sendiri, setelah sebulan melangkah aku jawab "Beautiful In White".

Ketapang -- Gilimanuk (Terbaik)!"

Kau tahu, sejak saat ini "Beautiful In White", bahwa melalui laut yang kau gambarkan, aku belajar sesuatu yang baru tiap sebut namamu. Laut memberi kebebasan dunia.

Tigapuluh menit atau kurang lebihnya tigapuluh menit kapal feri Pottre Koneng bakal merapat ke dermaga pelabuhan (estimasi). Ternyata cepat terasa rugi aku baru menyadarinya setelah 2/3 pelayaran. Kenapa baru 2/3 perjalanan aku baru menyadarinya, kenapa tidak dari dulu awal jumpa, sampai di sini berburu cerita tidak ada yang tersimpan, melainkan sekedar berburu ombak samudera yang aku kejar suaranya tanpa bisa aku tangkap kebenaran warna apalagi wujudnya secara hakiki.

Tapi is Ok. Cinta, cinta dalam ruang dan waktu takkan menghilang, selama karena semata dari Sang Pencipta. Tidak ada hal yang biasa di sekeliling cinta, semua hal adalah cerita yang luar biasa. Mencari sisa ruang waktu untuk dimaksimalkan mungkin jawaban terbaik saat ini. Lebih baik daripada meminta cinta untuk menghentikan waktu adalah kemelut jiwa yang tidak adil. Apalagi memaksakan kembali hadirnya dalam mimpi, tak ubahnya kabut jiwa yang akan menutupi ketenangan laut saja.

Lihat, lihatlah, aku melihat lumba-lumba menari seperti kemarin lagi. Tapi aku takkan merekamnya dalam HP. Karena, mata hatiku selamanya telah melihat sejak saat itu. Hatiku mati di sini, di Selat Bali. Selama ini aku pergi tidak untuk meninggalkanmu, Selat Bali. Aku pergi tidak untuk meninggalkanmu. Tempatmu selamanya tetap di sini, tetapi tempatku tidak di sini. Aku tak bisa menjangkaumu walaupun kau hanya di seberang ombak sana. Sekali lagi, hanya bisa aku ikrarkan di atas Kapal Feri Pottre Koneng "Hatiku mati di sini, di Selat Bali".

Perjalan tarian lumba-lumba menghilang kembali di telan jarak. Aku dan kapal Feri Pottre Koneng semakin menepi ke dermaga. Jika aku sempat pantulkan cermin ke matahari, berguguran ombak di telan satu masa berganti. Aku takkan minder dengan riak gelombang, karena untuk cinta aku tak boleh berdusta.

Sebelum aku kembali ke darat...tidak ada jalan yang tidak berujung, sejauh apapun kita berjalan ada batas waktu untuk berhenti. Semoga dipertemuan berikutnya kita dipertemukan untuk menjadi pasangan jiwa, bukan sebatas pengalaman hidup. Bukan pula cerita tentang siapa yang menjadi pasanganmu, atau siapa yang pertama kita suka. Laut ini sesungguhnya mampu mengajarkan arti cinta yang sesungguhnya.

Palung laut dapat diukur kedalamanya, bisa terbayangkan gelapnya. Tapi palung cinta takkan terkubur di dalam cinta itu sendiri. Selamanya terkubur di bawah sadar, hanya alam intuisi yang sanggup menggambarkan, menyiratkan dan menyuratkan kepada seseorang di dalamnya.

Berhembuslah angin laut, musim akan terus berganti , daun tumbuh dan berguguran. Terima kasih.

Ikuti saja, biarkan sayapku memelukmu. Tersenyumlah dan katakan "hai" selalu untuk selamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun