Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

T.T.K (Edisi: Dalam Perjalanan)

12 Juni 2023   18:00 Diperbarui: 12 Juni 2023   18:05 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Betapa banyak aku meminta tentang cinta, betapa makin aku terjebak dalam dorongan jiwa. Seketika itu dia bilang tentang janji yang terbawa, belum waktunya aku miliki di hari kemarin dan di hari ini. Mungkin, sekali lagi mungkin esok di hari ketika atau bisa jadi di kehidupan ke tiga baru sampailah giliranku. Dan aku akan tetap menunggu dalam kisah lama ini.

kereta biru terhenti di stasiun Tugu jogja. Terbaca oleh suara angin menyiasati kesunyian. Katakanlah keseberang aku melangkahkah kaki. Terbang menembus waktu merisaukan luka dan kepedihan. Sekiranya dentingan kecapi sumbang menyeruak seperti kerikil tajam menyiram jiwa. Bersama hiruk pikuk hujan diantara cucuran peluh sepasang sepatu debu tergolek setia menunggu "itu janji".

Kacamata hitam tertuju pada kerudung putih. Putih bersandar aku saksikan getir pilu laku kereta biru berlalu berikutnya. Riuh rombongan langkah baru tawa menggapai tongkat kehidupan, seolah regangan jemari tangan meraup seisi malam.  Menatap siang kemarin bermaksud membela diri, katakanlah mereka tidak tahu isi tudung jerami yang aku gelar dalam senyum kaca ini. Aku makin muda.

Lalu, aku ke selatan berjalan sambil tersenyum mencari cakrawala melanjutkan asa jejak pengembaraan. Ini bukan jawaban untuk kereta terakhir, kata-kata mengalir masih ada berikutnya. Seperti halnya angin, mengantarkanku melangkah memberi nafas baru menuju jantung kota Jogja. Dingin menjanjikan, tetapi mengisyaratkan suasana batin lebih panas terasa dari sekitar sepuluh tahun lalu aku mengambil bayang-bayang.

"Jogja terlahir dari kata Rindu, aku kembali pulang karena rindu"

Benar aku menyeberangi danau, diantara keindahan terpencil. Ternyata sekian lama aku simpan dan saksikan, hanya seruling bersorak tiada lebih indah dari hembusan angin di kota ini ketika memegang "Tugu Jogja".

Pernah pula aku mendaki dari keindahan bukit hijau di tengahnya lingkaran air terjun, mengalir pula embun tiap pagi menempel di rerumputan, ternyata nyaliku hanya rebah terkapar. Menyerah sebatas terjerembab ke dalam ketidakpastian. Ladang kehidupanku datang ke Arah Marlboro oleh derap kaki kuda menyusuri tiap sudutnya menuju Taman Sari. Semua yang aku saksikan nyanyian mimpi tenggelam diantara musisi jalanan terasa rindu ikatkan jaring mendung dan langit tersenyum hari ini di Jogja milik kita.

Suara gamelan keraton tertabuh kertas suci. Senandang lagu lebur kembali mekar. Bangkitkan cerita kita agar semua kembali luruskan langkah diantara ketegaran beringin alun alun selatan. Tegap terasa tanganmu untuk tidak lepaskan rembulan purnama bersama. Di sini, aku sadar selama ini aku salah merancang sudutku. Sujudku hanya menatap gubuk-gubuk meja seolah benar mentanahkan diri. Menangkal pikiran dengan membenarkan mencuri ruang hampa di akal.

Wajah bersembunyi, bintang rembulan menikam suara ranting meronta-ronta merobek jaring mentari. Aku salah dalam menjaring mentari. Dari sudut mata ini kosong menerawang, melukiskanmu dalam darah terpenggal-penggal yang harusnya aku satukan. Seperti halnya angin, berkumpul dan tak pernah berhenti bergerak.

Laksana cahaya dalam cahaya, siramilah dalam cinta menampilkan titik titik yang hilang. Aku mohon, uraikanlah air mata. Wajahmu yang agung dan kasih, kini aku yakin menerawang tak mampu aku gambar, apalagi berlebih merebahkan kepala.

Ajari aku merunduk sejenak, kucari kamu di sini, kucari kamu pula di gunung, di laut kutemui kamu dalam genggamanku. Selama angin masih bergerak, selama itu harapan masih ada. Dan kehidupan masih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun