Kota Gresik di Jawa Timur oleh masyarakat luas dijuluki sebagai kota wali karena di berbagai penjuru kota yang sangat kondang dengan industri semennya itu banyak ditemukan jejak para wali. Jejak itu bisa berupa petilasan, pusara (makam) dan tinggalan (warisan).
Ada beberapa wali (sunan) atau pejuang Islam yang pernah hidup di kota penghasil kue pudak itu, diantaranya : Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik / Kakek Bantal), Syekh Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri / Raden Paku) dan Syekh Ali Murtadlo (Raden Santri).Â
Syekh Ali Murtadlo merupakan kakak kandung Sunan Ampel (Raden Rahmat). Beliau juga seorang wali meski tidak masuk kelompok Wali Songo. Berbeda dengan para wali lainnya, Syekh Ali Murtadlo memperjuangkan Islam dengan tidak ditampakkan (siri).
Sunan Giri atau Syekh Ainul Yaqin sepertinya lebih populer dari kedua wali tadi karena gerak perjuangan beliau lebih banyak direkam oleh masyarakat dari masa ke masa. Selain berjuang mensyiarkan Islam, Sunan Giri juga seorang raja dari Kerajaan Giri atau Giri Kedaton.
Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa Sunan Giri menikahi dua perempuan yaitu : Dewi Murtosiyah putri Sunan Ampel dari Surabaya dan Dewi Wardah putri Ki Ageng (Sunan) Bungkul dari Surabaya.
Namun boleh jadi istri Sunan Giri ini lebih dari dua orang. Di kawasan menuju kompleks pusara Sunan Giri, persis di pinggir Jalan Sunan Giri Kawisanyar (Jeblok) terdapat makam istri ke-3 Sunan Giri. Masyarakat setempat menyebutnya makam Nyai Ageng Usami (Mbah Usami) yang wafat tahun 1487.Â
Kebenaran tentang makam itu, saya sendiri tidak tahu persis, nyatanya pemerintah daerah Gresik juga mengakui keberadaannya. Kabarnya makam Mbah Usami ditemukan pada tanggal 10 Juli 1969.
Dari hasil pernikahannya dengan Dewi Murtosiyah dan Dewi Wardah, lahirlah puluhan putra-putri yang kebanyakan juga bergelar sunan. Namun yang terekam dalam percaturan sejarah karena  memegang tampuk kepemimpinan Giri Kedaton usai Sunan Giri wafat antara lain : Sunan Dalem, Sunan Sedo Margi (Sedo ing Margi), Sunan Prapen, Panembahan Kawis Guwo, Panembahan Agung.
Sunan Dalem dan Sejarah Masjid Gumeno
Sunan Dalem atau yang bergelar Maulana Zainal Abidin merupakan putra Sunan Giri dari hasil pernikahannya dengan Dewi Murtosiyah. Setelah Sunan Giri wafat, Giri Kedaton diperintah oleh Sunan Dalem ini mulai tahun 1506 masehi dan beliau wafat pada tahun 1545 masehi.
Catatan sejarah mengenai Sunan Dalem ini memang tidak selengkap pendahulunya (Sunan Giri, red). Sebelum akhirnya wafat dan jenazahnya disemayamkan di sebelah barat makam Sunan Giri.Â
Beliau (Sunan Dalem, red) sempat hijrah ke kawasan yang sekarang bernama Desa Gumeno, Manyar -- Gresik.


Mendekati lokasi Masjid Jamik Gumeno, berdiri sebuah gapura lagi sebagai penanda masuk ke kawasan masjid.

Itu pula yang saya tanyakan kepada salah seorang pengurus Masjid Jamik Gumeno saat menghadiri penyelenggaraan acara Sanggringan beberapa waktu lalu.
Masjid Jamik Gumeno yang dibangun di lahan seluas 2789 meter persegi itu menurut sejarahnya merupakan masjid tiban dengan bagian atap bertingkat 3.Â
Masjid ini didirikan Sunan Dalem pada tahun 1539 masehi / 1461 Saka / 946 Hijriah. Kondisi awal masjid sebelum mengalami renovasi berulang kali, puncak tiangnya tingginya 21 kaki. Tiang penanggap pancang panjangnya 12 kaki. Tiang pelebaran panjangnya 5 kaki.



Masjid Jamik Gumeno merupakan masjid bersejarah warisan Sunan Dalem. Berkat masjid ini nama Desa Gumeno terangkat dan menjadi sangat terkenal bahkan sampai ke mancanegara karena pada setiap malam 23 Ramadan terselenggara acara Sanggringan yang mengundang perhatian masyarakat luas dan media massa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI