Mohon tunggu...
Maulida Diana
Maulida Diana Mohon Tunggu... Mahasiswa

Musik, fiksi, bahasa

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gerbang Air Terjun: Episode 1 -- Batu Berbisik di Hulu Sungai

2 Juli 2025   17:46 Diperbarui: 2 Juli 2025   22:23 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Envato/Kredit Foto)

Langit Cascadia siang itu cerah, tapi hati Bara muram. Proyek skripsi yang tak kunjung selesai dan tekanan dari orang tua membuatnya ingin lari sejauh mungkin. Maka, ketika sahabatnya, Raka, mengajaknya mendaki ke hulu Sungai Aetheria untuk mencari air terjun tersembunyi yang konon belum banyak terjamah -- Air Terjun Tirai Aether--, Bara langsung mengiyakan. Ia butuh pelarian.

"Serius, Ra, air terjun ini beda. Kata kakek gue, tempatnya sakral. Ada legenda tentang batu berukir di baliknya," cerita Raka bersemangat sambil melibas semak belukar. Bara hanya mengangguk, napasnya sudah terengah-engah. Jalur menuju air terjun itu memang menantang, licin dan curam.

Setelah dua jam menembus hutan, suara gemuruh air akhirnya menyapa mereka. Di balik rimbunnya pepohonan, terhampar pemandangan menakjubkan. Air terjun setinggi belasan meter mengalir deras, membentuk kolam jernih di bawahnya. Namun, bukan itu yang membuat Bara terpaku. Di balik tirai air yang jatuh, samar-samar terlihat sebuah celah di dinding tebing, dan di dalamnya, sebuah batu besar dengan ukiran aneh.

Air terjun ini jauh dari biasa. Alirannya sangat lebar, menciptakan seperti tirai raksasa dari air gemerlap yang jatuh dari tebing tinggi berlumut. Uniknya, di waktu-waktu tertentu, terutama saat kabut pagi dari Sungai Aetheria menebal atau saat bulan purnama bersinar, Air Terjun Tirai Aether akan memancarkan cahaya keemasan atau kebiruan yang memukau. Fenomena ini dipercaya penduduk Cascadia sebagai manifestasi dari energi magis yang berasal dari dimensi fantasi yang tersembunyi.

"Itu dia!" seru Raka, matanya berbinar. "Batu yang diceritakan kakek!"

Bara melangkah mendekat, rasa lelahnya sirna digantikan rasa penasaran. Batu itu berwarna hitam pekat, namun memancarkan kilau kehijauan saat tertimpa cahaya matahari yang menembus celah dedaunan. Ukirannya sangat rumit, membentuk pola spiral dan simbol-simbol yang tak Bara kenali, seolah bukan buatan manusia. Ada sesuatu yang menariknya, memanggilnya untuk menyentuh permukaan batu itu.

"Jangan dekat-dekat, Ra! Kata kakek, batu itu punya kekuatan," peringat Raka dari kejauhan. Tapi Bara sudah terlanjur terhipnotis. Tangan kanannya terulur, menyentuh ukiran di tengah batu.

Seketika, sensasi dingin menjalari lengannya. Batu itu mulai memancarkan cahaya hijau terang yang menyilaukan. Suara gemuruh air terjun mendadak senyap, digantikan bisikan-bisikan aneh yang berdesir di telinga Bara, seolah ribuan suara berbicara padanya secara bersamaan dalam bahasa yang tak ia pahami.

"Bara! Minggir!" teriak Raka, mencoba menarik Bara. Namun terlambat.

Cahaya hijau dari batu itu semakin membesar, membentuk pusaran energi. Tubuh Bara terangkat, tertarik ke dalam pusaran cahaya. Ia sempat melihat wajah Raka yang panik sebelum pandangannya benar-benar gelap, diikuti sensasi berputar dan jatuh yang sangat cepat.

Ketika kesadaran perlahan kembali, Bara merasakan kakinya menapak di permukaan yang kokoh, bukan tanah basah lagi. Aroma hutan berganti menjadi wangi bunga-bungaan aneh yang manis. Ia membuka mata.

Alih-alih pepohonan rimbun dan air terjun, Bara kini berdiri di sebuah hutan yang berbeda. Pepohonannya menjulang sangat tinggi, daunnya berwarna biru kehijauan, dan di antara dahan-dahan, ada bunga-bunga raksasa berpendar lembut seperti lentera. Langit di atasnya tidak lagi biru terang, melainkan gradasi warna oranye, merah muda, dan ungu, dengan tiga bulan sabit yang menggantung indah.

"Ini... di mana?" gumam Bara, suaranya tercekat. Ia menatap tangannya. Tidak ada yang berubah, tapi rasa dingin dari batu tadi masih terasa.

Dari balik pepohonan, terdengar suara gemerisik daun yang diikuti langkah kaki. Bara menoleh, dan jantungnya serasa berhenti berdetak.

Sosok yang muncul bukanlah manusia. Tubuhnya ramping dan tinggi, kulitnya kebiruan, rambutnya seputih salju, dan matanya memancarkan cahaya keperakan yang misterius. Di tangannya, ia memegang sebuah busur yang terbuat dari akar pohon bercahaya. Ia menatap Bara dengan pandangan terkejut sekaligus curiga.

"Seorang Penjelajah... dari dunia lain?" gumam makhluk itu dengan suara merdu, namun terdengar asing di telinga Bara. "Bagaimana kau bisa melewati Gerbang Kuno?"

Bara tak bisa menjawab. Ia hanya bisa menatap makhluk aneh itu, menyadari sepenuhnya bahwa petualangan yang tak pernah ia bayangkan baru saja dimulai. Ia telah masuk ke sebuah dunia yang benar-benar berbeda, jauh dari segala rutinitas membosankan di Bumi.

Kira-kira petualangan apa yang akan Bara hadapi di dunia baru itu?

(Sumber: Envato/Kredit Foto)
(Sumber: Envato/Kredit Foto)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun