Langit Cascadia siang itu cerah, tapi hati Bara muram. Proyek skripsi yang tak kunjung selesai dan tekanan dari orang tua membuatnya ingin lari sejauh mungkin. Maka, ketika sahabatnya, Raka, mengajaknya mendaki ke hulu Sungai Aetheria untuk mencari air terjun tersembunyi yang konon belum banyak terjamah -- Air Terjun Tirai Aether--, Bara langsung mengiyakan. Ia butuh pelarian.
"Serius, Ra, air terjun ini beda. Kata kakek gue, tempatnya sakral. Ada legenda tentang batu berukir di baliknya," cerita Raka bersemangat sambil melibas semak belukar. Bara hanya mengangguk, napasnya sudah terengah-engah. Jalur menuju air terjun itu memang menantang, licin dan curam.
Setelah dua jam menembus hutan, suara gemuruh air akhirnya menyapa mereka. Di balik rimbunnya pepohonan, terhampar pemandangan menakjubkan. Air terjun setinggi belasan meter mengalir deras, membentuk kolam jernih di bawahnya. Namun, bukan itu yang membuat Bara terpaku. Di balik tirai air yang jatuh, samar-samar terlihat sebuah celah di dinding tebing, dan di dalamnya, sebuah batu besar dengan ukiran aneh.
Air terjun ini jauh dari biasa. Alirannya sangat lebar, menciptakan seperti tirai raksasa dari air gemerlap yang jatuh dari tebing tinggi berlumut. Uniknya, di waktu-waktu tertentu, terutama saat kabut pagi dari Sungai Aetheria menebal atau saat bulan purnama bersinar, Air Terjun Tirai Aether akan memancarkan cahaya keemasan atau kebiruan yang memukau. Fenomena ini dipercaya penduduk Cascadia sebagai manifestasi dari energi magis yang berasal dari dimensi fantasi yang tersembunyi.
"Itu dia!" seru Raka, matanya berbinar. "Batu yang diceritakan kakek!"
Bara melangkah mendekat, rasa lelahnya sirna digantikan rasa penasaran. Batu itu berwarna hitam pekat, namun memancarkan kilau kehijauan saat tertimpa cahaya matahari yang menembus celah dedaunan. Ukirannya sangat rumit, membentuk pola spiral dan simbol-simbol yang tak Bara kenali, seolah bukan buatan manusia. Ada sesuatu yang menariknya, memanggilnya untuk menyentuh permukaan batu itu.
"Jangan dekat-dekat, Ra! Kata kakek, batu itu punya kekuatan," peringat Raka dari kejauhan. Tapi Bara sudah terlanjur terhipnotis. Tangan kanannya terulur, menyentuh ukiran di tengah batu.
Seketika, sensasi dingin menjalari lengannya. Batu itu mulai memancarkan cahaya hijau terang yang menyilaukan. Suara gemuruh air terjun mendadak senyap, digantikan bisikan-bisikan aneh yang berdesir di telinga Bara, seolah ribuan suara berbicara padanya secara bersamaan dalam bahasa yang tak ia pahami.
"Bara! Minggir!" teriak Raka, mencoba menarik Bara. Namun terlambat.
Cahaya hijau dari batu itu semakin membesar, membentuk pusaran energi. Tubuh Bara terangkat, tertarik ke dalam pusaran cahaya. Ia sempat melihat wajah Raka yang panik sebelum pandangannya benar-benar gelap, diikuti sensasi berputar dan jatuh yang sangat cepat.