"Children are born with a growth mind-set in how they see the world for the first time and learn to walk and talk. As their brains and thirst for knowledge expand, we send them to school" Excerpt From Big Thinking for Small Business: Straight forward Advice to Grow Your Business Coulson, Steven J
Kutipan di atas saya dapat dari sebuah buku tentang bisnis. Pembaca mungkin sering menemukan istilah growth mindset, yaitu pola pikir terbuka untuk meraih kesuksesan.Â
Setiap kita terlahir dengan konsep growth mindset. Seiring tumbuh kembang organ dan otak, orang tua mendaftarkan anak ke sekolah untuk 'menimba' ilmu lebih banyak.
Dalam kurun waktu tertentu, baik karena pengaruh pola belajar dan pengaruh teman dan lingkungan, Â pola pikir menuju haluan berbeda. Â
Growth mindset merupakan pola pikir alamiah. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa pola pikir bertumbuh dan terbuka selaras dengan prinsip alam.Â
Setiap kali kita melawan arus, maka kita terbawa lebih jauh dari tujuan utama. Pola pikir bukan hanya sebatas kompas penunjuk arah yang berfungsi otomatis. Kita semua lahir membawa growth mindset dalam diri kita.Â
Arus informasi yang terlalu deras menarik magnet negatif. Akibatnya, banyak yang kehilangan arah karena terlalu aktif menyerap energi negatif dari lingkungan sekitar.
Tumbuh kembang anak dibawah kendali kedua tangan orang tua juga menentukan apakah anak bakal mewarisi pola pikir positif (growth) atau negatif (fixed).
Sebagai contoh, seorang ayah tanpa sadar membatasi kemampuan anak dengan melarangnya melakukan sebuah percobaan. Rasa khawatir, takut, dan cemas menarik magnet negatif dari alam.Â
Sifat alamiah anak adalah mencoba untuk menyerap informasi. Saat anak aktif bergerak, mereka sedang mengaktifkan sensor dalam tubuh. Orang tua sering tidak menyadari jika tumbuh kembang anak identik dengan pergerakan.
Frasa menakutkan dari kedua orang tua membatasi langkah kaki anak. Akhirnya magnet fixed mindset mendominasi pikiran anak. Anak-anak butuh bermain untuk mengakomodir pertumbuhan mengikuti ritme alam.Â
Makanya, konsep belajar perlu sejalan dengan proses tumbuh kembang. Anak-anak yang terkurung dalam rumah tanpa beraktivitas di luar tidak mendapatkan waktu ideal berinteraksi dengan alam.
Growth mindset bukan sekedar teori psikologi, tapi sebuah naluri tumbuh kembang yang mesti diikuti, bukan dibatasi. Orang tua punya andil besar mengarahkan anak pada energi positif.
Energi positif anak yang diserap dari alam memberi konsep hidup yang relevan dengan tumbuh kembang. Sehingga, anak tidak membawa serta rasa cemas, khawatir, atau rasa takut berlebihan.
Standar hidup terus berubah mengikuti pola pikir sebagian orang. Sama seperti standar kecantikan pada wanita yang digambarkan dengan warna kulit, bentuk tubuh, dan berat badan ideal.
Pada kenyataannya, standar hidup dan kecantikan dibuat oleh segelintir orang untuk mengambil keuntungan besar. Kosmetik laku keras, program diet semakin diminati, sampa konsep rumah ideal menjadi sebuah tujuan hidup.
Manusia tidak lahir untuk mengikuti ritme hidup orang. Standar hidup telah berubah mengikuti dorongan industri. Iklan-iklan pemanis terus menghiasi pikiran mayoritas orang. Alhasil, naluri growth mindset digantikan fixed mindset.Â
Ya, gambaran hidup dari media sosial memberi rasa cemas pada banyak keluarga. Sama persis seperti rasa takut seorang perempuan saat berat badannya berlebih, wajahnya berjerawat atau kulit yang terlihat kegelapan.Â
Eksploitasi pikiran membuat orang terpinggirkan. Keinginan untuk memperoleh rumah impian memaksa orang untuk bekerja lebih giat. Di waktu yang sama, orang tua melupakan nilai-nilai penting tumbuh kembang anak.Â
Kesuksesan sering dilekatkan pada nominal dan persepsi orang. Sehingga, kebahagiaan rumah tangga tidak lagi bersifat alamiah, melainkan bertopang pada nilai sosial yang digembar-gemborkan.
Anak remaja merasa malu untuk bergaul saat standar hidup bersebrangan dengan nilai yang dipegang. Bahkan, tuntutan gaya hidup mulai melecehkan harga diri individu yang seharusnya diproteksi oleh pola pikir yang benar.
Kita tidak hanya melihat pergeseran cara berpikir, tapi juga pelecehan haga diri. Banyak yang melupakan nilai-nilai untuk meraih gambaran hidup ideal. Mereka lebih percaya pada nilai hidup yang digambarkan ketimbang mempertahankan nilai yang benar.
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI