Orangtua seharusnya mengasah skil berbahasa anak sebelum mereka dititipkan ke sekolah. Kalau regulasi emosi anak bermasalah dan fungsi kognitif mereka terganggu, kenapa yang disalahkan guru?
Sama seperti sebuah jembatan yang dibangun dengan fondasi asal jadi. Lalu, saat dilintasi truk bermuatan besar, jembatan ambruk menewaskan banyak orang. Lantas, siapa yang layak disalahkan?
Membangun dan mengasah literasi anak sejatinya dipahami sebagai tugas bersama. Peran utama terletak pada orangtua, baru kemudian guru-guru di sekolah.Â
Ketika siswa tidak mampu membaca dan menulis, jangan terlalu cepat menyalahkan sekolah. Tanyakan kembali kemana peran orangtua dalam rumah?
Pemerintah Swedia mengelontorkan dana 50 juta Euro untuk membeli buku cetak di tahun 2023. Jumlah yang sama dialokasikan selama 2023-2024. Tujuannya agar level literasi meningkat setelah sebelumnya merosot pasca pandemi.
Pakar pendidikan Swedia berpendapat jika teknologi ternyata melemahkan skil dasar, yaitu membaca dan menulis. Sementara itu, Pemerintah India menghkhawatirkan level literasi siswa mereka.Â
Dalam sebuah laporan National Literacy Trust (NLT) melibatkan 76 ribu responden, 34,6% anak usia 8-18 tahun di India terbiasa membaca. Di sisi lain, akses pada tontotan online meningkat drastis mencapai angka 90% total penduduk India.
Hal ini berdampak pada menurunnya level membaca buku secara offline penduduk India dalam beberapa tahun ke belakang. Oleh karenanya, beberapa pakar pendidikan India menekankan pentingnya menghidupkan kembali budaya membaca dalam keluarga.Â
Permasalahan literasi di dunia hari ini bermuara pada akar masalah yang sama, yaitu pengaruh masif teknologi. Fungsi utama orangtua telah tergantikan oleh smartphone.Â
Akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan: mengembalikan fungsi rumah sebagai fondasi awal literasi, atau membiarkan anak-anak kita terkekang oleh teknologi?
Pilihan kita hari ini menentukan level literasi generasi di masa depan. Intinya, jangan berbangga diri saat anak pintar membaca tapi gagal berkomunikasi dua arah.Â