Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Pemerhati literasi | peneliti bahasa | penulis buku bahasa Inggris

Menulis untuk berbagi ilmu | Pengajar TOEFL dan IELTS | Penulis materi belajar bahasa Inggris| Menguasai kurikulum Cambridge Interchange dan Cambridge Think | Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Belajar dari Swedia: Meninjau Kembali Definisi Literasi dan Esensi Buku Fisik

19 April 2025   12:58 Diperbarui: 21 April 2025   21:11 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa swedia kembali ke buku cetak|sumber gambar:https://www.independent.co.uk

Karena kedua orangtua 'terlalu' sibuk bekerja, anak terbiasa terlelap di depan smartphone. Sebagian lainnya memilih untuk menitipkan anak pada kakek-nenek. Smartphone dijadikan media 'belajar' anak.

Masalah besar datang belakangan. Anak-anak tidak terbiasa berkomunikasi dua arah. Akhirnya, mereka menjadi individu pasif. Sulit diajak berbicara dan emosinya tidak stabil. Suka merengek dan tidak mampu memahami arahan simpel orangtua.

Pembiasaan harian memegang smartphone berdampak negatif pada regulasi emosi anak. Bahkan, kemampuan fokus anak menurun dan kemampuan kognitif melemah. 

Padahal, untuk mencapai level literasi pada lapisan atas, anak harus lebih dulu membangun fokus dan regulasi emosi positif. Kedua hal ini hanya diperoleh dengan komunikasi dan interaksi aktif orangtua bersama anak.

Saat anak terbiasa di depan layar smartphone, kesempatan emas membangun literasi kuat sirna. Kenapa? karena fungsi prefrontal cortex dan hippocampus terganggu. 

Kedua bagian otak ini sangat menentukan level literasi anak di kemudian hari. Rangsangan dari tontonan smartphone memicu rasa candu berlebihan yang secara tidak langsung menganggu fungsi prefrontal cortext sebagai landasan utama mengasah fungsi kognitif seperti memori, perhatian, dan bahasa.

Anak-anak yang terbiasa dengan smartphone mengalami kesulitan fokus ketika belajar. Hal ini berimbas pada penyimpanan memori dalam otak. Anak boleh saja terlihat pandai, tapi sebenarnya rapuh di dalam. Seperti bangunan dengan lapisan indah tanpa fondasi kuat.

Mengasah Literasi

Kembali pada inti masalah, siapa yang harus disalahkan saat ratusan siswa Bali tidak mampu membaca?

Tentu tidak bijak jikalau sekolah menjadi sasaran utama. Orangtua ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Kemampuan membaca dan menulis dimulai dari dalam rumah, bukan sepenuhnya tanggung jawab guru-guru di sekolah.

Peran keluarga sangat krusial dalam hal mengasah literasi anak. Orangtua dengan pemahaman literasi rendah condong menyalahkan sekolah. Mereka meyalahkan guru untuk menutupi buruknya gaya asuh dalam rumah.

Bagaimana mungkin siswa di sekolah mencapai level literasi di lapisan atas dengan kemampuan berbahasa yang buruk?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun