Karena kedua orangtua 'terlalu' sibuk bekerja, anak terbiasa terlelap di depan smartphone. Sebagian lainnya memilih untuk menitipkan anak pada kakek-nenek. Smartphone dijadikan media 'belajar' anak.
Masalah besar datang belakangan. Anak-anak tidak terbiasa berkomunikasi dua arah. Akhirnya, mereka menjadi individu pasif. Sulit diajak berbicara dan emosinya tidak stabil. Suka merengek dan tidak mampu memahami arahan simpel orangtua.
Pembiasaan harian memegang smartphone berdampak negatif pada regulasi emosi anak. Bahkan, kemampuan fokus anak menurun dan kemampuan kognitif melemah.Â
Padahal, untuk mencapai level literasi pada lapisan atas, anak harus lebih dulu membangun fokus dan regulasi emosi positif. Kedua hal ini hanya diperoleh dengan komunikasi dan interaksi aktif orangtua bersama anak.
Saat anak terbiasa di depan layar smartphone, kesempatan emas membangun literasi kuat sirna. Kenapa? karena fungsi prefrontal cortex dan hippocampus terganggu.Â
Kedua bagian otak ini sangat menentukan level literasi anak di kemudian hari. Rangsangan dari tontonan smartphone memicu rasa candu berlebihan yang secara tidak langsung menganggu fungsi prefrontal cortext sebagai landasan utama mengasah fungsi kognitif seperti memori, perhatian, dan bahasa.
Anak-anak yang terbiasa dengan smartphone mengalami kesulitan fokus ketika belajar. Hal ini berimbas pada penyimpanan memori dalam otak. Anak boleh saja terlihat pandai, tapi sebenarnya rapuh di dalam. Seperti bangunan dengan lapisan indah tanpa fondasi kuat.
Mengasah Literasi
Kembali pada inti masalah, siapa yang harus disalahkan saat ratusan siswa Bali tidak mampu membaca?
Tentu tidak bijak jikalau sekolah menjadi sasaran utama. Orangtua ikut bertanggung jawab dalam hal ini. Kemampuan membaca dan menulis dimulai dari dalam rumah, bukan sepenuhnya tanggung jawab guru-guru di sekolah.
Peran keluarga sangat krusial dalam hal mengasah literasi anak. Orangtua dengan pemahaman literasi rendah condong menyalahkan sekolah. Mereka meyalahkan guru untuk menutupi buruknya gaya asuh dalam rumah.
Bagaimana mungkin siswa di sekolah mencapai level literasi di lapisan atas dengan kemampuan berbahasa yang buruk?