Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Emosi Negatif Masa Kecil Berdampak Buruk Ketika Dewasa

27 Mei 2023   20:53 Diperbarui: 28 Mei 2023   20:35 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emosi masa kecil | freepik.com

Minggu lalu saya mengunjungi sebuah rumah yang beberapa hari sebelumnya terjadi kasus pembunuhan. Kasus pembunuhan ini sempat viral karena melibatkan pasangan suami istri.

Dari cerita anak korban, ayah dan ibunya baik-baik saja sesaat sebelum dirinya keluar rumah sejenak. Begitulah takdir, memang tidak bisa dielak dengan cara apa pun, kapan pun, dan dimana pun.

Uniknya, kasus pembunuhan ini berawal dari kecemburuan sang suami pada istrinya. Padahal, keduanya sudah berumur. Bahkan, sang suami sudah berumur 70 an ke atas. 

Kejadian diduga terjadi pada tengah malam saat kebetulan sang anak sedang berada di luar rumah. Sebagaimana cerita sang anak, ayahnya sempat marah pada ibunya (istri ) karena berbicara pada laki-laki lain. 

Secara logika, kecemburuan sang suami terlalu berlebihan sehingga menyebabkan emosi yang sulit dikontrol. Akhirnya, kejadian tak diharapkan tidak mampu dielak.

Sebenarnya, jika sang ayah terlihat sedang marah, anaknya lebih memilih untuk menetap di rumah untuk meleraikan kedua orang tuanya.

Namun, naas di hari kejadian, tidak ada pertanda apa-apa. Ketika sang anak pulang, ia sangat terkejut menemukan jasad ibunya bersimbah darah.

Sehari-hari, korban dikenal memiliki kepribadian yang ramah. Ia bahkan selalu terlihat membantu di acara-acara tetangga. Intinya, korban adalah orang baik.

Kisah seperti ini mungkin bukan satu-satunya. Di berbagai tempat ada kisah yang sama dengan korban berbeda. Latar belakang boleh saja sama, yaitu kecemburuan yang mengalahkan logika berpikir.

Mengatur Emosi

Berbicara tentang emosi, kita tidak bisa mengabaikan peran masa kecil. Emosi masa kecil yang terabaikan sering kali bisa memicu perasaan negatif saat dewasa. 

Dalam banyak kasus, anak-anak yang masa kecilnya tidak mendapat rasa cinta cukup dari orang tua sering mengalami masalah regulasi emosi. 

Kasus perceraian misalnya, salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan mengatur emosi. Jika logika sudah dikalahkan emosi, maka otak tidak lagi mampu memisahkan antara benar dan salah.

Tidak heran, faktor pemicu rusaknya keluarga juga berawal dari emosi yang bukan pada tempatnya. Seorang suami marah pada istri, atau seorang istri cemburu pada suami. 

Rentetan kasus pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaaan, atau pencurian semuanya melibatkan emosi. Emosi muncul karena adanya pemicu.

Lantas, apakah pemicu yang mampu membangkitkan emosi seseorang? 

Di saat terlahir ke dunia, seseorang belom mengenal yang namanya emosi. Seorang bayi secara alamiah mampu mendeteksi emosi ayah dan ibunya, baik itu dari wajah ataupun suara.

Anak belajar mengatur emosi dari pembiasaan. Contohnya, anak yang kemauannya selalu dituruti akan condong meluapkan emosi berbeda dengan anak yang dididik dalam keluarga yang serba kekurangan.

Artinya, kemampuan mengontrol emosi sangat tergantung pada pola pembiasaan dalam rumah, khususnya bagaimana cara orang tua berinteraksi dengan anak.

Makanya, rasa sayang orang tua kepada anak semestinya tidak dibuat-buat. Anak perlu belajar untuk memahami emosi cinta yang tulus dari kedua orang tua. 

Rasa cinta, marah, sedih, dan senang adalah serangkaian emosi yang mesti dialami anak secara normal. Maknanya, seorang anak wajar jika marah atau kecewa, sama halnya dengan rasa senang.

Akan tetapi, terkadang orang tua beranggapan bahwa anak tidak seharusnya marah. Padahal, emosi marah dalam hal yang wajar memang seharusnya dialami oleh siapapun.

Yang menjadi masalah adalah ketika emosi marah diserap anak dari orang tuanya dengan cara yang tidak tepat. Akhirnya, emosi yang dipelajari anak menjadi emosi negatif yang bersifat buruk kedepannya.

Apa contohnya? orang tua yang marah ketika anak tidak menuruti kemauannya atau ketika anak melakukan sesuatu yang dianggap tidak sesuai dengan prinsip hidup orang tua.

Dalam kondisi seperti ini, emosi yang kemudian diserap anak berefek pada kepribadian anak. Lebih dalam lagi, emosi-emosi ini menjadi penghambat anak dalam banyak hal.

Anak yang percaya dirinya rendah juga bersebab emosi negatif yang diserap saat kecil dari orang tua. Ada orang tua yang kecewa pada anak ketika mendapat nilai buruk di sekolah, lalu melepas emosi kecewanya pada sang anak.

Apa yang terjadi berikutnya? anak membawa emosi ini dalam tubuhnya dan pada saat tertentu melepaskan emosi yang sama pada orang lain. Bisa jadi emosi negatif yang disimpan anak mengendap lama dan baru muncul saat dewasa.

Tidak heran, banyak orang dewasa yang pada dasarnya kekanak-kanakan secara kepribadian. Emosi masa kecil yang negatif seketika bangkit dan lahir kembali dalam wujud berbeda.

Masalah kecil mudah menjadi besar karena emosi mengalahkan akal. Kemampuan berpikir dengan jernih sangat gampang disabotase oleh emosi seperti kecemburuan dan kekecewaan.

Kalau rasa cinta mampu meluluhkan hati, maka rasa kecewa juga mampu menggelapkan pikiran. Contoh paling sederhana, seorang ibu bisa rela membuang bayinya dengan alasan ekonomi. Seorang suami gelap mata membunuh istri hanya karena cemburu. 

Sejatinya, rasa cinta di awal menjadi modal besar untuk mengikat janji dalam ikatan pernikahan. Lalu, kenapa emosi juga mampu membuka ikatan yang sudah lama dirajut?

Ya, semua mungkin saja terjadi! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun