Mohon tunggu...
Teguh S
Teguh S Mohon Tunggu... penulis (yang) lepas

sesederhana sebagaimana kau melihatnya...sebiasa saja sebagaimana kau menganggapnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Sungai Batanghari

20 September 2025   12:36 Diperbarui: 20 September 2025   12:36 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sungai Batanghari (Sumber: Dok. Pribadi)

Hari itu, langit Jawa berawan tipis ketika Ayu berpamitan pada orangtuanya. Ibunya berkali-kali menekankan hal yang sama:

"Yu, hati-hati di rantau. Ingat, umurmu sudah cukup. Mama ingin lihat kamu menikah sebelum Mama terlalu tua."

Ayu hanya bisa mengangguk. Ia tahu ibunya benar, tetapi juga lelah mendengar kalimat yang sama berulang-ulang. Usianya tiga puluh lima, sudah mapan bekerja di BUMN, gajinya lumayan, rumah mungil sudah ia beli. Namun soal jodoh, hidup tak bisa dipaksa secepat menghitung angka.

Beberapa hari kemudian, ia menjejakkan kaki di Jambi. Hujan baru saja reda, aspal jalanan masih mengilap. Dari balik kaca taksi bandara, Ayu menatap pepohonan besar dan papan nama bertuliskan huruf tebal: Selamat Datang di Kota Jambi.

"Kenapa harus Jambi?" begitu ia menggerutu saat menerima surat mutasi. Ia lebih ingin Bandung atau Surabaya karena dekat dengan keluarga. Tapi keputusan kantor sudah bulat.

Hari-hari pertama, Ayu merasa asing. Logat orang-orang membuatnya kikuk, makanan serba masakan padang membuat lidahnya kaget, cuaca panas membuatnya malas keluar rumah. Malam-malam ia sering berbaring menatap langit-langit kontrakan, rindu pada aroma masakan ibu dan suara adiknya yang cerewet.

Namun, lambat laun ia belajar. Dari sopir kantor, ia mengenal seloko Jambi. Dari Bu Rusmi, tetangga sebelah, ia diajari memasak gulai tempoyak. Walaupun ia lebih suka makan buah duriannya langsung. Dari rekan kerja, ia ikut jalan sore ke Danau Sipin atau berbelanja di Pasar Angso Duo.

Dan yang paling menenangkan, Sungai Batanghari. Setiap sore, ia suka duduk di tepinya, memandang air cokelat keemasan yang mengalir pelan. Perahu kecil lewat, orang-orang mancing, burung camar melintas rendah. Ada ketenangan aneh di sana, seolah sungai itu mau mendengar keluhnya tanpa banyak tanya.

Suatu sore, Bu Rusmi berkata sambil menyeruput kopi:
"Orang sini percaya, siapa pun yang pernah hidup di tepi Batanghari, suatu saat pasti kembali lagi. Air Batanghari itu mengikat."

Ayu tersenyum, menganggapnya mitos. Tetapi di hatinya, ucapan itu menancap seperti tanda kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun