Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Jiwa Maretta

1 Juli 2022   10:07 Diperbarui: 22 Februari 2023   10:47 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setahun sebelumnya, tahun 2021, Maretta 20 tahun. 

 "Aku tuh pengagum Maretta, senyum dan sorot matanya  misterius. Unik , cantik. Introvertnya,  malah bikin penasaran," Don, teman kuliahnya, berkomentar tentang Maretta. Saat diskusi kelompok,setelah pandemi melandai. Kuliah offline  mulai berjalan.

Maretta,  20 tahun. Tak banyak bicara, tidak  seperti kebanyakan remaja. Berwajah lembut , tak pernah punya kekasih , sulit didekati. Tinggal sendiri di sebuah rumah di kawasan sepi utara kota Bandung. Masih kuliah di jurusan Desain Interior.

"Dari dulu sudah niat mengajaknya  masuk kelompok kita. Pasti karya kita bakalan booming, dengan adanya Maretta....Ide-idenya super brillian....,out of the box, segala yang tak terpikirkan oleh kebanyakan orang... bisa mendongkrak nilai  tuh"Nayla menimpali.

"Boleh juga, siapa tahu kita bisa mencairkan sikap bekunya itu. Kita bisa  sesekali  ke rumahnya. Setuju," Katrin penuh semangat."Betul, penasaran juga ."

"Pernah dengar , sebelum ayah ibunya meninggal karena Covid, Maretta sempat jadi pasien psikiater.... Aku tidak peduli, ...Aku ngefans banget padanya," Don berbisik.

"Cieee... kami mendukunglah,"timpal teman-temannya. 

Sesuai rencana , kelompok Don, Katrin, dan Nayla bertambah  satu, Maretta. Sama-sama menggarap tugas membuat desain interior  sebuah resto. Mereka bekerja di rumah Maretta.

Di lantai dua tempat mereka bekerja. Ada sebuah lukisan  tua. Jelas lukisan ini produk 1950an, tertulis  di kiri bawah. Seorang wanita. Kebaya  batik , bermotif bunga-bunga dan daun, warna merah muda dan ungu. Modelnya lumayan kuno, bawahannya  lilitan kain batik, dan selendang menutupi sebagian rambutnya. Rambutnya panjang dikepang dua.

"Ini pasti lukisan  potret leluhurmu ya Retta, mirip banget denganmu," Don tampak antusias mengamati lukisan potret itu. 

Maretta tersenyum," Tau aja, betul sih . Itu memang nenek buyutku.... "

Lima tahun sebelumnya, 2017. Maretta 16 tahun.

"Ibu , aku sedang jatuh cinta  pada seorang pemuda. Tapi dia di tempat yang jauh.... Aku ingin kenalkan ibu padanya....Kalau mau ketemu dia, harus tengah malam, pas bulan purnama. Lewat jendela kamar...., "Maretta menuturkan  suara hati kepada ibundanya terkasih. 

Ibundanya, terperangah. Sangat terkejut, bak tertimpa reruntuhan yang tak terlihat. Jantungnya berdebar keras, namun berjuang keras untuk tetap tenang. Berkali kali Maretta mengisahkan seseorang yang ibunya tak bisa melihatnya. Pastinya, sosok mahluk dunia lain, dari dimensi yang berbeda.

 Itulah awal mula , hingga ibunya memutuskan mengajak   Maretta  berobat  kepada  seorang psikiater. Pecah tangisan ibundanya, setelah dokter jiwa itu menyebut kata  Skizhoprenia,  vonis yang terucap bak sambaran petir  pada siang terang cerah .

Semakin Maretta memberontak untuk tidak dibawa ke Psikiater, semakin keras keluarganya memaksa. Di hadapan keluarga terpaksa ia menenggak obat-obatan. Namun ketika tak ada yg mengawasi, ia membuang obat-obatan itu. 

Maretta menjadi kian introvert, tertekan oleh rasa malu. Pedih karena  menjadi sorotan dan sasaran cemooh, dari beberapa  yang tahu  rutinitasnya  berkonsultasi  dengan psikiater. Lagi-lagi, dokter mengatakan, jiwa Maretta masih sakit, sangat sakit. Pikirannya terganggu. Maretta memiliki dunia khayal, serta tokoh-tokoh yang ia ciptakan sendiri.  Seperti dongengan. 

"Sepertinya putri ibu juga terobsesi dongeng dan khayal. Putri ibu kutu buku , penggemar film-film  fantasi.... Hobi melukisnya bagus, namun jadi kurang bergaul di luar sana.... ," psikiaternya memberi saran. 

Ibunya kerap menahan sedih dan tangis, kerap berpikir keras.  Rasanya tak pernah ada yang salah dalam mengasuh putri kesayangannya itu. Semua baik-baik saja. Siang malam ia berpikir, merenungi, apa yang salah dalam mengasuh  gadis cantiknya itu. Apa yang harus ia perbaiki demi putri tersayangnya. 

Tiga tahun sebelumnya, 2019. Maretta 18 tahun. 

Satu malam, Maretta minta ibunya menemani di kamarnya sebelum tidur. Menatap semesta dari balik bingkai jendela. Sang ibu , dengan ketulusan kasih sayang, segera saja melewati malam di kamar anak gadis cantiknya. 

Di luar sana, purnama  menebar benderang keemasan . Suara unggas malam  bersahutan. Gumpalan awan tipis  menyembuyikan kerlip bintang. Takjub  mereka berdua  menatap malam. Semilir semerbak wangi bunga dari taman belakang.  bunga sedap malam, melati  thailand  , dan cempaka kesukaan  Maretta sedang marak bersemi.

Larut malam.  Mereka, ibu dan anak,  merebahkan  tubuh di atas pembaringan, setelah memadamkan lampu. Dalam hening, sesekali  terdengar unggas malam bersahutan. Wanita  berusia jelang paruh baya ini memperbaiki selimut putrinya yang sudah mulai lelap. Membelai keningnya dengan penuh sayang. Seraya memanjatkan doa, agar jiwa putri  tercintanya  sehat kembali seperti  sediakala. 

Matanya mulai  terpejam oleh rasa kantuk . Malam kian larut, semakin lelap dalam tidur.....  

Belum begitu lama, entah kenapa ibundanya seketika  kembali terjaga. Ada suara aneh, ada angin berhembus , dan benderang sinar. Kembali ibunda Maretta terduduk. Ada yang  aneh. Terkejut  , heran, bingung .... saat membuka mata selebar  mungkin, ia membelalakkan kedua matanya. 

 Mereka berdua tidak lagi berada dalam sebuah kamar. Tempat asing. Ini pasti mimpi, ia membatin. 

Lebih terkejut lagi , tiba-tiba  ada sosok lelaki muda duduk di hadapan mereka. Wajahnya menampakkan keramahan, ekspresi bersahabat. Senyumnya terkembang  sambil menatap ke dua wanita itu silih berganti. Menatap Maretta dan ibunya  dengan heran. 

"Kandita? Surprise..., tumben, ajaib, kamu datang  tidak sendirian..... Siapa yang kau ajak itu?" lelaki berwajah  itu  menyapanya.

"Ini ibuku Pak...., sengaja kuajak ibu. Karena  aku ingin ia kenal bapak. Bukankah sebetulnya ,  aku pertama kenal dan ketemu bapak 20 tahun silam. Waktu itu  bapak kan masih belia..... Aku suka cerita kepada ibuku, tentang bapak.... Tapi disangka aku sakit jiwa... Tapi kan itu bapak di masa silam, waktu bapak muda......  Sekarang ini kan beda,  bapak sudah punya putra......Usia bapak kan sudah tambah 20 ..... Ya beda...  Aku ingin ibuku tahu...., tentang bapak...." jawab  Maretta .

"Ibundanya Kandita.... Salam hormat saya  buat ibu. Oya Kandita....., dulu ...waktu aku masih muda, sebetulnya aku jatuh cinta pada kamu.... Kamu itu keajaiban, mahluk asing  yang hanya aku bisa melihatmu. Orang lain tidak. Kita berasal dari dua dimensi aneh, dimensi waktu yang berbeda. Ibu, dan Kandita..... Sore ini  aku ingin  menunjukkan  ini..... Perhatikan, ini lukisan karyaku sendiri , potret dirimu..., karena aku mengagumi...kamu," lelaki itu mengakui perasaannya di masa silam. 

Ada sebuah lukisan terpajang, wajah Maretta , dalam lukisan itu. 

Ibunda Maretta ketakutan. Ia mencubiti tangannya. Sekaligus ia terpana, lukisan itu mirip dengan Maretta. Lebih aneh lagi, ia melihat Maretta mengenakan kostum entah darimana, kebaya  klasik. Dan motif batik . 

"Maretta.... Apakah ibu sedang mimpi? Kita ini ada dimana Nak?," bisiknya di telinga anaknya. Tubuhnya gemetar, rasa takut  luar biasa. "Lelaki aneh itu memanggilmu Kandita..... Namamu Maretta bukan?  Tolong  jelaskan, cara supaya kita bangun dari mimpi ini.."

"Bukan  ibu, ini bukan mimpi bu. Ibu sedang terbawa aku, perjalanan malam purnama. Ini lelaki yang pernah aku ceritakan kepada ibu. Aku dulu jatuh cinta pada bapak ini, tapi itu puluhan tahun silam.... Dulu waktu  umurnya  tidak jauh dari aku.  Makanya aku suka dia.... Waktu muda , dia ganteng bu,  tapi sekarang beda..... Sekarang dia sudah menua, punya anak pula....Lihat  ke sebelah sana bu , ada anak lelaki, lihat   ABG  itu....," Maretta menunjuk  remaja lelaki  di sudut yang lain ,  tengah  memandangi mereka.

Ibunda Maretta masih terpana dalam  kebingungan.  Remaja itu mendekati Maretta  lalu menghormati sambil membungkuk dan memberi salam. 

"Dewiku, kamu itu  cinta pertamaku," ABG lelaki itu berbisik.  Ibu Maretta terperangah .

"Astaga, apa-apaan ini. Ada lelaki  tua dan bocahnya yang masih umur 11 atau 12 tahun itu, mereka  naksir anak gadisku?!" semakin bingung dan menahan amarah, ibunda Maretta berkata dengan nada tinggi.

" Sabar buuuu. Kita ini  sedang ada di masa silam .... Sekarang aku mau kasih tunjuk sesuatu,"Maretta menenangkan ibunya.  Tangannya menarik  ibunya dengan lembut. 

Mereka tiba-tiba berkelebat , dan  berubah duduk di lain tempat. Ada pemuda lain menyambut mereka dengan senyuman.

"Ibu, ini bocah lelaki tadi, umurnya sekarang sudah  25.  Bapaknya sudah wafat," Maretta berbisik di telinga ibunya.

"Selamat malam  Dewiku , Kandita Dewi,........ ini malam bulan purnama yang indah. Malam ini kamu tidak sendiri, mengajak ibu lagi? Heran, umurmu tidak menua, tidak berubah, ibumu juga. Masih seperti belasan tahun lalu ya...... Selalu kangen menunggu malam-malam pertemuan dengan kamu....., selalu tidak sabar menantimu......" pemuda  aneh itu tampak manis dan ramah. 

"Ya ampun, apa-apaan ini?! Ini mimpi buruk..... Ya Tuhan, aku ingin segera bangun dari mimpi ini," tukas ibunya.

"Ssst, tenang Bu. Lihat  dan dengar , dia mengajakku bicara,"bisik Maretta. 

"Kandita Dewi, sudah lama sekali kamu menghilang! Kenapa?  Akhirnya kamu hadir lagi, sebagai  sahabat. Anehnya, kenapa wajahmu tetap belia...., "matanya berbinar atas kehadiran Maretta.

"Mas kan suka menggubah lagu. Boleh buatkan lagu tentang aku dan pertemuan kita ini, sebagai kenangan,"Maretta merayu dengan bahasa santun dan manis.

"Pasti, pasti, pertemuan dengan kamu adalah keajaiban.... Akan aku abadikan dalam karya. Dalam syair dan nada....," pria itu tersenyum ramah. "Persahabatan kita, pertemuan kita, hanya kita  yang tahu, juga almarhum Bapak...... ,rahasia ini, terlalu indah untuk  dilupakan."

Belum selesai mereka berbincang, kembali Maretta  menarik tangan ibunya sekelebat mereka bergerak. 

"Ibu, kita tak punya banyak waktu. Ayo ikut,  kita datangi pembuat patung dan  seorang indigo pembuat illustrasi. Mereka bisa melihat aku ibu. Ibu juga harus saksikan  perjalanan ini.....Agar ibu tak lagi memaksaku minum obat-obat dokter itu..... ," Maretta membawa ibunya ke berbagai tempat, menjumpai berbagai manusia, menembus zaman. Meski ibundanya menolak, Maretta terus memaksa. 

Malam kian larut, wanita  jelang paruh baya itu terjaga. Sudah lewat tengah malam. Entah mengapa, saat terjaga dari mimpi aneh itu, tubuhnya berasa penat. 

"Maretta, Maretta.... maaf ibu membangunkanmu.... Ibu takut, barusan  ibu mimpi aneh......!" ujarnya sambil menyalakan lampu. 

Maretta duduk   dan tersenyum. Lalu memeluk ibunya. 

"Ibu ... pasti mimpi kuajak ke masa silam, menemui banyak orang aneh dan banyak tempat?" Maretta menatap ibunya.

"Betul,lho.... Kenapa bisa....?"

"Karena itu bukan mimpi bu. Sengaja kuajak ibu. Karena aku ingin ada saksi perjalananku ke masa silam....., supaya ibu tak lagi memaksaku  makan pil-pil dari  psikiater itu......"

Dua tahun sebelumnya, Februari 2020 

Lukisan potret diri  menyerupai Maretta dijual di pameran lukisan antik. Meski mahal, mereka membeli lukisan itu. Lukisan yang pernah mereka berdua lihat di perjalanan malam mereka menuju masa silam.

 Di pasar buku  kawasan Jalan Palasari Kota Bandung mereka  berdua sempat berburu sebuah buku. Buku tentang penampakan hantu, ditulis sang indigo telah lama  terbit. Mereka membelinya di pasar loak buku tua. Ada sketsa wajah hantu Kandita.  Penulisnya membuat berbagai sketsa penampakan mahluk halus yang ia jumpai, semua buruk rupa menyeramkan. Kecuali satu, sosok hantu bernama Kandita, yang menurutnya datang untuk minta dibuatkan sketsa wajahnya. Satu-satunya  hantu cantik  dalam buku tersebut. 

Di sebuah kota kecil, mereka menemukan toko antik  menjual patung Dewi Kandi. Wajah Maretta. Dewi Kandi , entah semacam mitos atau legenda, yang menurut warga kota  kecil itu  pernah menampakkan diri di sekitar mata air , dan gua dekat danau. Pembuat patung adalah sesepuh desa yang pernah menyaksikannya.  

Lukisan  itu  akhirnya terpajang di rumahnya. Ayahnya sempat heran, lagi-lagi mereka berdua mengatakan, itu lukisan baru yang dipajang dalam pigura tua, dan ditulis tahun 50 an, suaya terkesan antik. Ayahnya juga tak pernah engeh kalau patung  wanita berkebaya dengan kerudung menjuntai itu menyerupai Maretta. Apalagi buku dari pasar loak itu, mereka menyembunyikan dengan rapih. 

Kepada semua orang   Maretta selalu mengatakan , itu lukisan nenek buyutnya. Padahal hanya ia dan ibundanya yang tahu, seseorang  melukis wajahnya. sebagai tanda sayang. Seseorang dari masa silam. Dan mereka takkan pernah menceritakan kepada siapapun, karena tak ingin di anggap sakit jiwa. Rahasia itu tetap tersimpan rapih dalam benak mereka. 

Lagu tentang penampakan jelmaan wanita misteri, telah tercipta. Maretta memperdengarkanya kepada ibunya. Dan sosok yang ibunda Maretta  pernah saksikan di perjalanan malam  yang aneh itu memang sosok yang ada di dunia nyata. Hanya saja sekarang sudah belasan tahun lebih tua dari usia Maretta. Ayahnya seorang pelukis  kenamaan, dan lukisan itu memang karya ayahnya. 

"Aku tidak gila kan bu," Maretta membenamkan wajahnya dalam dekapan ibunya. Dengan berurai airmata , wanita itu membenamkan wajah putrinya ke dalam pelukannya. Rasa sesal  luar biasa, karena memaksa putrinya menenggak obat-obatan kimia itu. 

"Maaf ya Nak.....  itu fenomena aneh, yang tak masuk akal. Tapi kau buktikan semuanya kepada ibu, perjuanganmu itu. Membingungkan, sangat membingungkan. Bukti-bukti lukisan itu, lirik lagu yang tercipta sesuai yang ia janjikan. Patung dari pembuat ara yang kita datangi, sampai sketsa  wajahmu dalam pria indigo yang kita datangi saat itu . Kita berburu  buku itu  di toko buku  terkini, herannya tak ada. Malah ketemunya di pasar loak , dan itu wajahmu.... Ayo simpan rahasia ini Nak, jangan sammpai kau harus menenggak lagi obat-obatan itu.....,"ibunya mendekap putrinya erat-erat. 

"Aku tak pernah memahami, apa yang tengah aku lakukan.... Kadang ada yang menganggap aku  mahluk halus, hantu Kandita..... Padahal bukan. Aku  ini kan manusia bu, bukan mahluk halus,  aku ini kan Maretta  anak ibu..... "

Dua tahun sebelumnya, Mei 2020

Badai pandemi  Covid merenggut nyawa ibu ayah Maretta . Kesedihan luar biasa membuatnya semakin tertutup. Ia berusaha bangkit dari keterpurukan. Tak pernah mudah untuk menjaga hati dan pikirannya, agar tetap sehat dan kuat. Tapi  ia memiliki daya juang dan ketabahan. 

Tahun 2022

Bersyukur  Don hadir dalam hidupnya, menerima kekurangan Maretta sebagai eks pasien Psikiater.  

Pada sebuah malam, Don terkejut. Di kamarnya,  Maretta  tiba-tiba hadir. Padahal  jendela pintu semua terkunci. 

"Selamat bersiap ujian skripsi sayang. Terimakasih Don, untuk tidak menganggapku gila... Aku menunggu lamaranmu. Inilah aku yang sebenarnya," suara Maretta terdengar jelas, sosoknya juga jelas duduk di sebuah kursi. 

 Namun tiba-tiba  saja Maretta menghilang,  seakan ditelan kabut.   

Esoknya Don terkesiap,  karena Maretta mengakui yang datang tadi malam memang dirinya. Padahal ia belu menanyakan apa-apa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun