"Kandita Dewi, sudah lama sekali kamu menghilang! Kenapa?  Akhirnya kamu hadir lagi, sebagai  sahabat. Anehnya, kenapa wajahmu tetap belia...., "matanya berbinar atas kehadiran Maretta.
"Mas kan suka menggubah lagu. Boleh buatkan lagu tentang aku dan pertemuan kita ini, sebagai kenangan,"Maretta merayu dengan bahasa santun dan manis.
"Pasti, pasti, pertemuan dengan kamu adalah keajaiban.... Akan aku abadikan dalam karya. Dalam syair dan nada....," pria itu tersenyum ramah. "Persahabatan kita, pertemuan kita, hanya kita  yang tahu, juga almarhum Bapak...... ,rahasia ini, terlalu indah untuk  dilupakan."
Belum selesai mereka berbincang, kembali Maretta  menarik tangan ibunya sekelebat mereka bergerak.Â
"Ibu, kita tak punya banyak waktu. Ayo ikut,  kita datangi pembuat patung dan  seorang indigo pembuat illustrasi. Mereka bisa melihat aku ibu. Ibu juga harus saksikan  perjalanan ini.....Agar ibu tak lagi memaksaku minum obat-obat dokter itu..... ," Maretta membawa ibunya ke berbagai tempat, menjumpai berbagai manusia, menembus zaman. Meski ibundanya menolak, Maretta terus memaksa.Â
Malam kian larut, wanita  jelang paruh baya itu terjaga. Sudah lewat tengah malam. Entah mengapa, saat terjaga dari mimpi aneh itu, tubuhnya berasa penat.Â
"Maretta, Maretta.... maaf ibu membangunkanmu.... Ibu takut, barusan  ibu mimpi aneh......!" ujarnya sambil menyalakan lampu.Â
Maretta duduk  dan tersenyum. Lalu memeluk ibunya.Â
"Ibu ... pasti mimpi kuajak ke masa silam, menemui banyak orang aneh dan banyak tempat?" Maretta menatap ibunya.
"Betul,lho.... Kenapa bisa....?"
"Karena itu bukan mimpi bu. Sengaja kuajak ibu. Karena aku ingin ada saksi perjalananku ke masa silam....., supaya ibu tak lagi memaksaku  makan pil-pil dari  psikiater itu......"