Maretta tersenyum," Tau aja, betul sih . Itu memang nenek buyutku.... "
Lima tahun sebelumnya, 2017. Maretta 16 tahun.
"Ibu , aku sedang jatuh cinta  pada seorang pemuda. Tapi dia di tempat yang jauh.... Aku ingin kenalkan ibu padanya....Kalau mau ketemu dia, harus tengah malam, pas bulan purnama. Lewat jendela kamar...., "Maretta menuturkan  suara hati kepada ibundanya terkasih.Â
Ibundanya, terperangah. Sangat terkejut, bak tertimpa reruntuhan yang tak terlihat. Jantungnya berdebar keras, namun berjuang keras untuk tetap tenang. Berkali kali Maretta mengisahkan seseorang yang ibunya tak bisa melihatnya. Pastinya, sosok mahluk dunia lain, dari dimensi yang berbeda.
 Itulah awal mula , hingga ibunya memutuskan mengajak  Maretta  berobat  kepada  seorang psikiater. Pecah tangisan ibundanya, setelah dokter jiwa itu menyebut kata  Skizhoprenia,  vonis yang terucap bak sambaran petir  pada siang terang cerah .
Semakin Maretta memberontak untuk tidak dibawa ke Psikiater, semakin keras keluarganya memaksa. Di hadapan keluarga terpaksa ia menenggak obat-obatan. Namun ketika tak ada yg mengawasi, ia membuang obat-obatan itu.Â
Maretta menjadi kian introvert, tertekan oleh rasa malu. Pedih karena  menjadi sorotan dan sasaran cemooh, dari beberapa  yang tahu  rutinitasnya  berkonsultasi  dengan psikiater. Lagi-lagi, dokter mengatakan, jiwa Maretta masih sakit, sangat sakit. Pikirannya terganggu. Maretta memiliki dunia khayal, serta tokoh-tokoh yang ia ciptakan sendiri.  Seperti dongengan.Â
"Sepertinya putri ibu juga terobsesi dongeng dan khayal. Putri ibu kutu buku , penggemar film-film  fantasi.... Hobi melukisnya bagus, namun jadi kurang bergaul di luar sana.... ," psikiaternya memberi saran.Â
Ibunya kerap menahan sedih dan tangis, kerap berpikir keras.  Rasanya tak pernah ada yang salah dalam mengasuh putri kesayangannya itu. Semua baik-baik saja. Siang malam ia berpikir, merenungi, apa yang salah dalam mengasuh  gadis cantiknya itu. Apa yang harus ia perbaiki demi putri tersayangnya.Â
Tiga tahun sebelumnya, 2019. Maretta 18 tahun.Â
Satu malam, Maretta minta ibunya menemani di kamarnya sebelum tidur. Menatap semesta dari balik bingkai jendela. Sang ibu , dengan ketulusan kasih sayang, segera saja melewati malam di kamar anak gadis cantiknya.Â