Mohon tunggu...
Mas Imam
Mas Imam Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

..ketika HATI bersuara dan RASA menuliskannya..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jangan Lagi Ada Anak Sepertiku!

26 Januari 2016   08:09 Diperbarui: 26 Januari 2016   08:17 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu terbunuh dalam histeria amuk massa

Meski tak tahu nama, namun rupa pembunuh lekat teringat

Ayah disalahkan, dan merasa bersalah atas kepergian Ibu

Ayah terus tenggelam dalam duka

 

Kami semua berlari, meninggalkan sejauh mungkin masa lalu


Masa lalu adalah neraka

Kami terus berlari, meninggalkan jilatan pedih masa lalu

Masa lalu adalah hantu yang memburu

 

Aku tak peduli siapa benar siapa salah

Yang jelas aku, kakakku, dan adikku menderita karenanya

Tanggung derita atas hal yang tidak terpahami

Terusir mengusung nganga luka

Sembunyikan diri, siksa hening dalam pikuk keramaian

-----

Aku hidup sebagai manusia tersisa

Manusia yang tumbuh dengan dendam terbawa

Tapi apalah arti hidup ini, hidupku kini?

Ibu lama tiada, terbenam getir sejarah

Ayah tiada dalam nista lumuran cap bersalah, salah tanpa pengadilan untuknya, untuk mereka

Apalah bahagia kini jika dekap lara terus mengiringi?

 

Memaafkan itu berat, loncat perih luka terinjak, ingin berontak!

Pantik pedih terus mengusik, memanggil semayam dendam

Ronta amarah ingin terlontar, ingin membuta, bebas dari jerat peduli  

Lepas mencari, mencari rupa-rupa itu, rupa manusia keji

Luka mencari ‘saudara’nya, luka memanggil luka yang lain!

Nafas ingin memaafkan, namun tiap hela adalah ulur, ulur anak rantai pembalasan terencana!

-----

Dua puluh tahun berlalu

Semua itu adalah tempa, kenangan itu adalah pahatan, menjadikan diriku kini

Aku adalah amarah dalam gairah, bibit bengis

Bengis yang tertawa jika mereka merasa derita serupa! Haha!

-----

Dua puluh tahun berlalu

Kadang diselanya, ada jeda ku berfikir

Berfikir yang kan terjadi dan berubah jika ku buang semua hina, membalas mereka semua!

Apakah lantas nafsu terpuaskan? Bagaimanakah anak-anak mereka kelak? Apalagi yang akan terjadi?

-----

Hati adalah misteri, tak terukur

Namun hati nyata adanya, luas meruang, teraba oleh jiwa

Hati selamanya mengenali, membalas tulus tawa anak-anak

 

Aku kini berpunya anak

Tak ingin anakku mengalami derita serupa denganku

-----

Ku mulai muak, ingin membuang semua gelisah amarah ini

Tiada nafsu untuk membahas terlebih membalas

Tak ingin anak mereka mengarak dendam berulang

 

Lapang maaf perlahan menjadikanku utuh kembali sebagai manusia berbudi

Bukan maaf atas salah ayah atau ulah mereka, aku tidak lagi peduli semua itu

Namun maaf pada diri sendiri, maaf untuk rintang jalan kenyataan

Maaf pembuka hati menerima jalan cerita yang terjadi

Biarlah segala kelam cerita terbakar matiku, berganti taburan abu kedamaian

                       ***

Puisi fiksi yang terinspirasi sekaligus keprihatinan atas kasus pembakaran rumah aanggota/pengikut GAFATAR. Puisi berpasangan; satu tentang Dendam Anak Korban Pembakaran, dan satu lagi (ini) tentang dampak psikis pada korban yang mengalaminya. Dua puisi tsb berpesan bagi Bangsa ini untuk mengutamakan jalan dialog, musyarawah, tanpa kekerasan. Kekerasan hanya akan menghadirkan luka dan rantai kekerasan yang lain.

_______________

Puisi ini termasuk dalam Kumpulan Puisi ANTI KEKERASAN

Kumpulan tulisan, puisi, sajak tema lain: BIJAK KEHIDUPAN |  BUDAYA DAN SASTRA  | CINTA DAN PENDIDIKAN  | EKONOMI  | HUKUM  |  KESEHATAN  | LINGKUNGAN ALAM  | MUSIM  | POLITIK  | URBAN  |

sumber ilustrasi foto & foto |

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun