Coba saja kita perhatikan ke ruang pendidikan. Mata pelajaran tidak hanya "Bahasa Indonesia". Namun, begitu banyak bahan ajar lainnya yang mesti diikuti dan dijalani semanpu mungkin oleh setiap peserta didik, baik di sekolah maupun di bangku kuliah. Seakan-akan bahasa Indonesia tidak memiliki modal di dalam berkontribusi untuk membuat semua itu lebih jelas. Padahal, tanpa adanya bahasa Indonesia, mustahil semua itu bisa terwujud.Â
Apabila mereka sadar akan makna dan nilai bahasa nasional kita ini, jangankan benda-benda besar yang dapat diutarakan dalam bahasa Indonesia, bahkan yang terkecil sekalipun seperti bakteri atau kuman dan debu juga dapat dibahas dengan lugas. Demikian juga ilmu Matematika misalnya. Tidak mungkin semua hal yang menyangkut dengannya diimplementasikan hanya dengan angka-angka belaka tetapi butuh sarana pencerahan, yaitu bahasa Indonesia.Â
Terbebani dengan Tata Bahasanya
Adakalanya sebagian siswa dan mahasiswa serta masyarakat kita sangat terbebani dengan aturan berbahasa. Padahal, justru dengan adanya aturan, penggunaan bahasa itu tidak semena-mena. Mengapa? Dalam bahasa Indonesia dikenal adanya bahasa yang baik, bahasa yang benar, dan bahasa yang baik dan benar. Bahkan, ada juga bahasa baku.Â
Itu semua memiliki aturan tersendiri. Kapan dan dimana kita harus menggunakan masing-masing jenis bahasa tersebut, itu yang mesti dipahami oleh pemakainya. Ada tempat dan kondisi tertentu yang hanya menggunakan bahasa yang baik walau tidak benar dari aturan atau tata bahasanya. Demikian juga jenis lainnya. Namun, karena dari awalnya sudah menganggap remeh dan tak mau mempelajarinya dengan betul, akhirnya masalah tata bahasa dijadikan alasan sebagai beban.Â
Misalnya pada saat mengisi BBM di SPBU. Di sini tidak mesti memakai bahasa yang benar, cukup menggunakan bahasa yang baik saja. Contoh: "Bang, pertalite berapa? " Begitu saja sudah memadai dan lawan bicara pun mengerti. Dengan demikian, sang pencari minyak ini tidak perlu mengungkapkannya dengan baik dan benar, seperti: "Bang, berapa harga minyak pertalite seliter sekarang? " Ini akan membuat gaduh keduanya.Â
Salah Kaprah
Kiranya kita sepakat bahwa manakala kita ingin ke negeri orang maka bahasa mereka harus kita pelajari terlebih dahulu, sehingga memudahkan diri kita di dalam beradaptasi dengan lingkungan tempat yang kita tuju. Namun, anehnya kita di sini salah kaprah. Untuk menghadapi kedatangan orang asing ke negara kita, mayoritasnya orang kitalah yang bergegas untuk belajar bahasa orang tersebut demi mudahnya penyambutan yang kita lakukan.Â
Sungguh pun ini bukan suatu hambatan tetapi tanpa kita sadari bahwa perilaku buruk sudah lumuri terhadap peradaban bangsa kita sendiri, khususnya dalam bidang bahasa yaitu bahasa Indonesia, yang telah diwariskan oleh para pejuang terdahulu. Sikap ini lagi-lagi sebenarnya telah dapat menjatuhkan harkat dan martabat bangsa kita.Â
Seharusnya merekalah yang wajib menekuni bahasa kita pada saat menjelang untuk menjelajahi negeri yang kita cintai ini. Dengan langkah ini kebermaknaan bahasa kita semakin dirasakan oleh orang lain dan bahasa kita terawat dengan baik. Jadi, kita tak perlu merasakan malu jika menjamu orang asing dengan bahasa kita sendiri, tapi pendatanglah yang semestinya bersikap arif apabila ingi pergi ke negeri orang.Â
Kesimpulan