Kebijakan ini memang tetap dijadikan fondamen sebagai pelajaran wajib. Dengan adanya sarana komunikasi nasional ini akan memudahkan pendidik dan peserta didik di dalam pembelajaran. Hal tersebut tentu tidak hanya tertumpu pada pelajaran bahasa Indonesia saja tetapi berlaku untuk semua mata pelajaran atau bidang studi yang diasuhnya.Â
Pembelajaran dan pendidikan terus saja bergulir seirama dengan putaran masa. Lantas..., apa yang terjadi bagi generasi kita di dalam menempuh pendidikannya itu yang setiap saat dikomunikasikan dengan bahasa Indonesia? Mampukah mereka memerankan bahasa Indonesia sebagai perisai di dalam kehidupannya? Kedua hal ini kadang kala membuat kita pilu jika menoleh terhadap apresiasi mereka akan bahasa negara sendiri.Â
Justru Jadi Spele dan Acuh
Suatu pengalaman menarik di dalam dunia berbahasa yang penulis peroleh melalui pembelajaran bahasa Indonesia khususnya. Kata pepatah, "Pengalaman adalah guru yang paling besar". Hal ini terbetik dalam puluhan tahun pembelajaran, baik di sekolah maupun di Perguruan Tinggi. Banyak siswa dan mahasiswa yang menganggap remeh atau spele terhadap bahasa Indonesia.Â
Kondisi ini menjadi suatu fenomenal tersendiri di dalam pembelajan. Seolah-olah alat pencetus dan penyampaian ide ini gampang dan tidak perlu dipelajarinya lagi. Mereka beranggapan bahwa bahasa Indonesia sudah menjadi santapan harian, sejak di dalam rumah tangga, sekolah dan dalam pergaulannya. Dengan begitu, mereka acuh tak acuh terhadapnya. Orang Indonesia kok pelajari lagi bahasa Indonesia, gumamnya...!Â
Kalaupun pembelajaran bahasa Indonesia diikutinya, itu hanya sebatas lepas tanggung jawab saja dengan guru atau pengampunya. Apalagi menyangkut dengan nilai akhir yang akan tertuang dalam buku rapor atau kartu hasil studi (KHS). Jadi, bukan semata dianggapnya sebuah kewajiban yang mesti diimplementasikan di dalam kehidupannya.Â
Mudah Meniru
Suatu anggapan keliru bagi sebagian siswa dan mahasiswa bahwa bahasa itu mudah ditiru. Terlebih yang mereka pelajari adalah bahasa endatu mereka sendiri. Jika ada sesuatu yang ingin diselesaikan, tiruan adalah langkah pasti. Dengan begitu, buat apa menyusahkan diri dalam hal-hal yang memang menurut mereka sudah dimilikinya. Jika pun terdapat tugas-tugas yang wajib diemban, dengan begitu sigap dan mudah mengopi paste karya orang lain tanpa merasa berdosa.Â
Akhirnya, sungguh pun dirinya saban hari berada dalam penyajian ilmu bahasa, tetapi yang selalu diukir dalam dirinya dalah jiwa-jiwa konsumtif bukan jiwa produktif. Ini merupakan sesuatu yang sangat mengecewakan dan memprihatinkan sebenarnya. Apalagi perilaku semacam ini berlaku pada performa yang terdidik.Â
Kurang Meresapi Makna Bahasa Indonesia
Sudah jatuh ditimpa tangga. Begitulah kira-kira nasib sang generasi bangsa Indonesia saat ini. Mereka semakin tidak menyadari dan meresapi keberadaan dan kebermaknaannya bagi dirinya dan orang lain. Padahal, dengan adanya bahasa Indonesia, mereka akan dapat membawa diri ke arah yang lebih berhasil dan bermartabat.Â