Mohon tunggu...
Marlianto
Marlianto Mohon Tunggu... Buruh - Apa...

Mencari titik akhir

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Warisan Leluhur (Hal 14)

21 Desember 2019   06:19 Diperbarui: 21 Desember 2019   06:23 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sebenarnya keberangkatan Bagasiwi yang hendak mengirim sendiri paket itu ke negeri Koetoenkzeblach, berusaha dicegah istri dan anaknya.

Terdengar suara isterinya berseru, "Kau sudah delapanpuluh empat tahun, Pakkk..! Sudah enam tahun pensiun..."

Bagasiwi sudah bertekad bulat, tidak ingin dihalangi, "Aku suntuk di rumah terus, pingin jalan-jalan...!"

Wajah isterinya berubah meradang, tidak kalah sengit menanggapinya, "Pingin jalan-jalan...?" Tiap hari, kau halan-halan, ngobrol sama rondo-rondo gatel itu, sambil seenaknya tanganmu gerayangi susu, bokong lalu selangkangan mereka. Pulang-pulang kantong uangmu mesti kosong, tapi celanamu penuh bercak lendirr .., apa itu kau sebut suntukkk.....!"

Raut muka Bagasiwi langsung merah padam, mata mendelik, mulut merengut.

 "Aku kangen kerja lagi...!" ucapnya perlahan dengan kepala tertunduk, dia mencari alasan lainnya.

Anaknya sangat hafal tabiat bapaknya, yang mata duitan, mencoba memancing, "Berapa imbalannya...?"

"Tidak pantaslah aku pasang harga, dia benar-benar minta tolong, ngasih sukarela saja..." jawab Bagasiwi

Merasa Bagasiwi menyembunyikan sesuatu, isterinya mulai jengkel, " Berapaaa..? Gratisss..!"

Didesak begitu, Bagasiwi merasa malu juga, akhirnya hampir berbisik menjawab,

"Tiga pian..."

Jawaban itu membuat mata ibu dan anak seketika melotot, lalu serempak menyahut, "Apa...!!"

Suasana seketika menjadi hening...

Anaknya yang mulai berkurang rasa terkejutnya berkata,

" Muatan apa yang akan Bapak kirim..?"

"Bukan masalah titipannya, tapi sobatku ini memang royal orangnya"

Isterinya yang sudah bisa menenangkan diri, dengan mengerutkan dahi tiba-tiba menyahut,

"Tidak mungkinnn...!"

Anaknya turut bertanya, "Siapa kawan Bapak itu..?"

Bagasiwi sadar, dia tidak bisa lagi mengelak, sambil menghembus nafas panjang menjawab,

"Muatannya sangat rahasia. Aku sendiri tidak boleh tahu."

Kemudian dia menceritakan pertemuannya dengan Kakek Shoegiyono.

Setelah mendengar cerita itu, isteri dan anaknya terdiam, seperti sedang merenungkan sesuatu.

"Mengapa Bapak menerimanya...?" keluh isterinya

Bagasiwi hanya bisa menghembus nafas panjang, tergurat rasa sesal di wajahnya.

Akhirnya anaknya bicara, "Kita sudah tidak bisa menolak lagi. Uang sudah diterima berarti sudah sepakat. Apapun resikonya harus dijalani."

Bagasiwi menatap anaknya, "Perjalanan ini pergi pulang cuman empat hari. Aku dan Salwan bisa melakukannya. Dan jangan ada orang kita diam-diam ikut mengawalku." 

Dengan berat hati isteri dan anaknya menuruti  kemauannya, meskipun masih menggumpal rasa penasaran didada mereka.

Sesuai perintah, hanya berdua saja dengan wakil kepala regu yang bernama Salwan sebagai kusir, Bagasiwi pun sudah duduk disebelahnya. Mereka berangkat menggunakan kereta yang ditarik dua ekor kuda berbendera gambar kuda terbang yang berkibar-kibar dibelakangnya. Mereka mengambil jalan memutar, dengan kecepatan laju kereta sewajarnya. Ternyata jalanan inipun cukup ramai, sepertinya semua  pengendara sedang menghindari lewat jalan utama. Tentu saja aktifnya kembali Bagasiwi, telah menarik perhatian kenalan yang sempat bertemu, sapaan dan pertanyaan bertubi-tubi terlontar, tapi dengan cerdiknya Bagasiwi menjawab, hingga tidak timbul kecurigaan. 

Ketika sampai di pertigaan, di salah satu tepi jalan yang menuju arah utara, Bagasiwi melihat dibawah pohon randu kembar, ada dua laki-laki duduk dipunggung kuda sedang menantinya. Mereka berseragam karyawan Kuda Terbang, sama seperti yang dia kenakan.

Ketika kereta Bagasiwi melewati dua penunggang itu, tidak ada tegur sapa diantara mereka, hanya pandangan mata. Sikap dua penunggang itupun acuh tak acuh, namun sudah menghela kudanya  mengiringi laju kereta. Setelah berjalan cukup lama, dan tidak jauh lagi akan sampai di pintu gerbang sisi utara, mereka berhenti di depan penginapan Para Sahabat. Kereta kuda di parkir agak jauh, kemudian Bagasiwi dan anak buahnya serta dua penunggang kuda tadi, meninggalkan kereta, berjalan menuju kedai Para Sahabat.

Suasana lantai bawah kedai ini sangat ramai, apalagi dengan kemunculan Bagasiwi yang tiba-tiba telah membikin suasana lebih gempar. Setiap orang menyapa, mengajak ngobrol sesaat, hingga seorang pelayan dengan cepat meladeninya, memberi meja di pojok yang suasananya agak sepi.

Setelah mereka duduk di meja, Bagasiwi sempat bertanya,

"Bukankah wanita yang berjalan keluar bersama Ambakama tadi, adalah si Dewi Kembang?"

"Ya..." jawab si pelayan. "Dia pengunjung khusus di lantai dua. Ada pertemuan para d'han disana."

Bagasiwi hanya mengangkat alisnya, menganggukkan kepala, lalu berkata,

"Aku pesan makanan dan minuman seperti biasanya, buatkan untuk kami berempat. Aku lagi buru-buru, waktuku hanya setengah jam, bisakah kau membuatnya lebih cepat?"

Si pelayan mengernyitkan dahi, tapi setelah menerima tip yang menurutnya berlebih-lebih, diapun bergegas meninggalkan meja Bagasiwi, menyiapkan pesanan.

Pesanan akhirnya telah dihidangkan. Karena perintahnya tidak boleh melebihi setengah jam, maka makanan itu dengan cepat dilahap habis oleh mereka. Tidak sampai setengah jam mereka sudah meninggalkan kedai, kembali ke kereta.

Ketika kereta kuda itu berjalan, Bagasiwi merasakan kalau didalam kereta sekarang tidak kosong lagi, sudah ada muatannya. Tapi entah apa muatan itu? Dia tidak boleh tahu.

 Disaat tengah hari, mereka sampai di pintu gerbang sisi utara kota Yomastair. Tampak delapan petugas berjaga disana. Dua orang bertugas menarik pungutan dari para pelintas gerbang. Didalam pos penjagaan yang letaknya tidak jauh dari pintu gerbang, sejumlah petugas lainnya berada, mereka sedang menunggu giliran jaga. Dan beberapa petugas lainnya sedang menghitung hasil pungutan shif jaga hari itu, nanti semua hasil akan dibagi rata kepada yang bertugas di hari itu, tentu saja setelah dipotong lebih dulu untuk bagian komandan.

Ada dua lajur pelintasan di pintu gerbang itu. Satu untuk jalur keluar, satunya lagi jalur masuk. Dua jalur saat ini keadaannya sedang penuh dengan antrian yang mengular. Macam-macam yang sedang mengantri disana, ada para pedagang, pelancong, berjalan kaki atau berkuda, ada iring-iringan kereta kuda, pedati, dan rombongan lainnya.

 Kereta Bagasiwi sendiri terjebak dalam situasi ini, dia berada ditengah-tengah jalur antrian keluar yang panjang. Sambil menggerutu dia turun dari kereta, berjalan dengan cepat, langkahnya lebar, menuju ke pos penjagaan. Dua petugas tampak sedang asik ngobrol,  sambil menyandar pada tiang, letaknya cukup jauh dari pintu pos yang tertutup. Mereka tidak memperhatikan kedatangan Bagasiwi, yang sudah berada di belakangnya.

Bagasiwi berdehem dengan keras mengejutkan dua petugas itu, seketika mereka menoleh ke asal suara tadi, raut wajah dan sikap mereka siap-siap mendamprat. Tapi Bagasiwi mendahului bertanya,

"Aku ingin ketemu Letnan Kelud Duwasa...!"

Kedua petugas itu terperanjat,  "Sungguh songong kakek ini...?" pikir mereka. Salah seorang tiba-tiba mendorong Bagasiwi, yang tidak menyangka sama sekali tindakan ini, dan menghempaskan tubuhnya yang renta itu ke arah dinding pos. Suara benturan itu keras sekali hingga menggetarkan dindingnya, juga serasa meremukkan tulang-tulang Bagasiwi.

"Kau siapa...!" hardik petugas itu, ludahnya muncrat menimpa pipi dan mata Bagasiwi, tangannya melintang menekan lehernya. Sedangkan tangan satunya dengan cepat sudah menelikung tangan Bagasiwi kebelakang. Petugas satunya meneliti dari ujung kaki sampai ujung rambut penampilan Bagasiwi, seorang kakek berbadan ringkih meski kelihatan masih tegap.

Bagasiwi mengerang-erang, suaranya hanya tersendat ditenggorokan, rasanya seperti dicekik, apalagi lengan yang ditelikung rasa sakitnya seakan mau lepas dari bahu.

"Kau orangnya Kuda Terbang?" seru petugas setelah meneliti penampilan Bagasiwi  

Bagasiwi yang ditekan lehernya, bernafas saja susah apalagi menjawab dengan kata-kata, maka dia hanya bisa menganggukan kepala, sambil menyumpah serapah dalam hati.

Petugas itu akhirnya benar-benar melepaskan telikungannya dan tekanan tangannya di leher Bagasiwi, lalu berkata dengan nada mengancam,

"Aku tidak pernah melihatmu, no bokis...!"

Bagasiwi yang sudah terbebas dari himpitan tubuh petugas itu, seolah tidak mendengar ucapan petugas tadi, dia benar-benar sudah meradang menerima perlakuan ini, mulutnya siap-siap meledakan makian,

"Jancookkk, diammpuutttt, assuuu, bedesss...,opo koen pingin di Papua kan!!"

Tapi dua petugas itu malah mesam-mesem mendengar umpatan itu, sambil berlagak mirip banci kaleng, tiba-tiba tangannya mencolek dagu Bagasiwi...satu kali, towel lagi...dua kali,

"Gue kagak takutttt ciieee...,gue kan bukan pramugari Garuda!!"

Pintu pos penjagaan mendadak dibuka dari dalam, muncul dua orang laki-laki berseragam sedang mengobrol diiringi suara tertawa-tawa, salah satunya berpangkat letnan, badannya besar hitam legam. Kalung berbentuk rantai tebal dan besar berbahan emas murni menggantung di leher, cincin akik menghiasi di setiap jemarinya dan betapa kagetnya dia melihat Bagasiwi berdiri disana,

"Daddy...sedang apa disini!!" serunya lalu bergegas mendekati Bagasiwi, tangannya melambai, pantatnya bergoyang saat berjalan dengan cepat, menerombol dua petugas tadi yang menghalangi jalannya, yang hampir terjengkang karena terobosan tiba-tiba dari si Letnan, yang begitu mendengar sambutan si Letnan itu, kagetnya bukan kepalang dan hanya bisa berdiri melongo terperangah, keringat dinginpun berkotos-kotos keluar dari pori-pori tubuh mereka yang mematung.

Sedangkan anak buah yang tadi bersamanya keluar dari dalam pos mulai curiga melihat kejanggalan sikap dua petugas itu, namun dia tidak bisa menebaknya, dan tidak ingin bertanya.

Sementara itu Bagasiwi hanya bisa menjelaskan dengan singkat kepada si Letnan, karena dirinya sedang terburu-buru, tanpa menyinggung perilaku menyakitkan dari dua petugas tadi.

Akhirnya si Letnan itu memanggil dua petugas yang masih mematung itu,

"Mungkin kalian belum mengenal, maklum karena beliau tidak pernah bepergian, beliau ini adalah pemilik jasa pengiriman Kuda Terbang, beliau adalah mertuaku."

Dua petugas itu dari tadi sudah menduga-duga, mendengar penjelasan si Letnan langsung berbarengan berteriak, "Siappp komandannn...!!"

Si Letnan mengerutkan keningnya, "Kalian woles sajalah, tidak perlu sok semangat gitu di depan mertuaku. Santuyyy..."

"Siappp komandannn...!!" bahkan hampir menjerit, mereka menjawab ucapan si Letnan

Si Letnan pun geleng-geleng kepala, lalu berbisik kepada Bagasiwi, sambil matanya melirik kearah petugas yang tadi mencekik dan menelikung Bagasiwi,

"Aku tertarik dengan dia, mungkin akan aku jadikan menantu..."

Bagasiwi menanggapinya dengan mengangkat kedua alis,

"Hmm..., moga-moga dia tidak menelikungmu."

Jawaban itu membuat si Letnan mengerutkan dahi, lagi-lagi menggelengkan kepala, lalu dengan lembengnya menyahut, "Daddy belum kenal dia sichhh...!"

Bagasiwi meresponnya dengan mengangkat bahu, sambil meringis menahan rasa sakitnya.

 "Kalian berdua kawal mertuaku ini keluar dari gerbang secepatnya. Beliau sedang terburu-buru." perintah si Letnan kepada dua petugas tadi yang masih berdiri dengan sikap tegak bagai patung.

"Siappp komandannn...!!" sambil mendongakkan kepala, mereka menjerit sampai suara mereka serak.

Bergegas dua petugas itu berbaris dengan tegap, lagaknya seperti petugas voorijder, sigap dan tangkas mengawal Bagasiwi yang sudah berjalan mendahului. Terdengar dari mulut dua petugas itu, suara meraung-raung mirip sirene, "Nguing...nguing...nguing...!"

Si Letnan hanya bisa bengong terheran-heran melihat tingkah polah dua anak buahnya,

"What's wrong whit them...?" tanya si Letnan kepada anak buah yang selama itu hanya berdiri dan masih belum hilang keheranannya melihat sikap dua petugas tadi.

Si Letnan memicingkan mata memandang langit, dia sepertinya sudah melupakan kejadian tadi, terlihat di bibirnya tersungging senyuman,

"Waktunya lunch..." ujarnya pada anak buahnya itu

Anak buahnya mengangguk.

"Aku pergi dulu..." ucap si Letnan

 "And after that...Loecintrong Loenyahh!" pekiknya dalam hati, tiba-tiba tubuhnya melonjak, melewati dua undakan, setengah berlari menuju kuda hitam besar yang di ikat di depan pos. Dia sudah tak sabar ingin segera bertemu si pemuda tampan, berkulit putih, tubuhnya tinggi semampai, dan sudah diberi persekot mahal. Di group WA si Letnan, pemuda ini dijuluki expertest of sedot, isunya sparring partnernya aja dengan kuda jantan. Kini saatnya melampiaskan hasrat, membuang hajat. Sedottt...

 Sementara itu dua petugas voorijder telah menggeber kecepatan larinya, diikuti kereta Bagasiwi dan dua penunggang dibelakangnya, meski harus mendapat umpatan, makian, sumpah serapah dari para pengantri yang lain. Tapi Bagasiwi yang dikawal dua voorijder itu benar-benar tak peduli.  Hingga hanya butuh waktu lima menit, kereta kuda Bagasiwi terbebas dari antrian dan sudah keluar dari pintu gerbang sisi utara,

Setelah mereka jauh dari pintu gerbang, keretanya berhenti sejenak, dan sebelum meneruskan perjalanannya, Bagasiwi mengucapkan terima kasih kepada dua petugas itu, yang langsung dibalas oleh mereka dengan menyalami tangan Bagasiwi, sambil berkali-kali meminta maaf.

Akan tetapi salah seorang petugas, entah kenapa tidak mau melepaskan tangan kanan Bagasiwi,  bahkan dirinya terhenyak menyaksikan tangannya yang keriput itu tiba-tiba telah ditarik dan menjadi rebutan dua petugas itu untuk diciumi, dijilati, dan dikulum. Tentu saja Bagasiwi jingkat karena kagetnya, dan berusaha menarik tangannya, tapi tangan itu seakan dijepit erat-erat. Makin lama Bagasiwi merasa jengah, jijik, nggilani.

Posisi Bagasiwi yang sedang duduk dikusir, letaknya agak diatas dua petugas itu, akibat ditarik paksa itu tubuhnya agak condong, hampir jatuh. Dia berusaha menarik lagi tangannya agar lepas, ternyata masih bergeming, hingga terjadilah saling tarik menarik dengan dua petugas itu. Akhirnya dengan jengkel dan geregetan, seketika itu sebelah tangan Bagasiwi meraih tongkat kayu mirip stick baseball, yang tergantung disampingnya, lalu dengan sekuat tenaga memukulkan berkali-kali tepat ke arah ubun-ubun dua petugas itu, terdengar bunyi tulang tengkorak retak dan muncratkan darah. Seketika mereka melepaskan tangan Bagasiwi.

Namun Bagasiwi seperti kesetanan, pukulannya tidak berhenti, kini tongkat itu malah dipegang dengan dua tangan, pukulannya semakin keras. Dua petugas itupun hanya bisa menjerit-jerit sambil menangkis dengan tangannya, tapi anehnya mereka tidak berusaha menjauh. Terdengar bunyi tulang lengan yang remuk patah. Belum merasa puas, Bagasiwi mengirim tendangan ke masing- masing wajah petugas itu, dan membuat mereka terlempar jatuh berguling-guling di tanah yang menjorok ke bawah dipenuhi semak dan rerumputan. Disana dua petugas itu tampak klenger berdarah-darah.

"Wong bejat, gendeng..." teriak Bagasiwi. Matanya memandang bengis dua tubuh berkelojotan mirip cacing kepanasan yang tersembunyi disemak-semak. Lalu dia memandang sekitar, hanya ada dirinya, kusir dan dua penunggang dibelakang yang cuek bebek. Nampaknya tidak ada orang lain yang menyaksikan kejadian ini. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin dirinya telah dihina dua petugas itu sebanyak dua kali. Siaalll....

Akhirnya dia perintahkan kusir meninggalkan tempat itu. Dia berharap dua petugas itu mampus, menjadi santapan binatang buas. Bibirnya tersenyum kecut, bila terngiang perkataan si Letnan yang juga menantunya itu, kalau salah satu petugas tadi akan diambil menantu. Tak sudi Bagasiwi bila cucunya punya suami macam itu.

Setelah melewati pintu gerbang utara kota Yomastair, akan bertemu tiga jalan yang masing-masing menuju ke arah barat, utara dan timur. Kereta Bagasiwi meneruskan lajunya ke arah barat, tidak banyak pejalan kaki dan pengendara ke arah ini, terlihat hanya beberapa saja. Setelah menyeberangi sebuah jembatan kayu, dan tiba di padang ilalang, maka jalan yang dilalui agak menurun dan berkelok mengikuti aliran sungai. Tiba diujung jalan, kereta mereka berbelok semakin menjauhi anak sungai, dan hingga akhirnya mereka memasuki kerimbunan hutan. Terhampar dihadapan mereka, jalanan lebar dan lurus dengan dinaungi pepohonan di sisi kiri kanannya, dari sela-sela dedaunan itu sinar surya menerobos menerangi jalanan di hutan.

"Kita harus keluar dari hutan ini, sebelum senja." Kata Bagasiwi kepada Salwan, kusirnya.

"Jangan kuatir tuan, saya biasa melewati jalanan ke arah sini. Dengan laju kereta seperti ini, kita tidak akan bermalam di hutan." jawab Salwan. "Kita bisa bermalam di penginapan selepas hutan ini."

Tiba-tiba Salwan berseru, "Ada orang berdiri di tepi jalan, Tuan, dia melambai-lambaikan tangan minta kita berhenti..?"

"Jangan hiraukan, kita pura-pura tak melihatnya." sahut Bagasiwi

Jarak kereta mereka semakin dekat dengan orang yang berdiri di pinggir jalan. Semakin dekat...semakin dekat...hingga akhirnya semakin jelas, sosok itu. Ternyata dia seorang nenek berambut putih digelung, mengenakan pakaian serba hitam, disampingnya berdiri bocah laki-laki usia sepuluh tahunan berpakaian hitam pula.

Kereta kuda itupun melewatinya, tidak demikian dengan dua penunggang kuda, karena tiba-tiba tanpa sepengetahuan mereka, nenek dan bocah itu bergerak serempak dengan sebat menerkam mereka. Sepuluh jari runcing mirip cakar elang, mengarah ke dada masing-masing penunggang kuda.

Dua penunggang kuda itu ternyata sudah waspada, mereka menandanginya dengan tenang tapi mematikan. Ketika dua penyerang itu melayang di udara, dan satu tarikan nafas lagi, cakar-cakar itu akan merobek dada mereka, tiba-tiba terdengar bunyi mirip ranting patah dari lengan kiri yang tersembunyi dibalik lengan baju dua penunggang itu. Meluncurlah puluhan jarum maut berkecepatan tinggi, mengarah ke si penyerang. Bersamaan itu tubuh dua penunggang itu melentik dengan cepat pula dari punggung kuda, menjauhi serangan cakar-cakar maut.

Nenek dan bocah itu tentu tahu bahayanya jarum-jarum yang mengarah ke mereka. Disaat itu pula mereka melihat musuh telah meninggalkan kuda. Saat jarum-jarum sudah dalam jangkauan, maka mereka sentil semua jarum itu dengan cakarnya. Jarum hancur berkeping-keping. Tidak ada satupun yang lolos. Kemudian nenek dan si bocah itupun menjejakan kaki ke punggung kuda, menambah laju mengejar dua penunggangnya.

Tapi dua penunggang itu sudah berdiri di atas tanah jauh di seberang jalan. Bahkan sekali lagi menembakan ratusan jarum lebih banyak ke arah nenek dan bocah yang posisinya masih melayang di udara. Gempuran jarum-jarum itu sedikit merepotkan mereka. Terpaksa mereka menangkis sambil berjempalitan menghindar, lalu mendarat di tanah. Kini masing-masing pihak berada di ujung  jalan yang berseberangan, saling berhadapan dan menunggu.

Sambil tersenyum salah satu penunggang berkata, "Aki-aki dan nini-nini Waliki..."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun