Di negeri ini, satu hal yang tidak pernah benar-benar mati adalah nostalgia. Begitu ada kerusuhan, demonstrasi yang berujung rusuh, atau sekadar maling motor yang ketahuan warga, maka muncul ide lama dengan baju baru: hidupkan kembali siskamling! Seakan-akan kentongan bambu yang digebrak tengah malam bisa mengusir semua keresahan sosial yang selama ini bertumpuk.
Pertanyaannya, apakah siskamling itu pernah benar-benar dimatikan? Seingat penulis, tidak ada kebijakan formal yang menyatakan bahwa "mulai hari ini rakyat dilarang ronda malam." Tidak ada Keputusan Presiden yang membuang kentongan ke tong sampah. Siskamling hilang bukan karena dihapus, melainkan karena dilupakan. Ia tergeser pelan-pelan oleh satpam komplek, CCTV, portal otomatis, dan rasa malas warga yang lebih memilih tidur pulas atau maraton drama Korea daripada berkeliling kampung tengah malam.
Dari Kentongan ke CCTV
Secara teoritis, siskamling adalah sistem pengamanan paling demokratis. Semua warga terlibat, semua ikut bergilir, semua merasa memiliki. Dengan begitu, rasa kebersamaan tumbuh, dan keamanan pun terjaga. Filosofi Jawa bilang, "Sopo sing nandur, bakal ngundhuh"---siapa yang menanam, ia akan menuai. Kalau kita menanam kebersamaan dalam menjaga lingkungan, yang dipanen tentu keamanan bersama.
Namun dalam praktik, semua teori indah itu kerap kandas di lapangan. Malam pertama ronda ramai, malam kedua mulai ada yang izin, malam ketiga tinggal dua orang bapak-bapak ngantuk sambil menyeruput kopi sachet. Belum lagi ada risiko klasik: dari yang sekadar tidur di pos ronda, sampai yang main kartu hingga subuh. Ironisnya, maling lebih disiplin daripada petugas ronda; mereka tetap bekerja meski hujan deras.
Di sisi lain, satpam kompleks hadir sebagai "outsourcing rasa aman." Warga merasa membayar iuran keamanan sudah cukup untuk tidur tenang. CCTV dipasang di pojok jalan agar kita bisa menonton ulang aksi pencuri, bukan mencegahnya. Sementara itu, kepolisian punya jargon "melindungi dan mengayomi", tapi jumlah aparat terbatas dan birokrasi panjang membuat keamanan di level mikro seringkali bergantung pada warga itu sendiri.
Data Kriminalitas Terkini: Kenapa "Hidupkan Siskamling" Diperlukan Sekarang
Sebelum membahas positif-negatif, ada baiknya kita melihat data kriminalitas terkini agar kita bisa menilai: apakah situasinya sudah genting sehingga siskamling bukan cuma nostalgi, tapi kebutuhan?
- Statistik Kriminal 2024 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kejahatan di Indonesia makin meningkat dibanding tahun-sebelumnya.Â
- Di provinsi-provinsi tertentu, risiko kejahatan per 100.000 penduduk sangat tinggi. Misalnya, Sulawesi Utara tercatat sebagai provinsi dengan risiko kejahatan tertinggi, yaitu mencapai 589 kejadian per 100.000 penduduk, diikuti Papua Barat dengan 532 kejadian per 100.000 dan Sulawesi Selatan dengan 463 kejadian per 100.000.Â
- Sementara di Lampung, data BPS Provinsi menunjukkan bahwa pada tahun 2022, tercatat 11.194 laporan kejahatan yang dilaporkan warga --- meningkat sekitar 14,64% dibanding tahun sebelumnya.Â
- Pemerintah menyebutkan bahwa di kejahatan konvensional saja, terdapat sekitar 249.589 kasus yang dilaporkan, dengan tingkat penyelesaian perkara hanya sekitar 43,22%.Â
- Lebih jauh, Statistik Kriminal 2024 menyebutkan bahwa program-program keamanan lingkungan dari inisiatif warga---termasuk pos keamanan lingkungan, regu keamanan, dan pengaktifan sistem keamanan lingkungan---telah dijalankan di banyak daerah karena meningkatnya kejahatan dan keterbatasan akses warga ke pos polisi.Â
Data-data ini memperlihatkan dua hal: (1) kejahatan terhadap hak milik, ketertiban umum, dan keamanan lingkungan bukan hanya masalah "lokal kecil"---ini meningkat dan tersebar luas; (2) penyelesaian kasus kejahatan seringkali kecil dibanding jumlah laporan, menunjukkan kelemahan dalam sistem formal keamanan dan penegakan hukum.
Positif dan Negatif Siskamling
Kita tidak bisa menutup mata: siskamling punya sisi positif yang menggiurkan. Ia membangun solidaritas sosial, mempererat hubungan antarwarga, dan menciptakan rasa tanggung jawab bersama. Dalam sebuah riset sosial 2022 (meskipun belum spesifik "kejadian kriminalitas perumahan seluruh Indonesia"), kampung-kampung yang masih aktif ronda melaporkan penurunan tindak kriminalitas skala kecil hingga sekitar 30 persen dibanding wilayah yang hanya mengandalkan satpam. Ada faktor psikologis: maling pun segan jika tahu warganya guyub.