"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian," kata Pramoedya Ananta Toer.
 Sayangnya, menulis buku putih tuduhan ijazah palsu Jokowi, seperti yang dilakukan Roy Suryo Cs, mungkin akan tercatat dalam sejarah bukan sebagai keabadian kebenaran, melainkan sebagai abadi dalam ruang arsip perkara hukum.
Kasus ini kini memasuki babak baru: penyelidikan tuduhan ijazah palsu Presiden Jokowi berlanjut. Bareskrim sudah memanggil 12 orang saksi, dan bukti demi bukti terus diperlihatkan. Sementara itu, Roy Suryo dan kawan-kawannya tetap dengan lantang menyatakan tidak bersalah. Mereka menuding aparat tengah melakukan kriminalisasi, seolah posisi mereka adalah para pahlawan kebenaran yang melawan arus besar kekuasaan.
Namun, hukum tidak mengenal rasa. Hukum hanya mengenal bukti dan fakta.
---
Fakta Hukum vs. Analisa "Rasa"
Mari kita lihat data yang sudah ada di meja penyidik:
Bareskrim Polri telah mengeluarkan hasil uji forensik lengkap yang menyatakan ijazah Jokowi asli.
UGM sendiri sudah menegaskan keaslian ijazah Presiden, bahkan pihak kampus memastikan tidak ada kejanggalan dalam proses akademik Jokowi.
Ijazah itu telah dipakai Jokowi untuk melanjutkan pendidikan dan berkarier politik selama puluhan tahun, tanpa pernah digugat secara formal sebelumnya.
Dengan fakta itu, muncul pertanyaan: atas dasar apa Roy Suryo Cs membangun tuduhannya?