Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Profesional

Tulisan sebagai keber-ada-an diri dan ekspresi hati

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Buku Putih Roy Suryo Cs: Gagal Bicara, Sukses Jadi Drama

20 Agustus 2025   20:23 Diperbarui: 20 Agustus 2025   20:23 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Peluncuran buku putih Roy Suryo Cs (Detik.com)

"Jika isi tidak berbunyi, maka panggunglah yang dibuat gaduh." --- pepatah lama yang tampaknya kembali hidup di Indonesia. Begitulah kira-kira gambaran peluncuran Buku Putih Roy Suryo Cs.

Sebuah momen yang diharapkan meledak dengan gagasan, tapi malah pecah dengan cerita lampu padam, tuduhan sabotase, dan boikot ruang. Dejavu? Tentu saja. Indonesia memang gemar menjadikan drama sebagai headline, sementara isi sering kali tak lebih dari catatan kaki.

Buku Putih yang Putih Saja

Buku ini diluncurkan dengan embel-embel gagah, seolah akan menguak "rahasia besar" yang selama ini ditutup-tutupi. Nyatanya, begitu dibuka, isinya tidak lebih dari rangkuman tuduhan lama. Tidak ada temuan baru, tidak ada data segar, bahkan gaungnya tak mampu menembus dinding publik yang sudah kebal dengan repetisi.

Jika sebuah buku seharusnya memantik perdebatan ilmiah, Buku Putih ini justru lebih pas disebut Buku Fotokopi---karena isinya hanya menggandakan cerita lama. "Repetitio est mater studiorum," kata pepatah Latin: pengulangan adalah ibu dari belajar. Tapi masalahnya, kalau yang diulang-ulang cuma tuduhan basi, publik lebih cepat bosan daripada belajar.

Ketika Drama Mengalahkan Isi

Karena isi tidak menggigit, maka yang diangkat justru kisah dramatis di luar buku: UGM disebut menolak memberi ruang, acara disebut diboikot, lampu padam disebut sabotase. Seperti sudah diduga, inilah yang akhirnya menjadi berita utama.

Yang lebih mengejutkan, bukan hanya media daring abal-abal yang doyan mengejar sensasi yang menggoreng isu ini. Media arus utama nasional, yang selama ini dikenal punya reputasi baik, juga ikut latah menjadikannya headline. Alasannya sederhana: bersaing dengan media sosial. "Kalau tidak ikut memberitakan drama, pembaca lari," begitu kira-kira logikanya.

Namun, pertanyaan kritisnya: apakah itu berarti media berkualitas harus ikut-ikutan mengangkat isu receh yang tidak bermutu? Apakah kehilangan pembaca lebih menakutkan daripada kehilangan martabat jurnalistik?

Klarifikasi yang Tenggelam

Faktanya, UGM sendiri sudah memberi klarifikasi. Mereka tidak pernah "boikot" acara tersebut. Yang terjadi hanyalah masalah administrasi dan komunikasi: panitia menyembunyikan rencana peluncuran buku di balik nama acara lain. Singkatnya, ada misleading. Tapi sayangnya, klarifikasi UGM tidak sebesar gaung tuduhan awal.

Dalam logika media hari ini, tuduhan lebih seksi daripada kebenaran. "Fitnah itu lebih cepat setengah putaran dibanding fakta," kata Winston Churchill. Betul juga. Begitu berita boikot UGM viral, klarifikasinya hanya jadi catatan kecil di pinggir panggung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun